Pertama, perilaku koruptif dapat bersumber dari motivasi keluarga. Mazhab perilaku mengatakan bahwa lingkungan sosial, termasuk keluarga, seringkali menjadi dorongan yang sangat kuat untuk melakukan korupsi. Kenyataannya, lingkungan keluarga seringkali memberikan perlindungan daripada hukuman bagi anggota keluarga yang menyalahgunakan wewenang tertentu dalam kasus korupsi (Karsono, 2011; Indah Sri Utari. 2011). Kedua, seseorang terdorong untuk melakukan korupsi karena masyarakatnya penuh dengan budaya, keyakinan dan nilai-nilai kehidupan yang korup. Budaya dan nilai hidup yang korup inilah yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Misalnya, masyarakat cenderung menghargai seseorang karena kekayaannya. Pengaturan ini sering 34
membuat orang tidak mengkritik perilaku korupsi karena hanya mengagumi kekayaannya sendiri dan tidak melihat bagaimana kekayaan itu diperoleh (Indah Sri Utari. 2011; Ardyanto, 2002). Korupsi adalah masyarakat itu sendiri.Pada umumnya banyak lapisan masyarakat yang masih meyakini bahwa korupsi merugikan negara. Padahal, ketika negara rusak, intisari masyarakat juga rusak
c) Faktor ekonomi dan politik
Dalam istilah politik, kontrol sosial merupakan proses yang harus dilaksanakan agar tidak semua orang melakukan korupsi seperti yang diharapkan masyarakat (Karsono, 201; Indah Sri Utari. 2011). Tata kelola sosial ini berlangsung melalui mobilisasi berbagai kegiatan lembaga negara dan lembaga swadaya masyarakat yang diselenggarakan secara politik. Lemahnya kontrol sosial terhadap korupsi memungkinkan praktik korupsi tumbuh dan berkembang secara bebas di masyarakat (Karsono, 2011; Indah Sri Utari. 2011).
d) faktor organisasi budaya
Organisasi dapat mengarah pada korupsi dan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap anggotanya. Oleh karena itu, jika budaya organisasi tidak dapat dikelola dengan baik, maka dapat menimbulkan situasi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan organisasi. Beberapa aspek kehidupan organisasi dapat berkontribusi terhadap korupsi.
Pertama, manajer atau pemimpin kurang memiliki sikap teladan. Kedudukan pemimpin dalam lingkup formal dan informal memiliki pengaruh yang kuat terhadap bawahannya. Jadi, jika atasan tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada bawahannya mengenai korupsi (atasan melakukan korupsi), besar kemungkinan bawahannya akan melakukan hal yang sama. Erry Hardjia
Kedua, kurangnya tanggung jawab organisasi. Organisasi yang kurang bertanggung jawab disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tidak jelasnya visi, misi dan tujuan organisasi. Ketidakjelasan organisasi ini mempersulit instansi pemerintah atau swasta mana pun untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi atau instansi dalam mencapai tujuan dan sasarannya dalam jangka waktu tertentu. Kesulitan dalam melakukan penilaian ini menyebabkan organisasi menggunakan sumber dayanya secara kurang efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kondisi organisasi yang demikian dapat memberikan ruang dan peluang terjadinya korupsi. Arifin (2000) menegaskan bahwa tindakan korupsi disebabkan oleh faktor organisasi dan perilaku individu. Ketiga, sistem pengendalian administrasi lemah dan membuka peluang terjadinya korupsi dalam organisasi. Sering terjadi bahwa pengendalian internal organisasi (fungsional dan langsung dari manajemen) dan pengendalian eksternal (masyarakat) tidak bekerja secara efektif karena pengendalian yang tumpang tindih, kurangnya kualitas pengendalian dan profesionalisme, dan tidak menghormati pengawas. dengan etika hukum pemerintah (Ardyanto, 2002; Karsona, 2011).
DAMPAK KORUPSI BESAR
* Dampak ekonomi
Korupsi berdampak buruk pada berbagai bidang, terutama bidang kehidupan ekonomi sebagai faktor terpenting bagi kesejahteraan rakyat. Mauro (2011) mengatakan bahwa korupsi berhubungan negatif dengan pembangunan ekonomi (lebih banyak investasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan pemerintah dan pengeluaran untuk program pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat). Korelasi langsung-negatif antara korupsi dan bisnis ini harus dilihat sebagai pemicu bagi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan untuk bekerja keras memerangi korupsi baik secara preventif maupun represif dan remedial. Inefisiensi pembangunan terjadi ketika pemerintah mengambil banyak kebijakan pembangunan, tetapi selalu dibarengi dengan korupsi yang merajalela. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebenarnya digunakan untuk pembangunan ekonomi dialihkan ke kantong pribadi pejabat dan birokrat (Kurniadi Y. 2011; Mauro, 2011).