BAGIAN PERTAMA dari ijtihad modernis/reformis dilakukan oleh Muhammad Abduh, dengan menghalalkan bunga atas dasar kesamaan bentuk dari profit taking di dalam Islam, yaitu Qirad. Analogi para modernis seperti ini: ‘inti dari Qirad adalah berbagi keuntungan dari sebuah bisnis yang sah, oleh karena itu, dari sebuah bisnis yang sah kita dapat menawarkan beberapa bentuk 'restricted profit' (keuntungan-terbatas) atau bunga.’
BAGIAN KEDUA adalah Islamisasi Riba yang dilakuakn oleh Hasan Al-Banna dalam ijtihad-nya mengenai legalisation of dividends (legalisasi pembagian keuntungan) sebagai keuntungan yang sah. Dia men-analogikan dengan mengatakan bahwa “inti dari dividen adalah semacam 'practical profit (keuntungan praktis)', meskipun dividen diputuskan oleh pemegang Saham Mayoritas dan mereka tidak terikat pada hasil perusahaan.”
BAGIAN KETIGA datang bebarengan dengan pengembangan Bank Syariah, diantara penulis seperti Yusuf Qardawi dan Khurshid Ahmad. Mereka memperkenalkan penggunaan istilah Arab untuk menyembunyikan praktek riba. Proses ini paling berbahaya yang bisa dibayangkan. Istilah-istilah itu menyiratkan penolakan mutlak Hukum Islam dan dan men-transformasikan-nya dengan analogi yang berbahaya dalam 'prinsip-prinsip Islam', seperti yang dilakukan oleh para reformis dalam hal Murabahah.
4.8. Metodologi Modernisme
KAUM modernis memanfaatkan Islamic finance sebagai laboratorium utama untuk berinovasi, mereka mengambil kesimpulan berdasarkan definisi untuk memdefenisikan ulang atau me-modernisasi realitas kontemporer dengan meng-Islamisasi-kan nya. Islamic finance merupakan ladang yang subur untuk berinovasi karena agak terpisah dari ekstrimisme politik yang terkait benar atau salah dalam Islam 'fundamentalisme'. Terinspirasi oleh pengalaman singkat Ahmad al-Najjar di Nasser Mesir, pada tahun 1973 Organization of the Islamic Conference (OIC) meluncurkan Islamic Development Bank. Kemudian pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank dimulai, skor untuk sektor komersial swasta yang dibuka oleh Bank Islam untuk bisnis berhasil bersaing dengan bank konvensional, pertama di negara-negara Arab dan kemudian di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan bahkan negara-negara non-Muslim. Meskipun pertumbuhan awal mereka cepat, namun hari ini mereka menjadi mandek/stagnan. Gejalanya terlihat pada tahun 1998, Dubai Islamic Bank membutuhkan paket penyelamatan, dan sejumlah bank komersial Islam lainnya menunjukkan tanda-tanda runtuh. Salah satu masalah dasar mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki gudang instrumen keuangan yang memadai untuk bersaing dengan bank konvensional. Akibatnya mereka meminta bantuan insinyur keuangan dan inovasi, ulama fiqih atau sarjana hukum untuk berkontribusi di situasi ini dengan harapan akan memperoleh 'angin kedua'.
Ada dua pendekatan dasar menuju Islamic finance. Salah satunya adalah mengambil pendekatan makro Ekonomi Islam dan "menggali lagi hukum-hukum klasik untuk prinsip-prinsip Islam yang fundamental" sehingga lahirlah konsep ekonomi bebas-bunga. Pendekatan lain adalah pendekatan mikro kurang-lebih berfokus dengan hukum Islam atau Fiqh pada "tindakan konkret individu yang memiliki signifikansi agama" yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Islam yang siap untuk di-implementasi-kan. Transaksi mikro, secara formal, berbasis perspektif, adalah salah satu yang paling mempengaruhi praktek-praktek Perbankan dan keuangan Islam saat ini. Hal ini dilakukan dengan mengurangi kadar Fiqh untuk beberapa aturan sederhana yang biasanya tidak benar, sebagai pernyataan tentang hukum klasik. Akibatnya, pencampuran dua pendekatan yang menyebabkan kebingungan.
Para Ekonom menjawab bahwa kesimpulan 'konservatif/kolot' para sarjana hukum atau ulama fiqih harus dirasionalisasikan, karena rentan terhadap tuduhan mengabadikan oposisi terhadap kemajuan Islam.
Ada 4 situasi kontemporer yang mereka sukai untuk mengelaborasi atau mempertahankan fatwa mereka:
- Ijtihad atau penafsiran baru dalam menerangkan 'prinsip' dari Al Qur’an dan hadis;
- Pilihan (ikhtiyar) di antara pandangan yang sudah dikemukakan oleh para ulama masa lalu dan diadaptasi oleh berbagai kriteria yang mungkin, termasuk kesejahteraan umum, atau mashlahat, dengan keadaan sekarang;
- Keterpaksaan (darurah), dan
- Hukum buatan (yang sering mereka sebut hila, pl. hiyal.) atau mengakalinya dengan trik hukum untuk men-sah-kan tujuannya.
Sementara itu para ulama fiqih tradisional lebih memilih untuk menghindari ijtihad meskipun mereka bisa membenarkan inovasi dengan menyeru orang untuk menaatinya, ijtihad adalah metode yang disukai oleh kaum modernis, terutama dalam pembahasan kontemporer tentang pilihan, yang merupakan instrumen keuangan yang penting untuk kelangsungan masa depan Islamic finance. Profesor Kamali, seorang Ekonom Islam terkenal, ketika diajak untuk ber-ijtihad, secara tegas/eksplisit memakai metode 'pilihan dan kriteria' dari kesejahteraan umum dalam analisis hukum tentang instrumen ini.
Contoh terbaik dari penggunaan trik hukum adalah pada kasus Murabahah. Murabahah - seperti yang kita analisis sebelumnya - telah berubah menjadi sarana pembiayaan penjualan dengan membuat dua transaksi menjadi satu akad. Para ulama modernis belakangan ini, berpendapat bahwa nilai waktu dari uang adalah argumen yang valid (padahal tidak), tetapi mereka menolak membuat uang dari uang (menyewakan uang).
Menurut trik hukum ini, bank membiayai penjualan Murabahah dan bank harus benar-benar membeli barang dagangan yang akan dijual ke pembeli. Meskipun begitu, dalam prakteknya, Bank Islam di Pakistan, Malaysia, dan tempat lain telah menemukan Murabahah jenis baru yang lebih ngawur, dimana kreditur segera menjual barang kepada pembeli tanpa pernah benar-benar memilikinya atau bahkan sepenuhnya hanya menyodorkan brosur barang saja. Akademi Fiqih dari Organization of Islamic States telah mengutuk praktek ini, namun masih banyak Bank Islam terlibat dalam kasus seperti ini dan mungkin mereka tidak memiliki keahlian komersial dan kemampuan literal pergudangan untuk memenuhi kondisi dari Murabahah perbankan 'yang benar'. Bagian utama dari kredit yang diberikan oleh Bank Islam mengambil bentuk Murabahah tetapi proporsinya adalah buatan dan tidak diketahui. Setiap serangan sistematis yang licik dapat membahayakan seluruh gerakan Islamic Financial. Karena Bank Islam yang selalu membutuhkan instrumen keuangan baru.
Darurah telah digunakan sebagai instrumen untuk meng-Islam-kan kapitalisme. Penyalahgunaan penggunaan darurah ini harus dinetralkan dengan cara me-restorasi yang halal, yaitu mulai dari zakat. Permasalahan Zakat merupakan hal yang mendasar bagi Dien kita dan juga hal yang mendasar bagi pemulihan perekonomian Islam. Zakat tidak bisa dibayarkan dalam bentuk Dayn. Jika umat Islam membayar zakat mereka tidak dalam uang kertas maka zakatnya tidak diterima, argumen ini sungguh bertentangan dengan Hukum islam. Dan tidak bisa dikatakan darurah. Prinsip darurah adalah alasan sementara yang diambil dengan tujuan merubah suatu keadaan. Namun para ulama pro-banking menggunakan prinsip Islam ini 'darurah' untuk membenarkan penggunaan uang kertas. Dan pada kenyataannya, umat Islam tidak dapat dicegah untuk mencetakan dan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak Islam. Penggunaan alasan darurah ini hanya dipandang untuk mempertahankan status quo saja. Hal ini lah yang mereka digunakan sebagai tameng untuk membuat Haram menjadi Halal.
Ijtihad kaum modernis bukanlah ijtihad yang sebenarnya. Ijtihad mereka tercipta akibat penolakan terhadap taqlid, yang mereka sebut sebagai 'pengikut sesat' dari Fiqih tradisional. Ini hanyalah bentuk lain dari trik mereka untuk membuat hukum Haram menjadi Halal. Kunci penyimpangan mereka adalah penolakan terhadap Fiqh tradisional, yang dilihat sebagai keilmuan abad pertengahan. Sebagai gantinya, mereka langsung beralih ke Al-Qur'an dan Hadist. Teks-teks kehilangan konteks atau putusan hukum yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Islam, seperti prinsip Tanpa-Bunga, atau prinsip validitas hukum dari nilai waktu, dan kemudian prinsip-prinsip ini diterapkan ke setiap obligasi dan turunannya, termasuk kebijakan-kebijakan, tukar-menukar, saham, dan juga kartu kredit, pinjaman dan perdagangan hutang.
Penggunaan maslahat, atau kepentingan publik, adalah bagian lain dari alat Islamisasi. Mengingat elaborasi yang memadai, kemanfaatan umum dapat diartikan apa saja. Seperti pendapat bahwa penggunaan uang kertas bisa dibenarkan untuk kepentingan publik. Mengapa Anda repot-repot membawa koin emas yang berat, jika Anda bisa lebih ringan membawa uang kertas atau kartu kredit? Argumen seperti itu digunakan untuk membenarkan aspek yang paling menggelikan dari masyarakat kapitalis saat ini.
Isu T-Bills Islami adalah sangat penting, tidak hanya untuk kebijakan moneter tetapi juga bagi Bank Islam, karena mereka selalu membutuhkan tempat berlindung yang aman untuk memarkirkan kelebihan likuiditas mereka. Dalam hal ini dan masalah serupa lainnya dan di dalam imajinasi Islami para Dewan Perbankan Syariah, tidak ada konsensus seperti halnya 'diizinkan atau tidak diizinkan'. Didalamnya ada dukungan penuh dari argumen hukum dan praktik-praktik negara. Hampir semua surat berharga pemerintah yang dapat diterima ataupun yang tidak, oleh beberapa Bank Islam diinterpretasikan pada hukum masing-masing dewan perbankan syariah. Sehingga di model Negara Malaysia, Indonesia, Pakistan, Iran, dan Model Islam di Arab menggunakan kriteria yang berbeda untuk isu-isu yang baru. Sementara, Model Bank Islam di Malaysia telah diakomodasi dalam sistem dual bank, Islam dan konvensional. Namun tidak berarti bahwa praktik di Malaysia akan dapat diterima di negara-negara Arab. Tidak ada rumusan Islam yang secara umum dapat diterima untuk sebuah keamanan pemerintahan yang relatif bebas risiko.
Blok bangunan dari standar keuangan konvensional modern lainnya adalah 'option', sebuah hak tanpa kewajiban untuk membeli atau menjual sesuatu di masa mendatang pada harga tertentu. Mohammad Hashim Kamali, Profesor dari Malaysia telah mensajikan secara 'provokatif' sebuah pembelaan hukum untuk berbagai macam derivatif Islami berdasarkan pasar berjangka untuk komoditas. Banyak argumennya yang bergantung pada kapasitas kelembagaan pasar untuk mengontrol unsur-unsur gharar, atau spekulasi, yang melekat di pasar derivatif. Profesor Kamali menampilkan apresiasi yang sangat canggih dari keuangan modern yang belum dimiliki oleh sebagian besar ulama fiqh 'tradisional'. Sebagai bankir dan ekonom ia memperluas pemahaman masyarakat hukum tentang keuangan, meskipun begitu, interpretasi sepanjang garis itu mengkristal hari demi hari menjadi turunan baru tentang 'konsensus' Islam. Islamic finance telah memperoleh 'fleksibilitas' besar dari langkah-langkah awal yang diambil oleh Bankir Islam pertama. Namun bukan berarti selesai, dan tidak akan benar-benar sampai sebelum terintegrasi ke dalam sistem perbankan kafir.
Meskipun bisa dimengerti bahwa banyak umat Islam berada di dalam situasi dimana mereka menganggap bahwa perbankan diperlukan untuk kehidupan mereka, namun juga tidak bisa dibenarkan untuk menyebutnya Islami. Jika umat Islam dipaksa oleh keadaan untuk menciptakan bank, mereka harus menyebutnya "Bank itu Haram". Sebutan ini akan membuat orang sadar bahwa semua transaksi yang terjadi di bank itu dilarang, dan akan mendorong orang untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan.
Cara melakukannya adalah dengan menegakkan apa yang halal. Hal ini dimulai dengan pengenalan kembali mata uang syariah kita, Dinar Emas dan Dirham Perak, dan menciptakan sistem pembayaran yang bukan perbankan, yaitu, mereka tidak mencampur uang dengan kredit. Setelah sistem pembayaran yang Islami berada di tempatnya, tahap berikutnya adalah penciptaan pasar yang Islami, pengenalan-kembali sistem caravan/kafilah, serikat dan pengadilan Islam yang dapat menjamin penerapan yang benar dari kontrak Islam yang murni: Shirkah dan Qirad. Setelah itu, baru kita bisa menuju ke satu bentuk Kalifah Islam.
5. Memahami Uang Kertas
LANGKAH PERTAMA adalah memahami materinya. Setelah itu kita bisa beralih ke Al-Qur'an dan Fiqih.
Uang kertas telah berevolusi sejalan dengan sejarah. Penggunaan Uang kertas yang kita ketahui hari ini tidak seperti dahulu. Pada dasarnya, evolusi ini telah melewati tiga tahap:
- Sebuah nota kesanggupan yang diback-up oleh emas atau perak.
- Sebuah proses devaluasi secara sepihak yang mengarah ke pencabutan penuh kesepakatan kontrak.
- Sepotong kertas yang tidak didukung oleh specie/mata uang (emas atau perak), yang nilainya ditentukan oleh pemaksaan Hukum Negara.
Mari kita teliti ketiga tahap ini satu per satu.
5.1. Uang kertas yang didukung oleh emas dan perak
UANG KERTAS yang pertama kali dikeluarkan oleh bank, mewakili beberapa gram emas atau perak, dikenal sebagai specei. Meskipun tidak pernah 100% didukung oleh specie, bank penerbit berkewajiban untuk membayar sejumlah permintaan. Dalam hal ini mewakili sejenis hutang.
Ketika uang kertas berperan sebagai hutang, dapatkah ia diterima? Di dalam hukum Islam, isu-isu apa saja yang relevan?
Pada tahap ini, institusi perbankan memiliki sejumlah emas dan mengeluar-kan sertifikatnya yang diperuntukkan kepada si pemilik hak tersebut agar dengan itu si pemilik bisa menarik sejumlah specie saat diminta. (Kita akan mengabaikan fakta bahwa ini adalah lembaga perbankan yang telah berurusan dengan riba, Kita akan berpura-pura bahwa mereka tidak berurusan dengan bunga untuk berkonsentrasi pada masalah uang kertas itu sendiri…)
A) Masalah pertama yang timbul adalah soal amanah (kepercayaan): emas Anda dipercayakan kepada bendahara. Hukum Islam yang mana yang harus digunakan? Allah ta'ala berfirman dalam Al Qur'an dalam Surat Al 'Imran (3:75):
Di antara Ahli Kitab ada beberapa yang, jika Kamu percayakan kepada mereka dengan setumpuk emas, maka akan dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada yang lain di antara mereka yang, jika kamu percayakan mereka dengan satu dinar, mereka tidak akan mengembalikannya kepadamu, kecuali jika berdiri di atas mereka. Itu karena mereka mengatakan, "Kami tidak berkewajiban atas orang-orang ummi/buta huruf." Mereka berbohong terhadap Allah dan mereka tahu itu.
Hukum (pandangan hukum atau perintah) dari ayat ini, menurut Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi dalam bukunya 'Ahkamul Qur'an', adalah sebagai berikut: "Hal ini dilarang bagi Muslim untuk beramanah dengan orang kuffar luar Dar al-Islam," yaitu, "tanpa berdiri di atas mereka" atau dibawah kekuasaan otoritas Muslim. Dan penjelasan untuk ini ditemukan dalam ayat itu sendiri: "Itu karena mereka mengatakan 'kami tidak memiliki kewajiban,'” yang artinya, karena mereka akan/dapat menanggalkan perjanjiannya. Karena kasus ini telah terbukti secara historis, kita dapat menyimpulkan bahwa ini hal yang sangat penting.
Artinya adalah bahwa Muslim tidak boleh menabung kekayaannya kepada kuffar di manapun, dikarenakan kita tidak memiliki Dar al-Islam hingga kita memiliki dominasi atas mereka. Dengan interpretasi yang lebih ringan, bahwa beramanah dengan orang kafir diperbolehkan bila deposit yang kita miliki berada di bawah kekuasaan otoritas Muslim. Kita bisa menerima versi yang terakhir. Namun yang termasuk kategori ditolak adalah memberikan amanah pada kuffar saat kekayaan disimpan di bawah otoritas kafir.
Kita bisa menyimpulkan bahwa uang kertas – Rupiah, Dollar, Pounds, Franc, dll - merupakan hutang, karena specie yang mereka wakili disimpan di tempat yang jauh dari kendali kita, dan tidak bisa kita terima, dengan alasan dan ketakutan bahwa mereka akan menanggalkan perjanjiannya - yang ternyata terbukti di kemudian hari.
B) Sekarang, kita mengasumsikan amanah ini berada di bawah otoritas Muslim. Permasalahan kedua yang timbul adalah mengenai nota kesanggupan, apakah dapat diberlakukan sebagai uang? Dengan kata lain, apakah uang kertas dapat digunakan sebagai alat tukar menurut Syariat Islam.
Dalam kasus ini hukum yang relefan adalah 'pengalihan hutang'. Menurut Sekolah Amal Madinah kita menemukan ketentuan hukum sebagai berikut dan penjelasannya dalam Muwatta Imam Malik:
Malik mengatakan, "Seseorang tidak boleh membeli hutang yang dimiliki oleh seseorang apakah itu langsung atau tidak, tanpa konfirmasi dari orang yang berhutang, juga tidak boleh membeli hutang yang dimiliki orang yang mati bahkan jika orang itu meninggalkan sesuatu. Itu dikarenakan, transaksi tersebut merupakan transaksi yang tidak pasti dan kita tidak mengetahui apakah transaksi itu akan selesai atau tidak."
Ia juga mengatakan, "Penjelasan tentang apa yang dilarangan dalam pembelian hutang yang dimiliki oleh seseorang yang tidak hadir atau mati adalah bahwa mungkin saja orang lain bisa mengklaim hutang tersebut. Jika seorang yang telah mati bertanggung jawab atas hutang orang lain, maka harga yang diberikan oleh pembeli untuk hutang tersebut menjadi tidak berharga."
Malik mengatakan, "Kesalahan dalam masaah ini juga bahwa Dia yang membeli sesuatu yang tidak dijaminkan baginya, dan jadi jika transaksi belum selesai, maka apa yang dibayarkannya menjadi tidak bernilai. Ini merupakan transaksi yang tidak jelas dan itu tidak baik."
Ide umumnya adalah bahwa dalam rangka mentransfer/mengalihkan hutang, penerbit asli dari hutang (orang yang memiliki kewajiban) tersebut harus menjamin nilai hutang untuk pengalihan tersebut (orang yang menerima nota). Jadi, kontrak hutang yang pertama harus dilikuidasi dan kontrak hutang baru harus dibuat. Hutang selalu dianggap sebagai kontrak pribadi antar pihak. Hutang tidak boleh bersirkulasi tanpa membuat jaminan pribadi yang baru (kontrak baru). Alasannya adalah bahwa orang yang telah mengeluarkan hutang mungkin memiliki kewajiban lebih dari yang dapat dipenuhinya.
Bagaimana praktek ini bisa diterapkan saat uang kertas diedarkan oleh bank sebagai hutang? Karena setiap bank - dan ini adalah gagasan uang kredit - berkewajiban untuk mengeluarkan lebih dari jumlah yang mereka simpan sebagai specie (emas/perak/bahan berharga), dan ini tidak bisa dipakai sebagai nota perdagangan. Alasannya adalah, bahwa orang tersebut akan menjadi penerima hutang yang tidak ada jaminan simpanan specie baginya, terutama ketika ia mengetahui bahwa tidak ada dijamin untuknya, karena pengedarnya (bank) memiliki kewajiban lebih dari apa yang dapat dipenuhi. Jika semua nasabah bank pada suatu saat nanti menagih nilai dari rekening mereka, seperti yang terjadi dalam 'run on the bank', bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya.
Kesimpulan. Ketika uang adalah hutang, dalam Hukum Islam Anda tidak akan diizinkan untuk digunakan. Anda tidak akan diizinkan menggunakan dolar, atau pound, atau rupiah atau nota apapun, apakah itu datang dari bank kafir atau bank milik muslim, apakah specie itu disimpan di negara kafir atau di sebuah negara Muslim. Nota perbankan (seperti uang kertas dan lain-lain) tidak diizinkan untuk beredar.
Namun jika nota tersebut tidak diedarkan oleh bank, melainkan oleh seseorang, dan orang yang hadir dan dapat secara pribadi menjamin pemilikan fisik barang/specie, dalam kasus ini dapatkah nota hutang dialihkan, dijual, atau diedarkan secara umum? Aspek Hukum apa yang relevan untuk menganalisa kasus ini?
Sekali lagi kita harus beralih ke pengalihan hutang. Apa yang relevan di sini adalah: specie apa yang digunakan sebagai jaminan untuk hutangnya? Dengan kata lain, apa nota specie nya? Jika hutangnya dalam bentuk emas (uang), maka aturan pembatas lainnya adalah 'tempat'. Jika makanan, aturan pembatasan lainnya juga 'tempat'. Hal ini dikarenakan emas, perak, dan makanan memiliki arti khusus dalam perdagangan.
- Barang-barang tersebut biasanya digunakan sebagai media pertukaran. Seperti pada Kasus berikut:
Dalam bab 'Pertukaran Uang' dalam kitab Al Muwattha, Imam Malik menulis:
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibn Syihab dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan an-Nasri bahwa ia pernah meminta untuk bertukar 100 dinar. Dia berkata, "Thalhah Ibn 'Ubaydullah memanggilku lagi dan kami membuat kesepakatan bersama bahwa ia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas itu dan membolak-balikkannya di tangannya dan kemudian berkata, "Aku tidak bisa melakukannya sampai bendaharaku membawa uang untukku dari al-Ghaba." 'Umar Ibn al-Khaththab mendengar itu dan Dia berkata, "Demi Allah! Jangan tinggalkan dia sampai Kamu mengambil uang itu darinya! "Lalu ia berkata," Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, berkata, "Menukar Emas dengan Perak adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Gandum untuk gandum adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Kurma untuk kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan. Jelai untuk jelai adalah riba kecuali tangan ke tangan'."
Pembatasan pertama adalah bahwa Anda tidak dapat menggunakan emas atau makanan dalam pertukaran (sarf) kecuali specie secara fisik hadir di sana. Anda tidak dapat menggunakan klaim emas atau makanan yang disimpan di bendahara. Item yang dipertukarkan harus hadir.
Ini lah kemungkinan aturan yang dikenakan dalam penggunaan uang kertas yang mewakili emas atau perak untuk membeli fisik emas atau perak. Selain itu, pertukaran nota kertas dengan nota kertas lain adalah dilarang karena itu adalah 'Hutang untuk Hutang'.
Larangan penggunaan promissory notes (nota kesanggupan) dalam pertukaran lebih diperkuat lagi oleh sunnah berikut:
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata, "'Umar Ibn al-Khaththab berkata,' 1 dinar untuk 1 dinar, dan 1 dirham untuk 1 dirham, dan 1 sa' untuk 1 sa'. Sesuatu untuk dikumpulkan nanti (barang yang tidak ada) tidak boleh dijual untuk sesuatu di tangan (barang yang ada).'"
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa Abu'z-Zinad mendengar Sa'id al-Musayyab berkata, "Riba hanya ada di dalam emas atau perak atau apa ditimbang dan diukur dari apa yang dimakan dan diminum."
Semua ini jelas menunjukkan bahwa bukan hanya emas dan perak saja tapi juga makanan yang dapat digunakan sebagai pembayaran termasuk dalam larangan, kemudian larangan ini meluas menjadi bentuk 'alat tukar umum'. Setiap nota yang mewakili segala bentuk 'alat tukar umum' tidak dapat digunakan dalam pertukaran. Dengan pembatasan tersebut, berarti nota perbankan tidak dapat benar-benar digunakan sebagai uang, tetapi hanya sebagai kontrak pribadi - yang merupakan dasar dari argumen kita.
Tapi bagaimana dengan nota yang dipegang oleh bendahara Muslim dan jaminan: bisakah digunakan dalam transaksi selain pertukaran? Bisakah digunakan, misalnya, untuk membeli barang-barang lain di pasar?
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik, ia mendengar bahwa nota transaksi (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang di pasar al-Jar. Orang membeli dan menjual nota tersebut antara mereka sendiri sebelum mereka mengambil atau menerima barangnya. Zaid Ibn Tsabit dan salah satu sahabat Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, pergi ke Marwan Ibn Hakam dan berkata, "Marwan! Apakah Engkau mau membuat riba jadi halal? "Dia berkata," Aku berlindung kepada Allah! Apa itu? "Dia berkata," Ini, nota yang orang-orang membeli dan menjual dengannya sebelum mereka mengambil atau menerima barangnya". Lalu Marwan mengirim pengawalnya untuk mengikuti mereka dan mengambil nota-nota itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada pemiliknya."
Ini berarti bahwa Anda tidak dapat menggunakan nota kesanggupan untuk perdagangan seolah-olah itu uang. Tujuan yang benar dari nota kesanggupan bukanlah untuk uang, tetapi untuk dijadikan kontrak pribadi yang harus tetap menjadi pribadi dan bukan publik.
Jadi, apa gunanya nota kesanggupan itu? Apakah penggunaannya itu halal? Halal bila digunakan untuk sebuah kontrak atau catatan hutang, dan juga halal bila digunakan untuk pengalihan hutang, asalkan orang yang bersangkutan dapat diakses dan dapat menjamin pembayaran hutang dengan menandatangani kontrak baru yang dibuat. Jika penjamin bukan seorang Muslim, maka selain apa yang kita katakan tadi, ia juga harus memiliki amanah dalam wilayah Muslim dan di bawah pengawasan total dari otoritas Muslim yang ada.