Mohon tunggu...
Muhammad Rizki
Muhammad Rizki Mohon Tunggu... -

Entrepreneur based on Muamalah

Selanjutnya

Tutup

Money

Fatwa Perbankan - dan Penggunaan Bunga Deposito yang Diterima dari Bank

20 Oktober 2012   15:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:35 2661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4.1. Reformisme Agama dan Kapitalisme

KAPITALISME selalu mengenyampingkan agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasi hukum di masyarakat sekarang begitu absolut, seperti peraturan perpajakan dan suku bunga, dari pada supremasi hukum Allah. Hukum-hukum Tuhan sengaja dibengkokkan, bahkan tidak diproiritaskan, dalam rangka membenarkan tatanan pemikiran Perbankan yang menurut masyarakat lebih rasional. Revolusi, perang dan bencana ekonomi yang terjadi telah berhasil membuat kapitalisme memaksakan struktur-strukturnya di seluruh dunia. Keberhasilannya begitu sempurna sehingga berhasil menghilangkan resistensi intelektual. Menghilangkan raja-raja, sultan, mata rantai hukum adat, dan mengundang terbentuknya demokrasi yang memberikan lahan subur pemikiran kapitalis untuk tumbuh lebih besar dan menciptakan dunia baru dalam.
Titik klimaksnya adalah runtuhnya kekuasaan agama yang sebelumnya tak tersentuh. Pemikiran kapitalisme menginterfensi hukum agama di setiap tingkatan dan diterima sebagai sebuah 'anugerah dari Allah': sebuah pembuktian diri akan adanya evolusi umat manusia, ibarat teknologi lokomotif atau radio. Kuncinya adalah 'mengadaptasi larangan riba yang telah diberlakukan sejak dulu, dengan cara mendefinisikan ulang istilah riba dengan hati-hati. 'Konversi' ini dengan sempurna diterapkan oleh kapitalisme di agama kristen ketika proses reformasi (Katolik ke Protestan) terjadi. Hasil utama dari konversi ini adalah 'Kristenisasi perbankan' dan pengurangan Hukum-Hukum Agama menjadi 'Moralitas Pribadi'. Muslim sendiri juga memiliki kaum  reformis 'Protestan'. Dan mengadopsi pola yang sama, yaitu mengadopsi moralitas pribadi yang berpusat pada perilaku seksual, dan 'Islamisasi perbankan'.
Apa yang kita sebut dengan modernisme Islam serupa dengan Protestantisme dalam kristen. Dua fenomena yang berbagi bentuk yang sama dan tujuan yang sama, berkenaan dengan kapitalisme. Inti dari masalah ini adalah mendefinisikan ulang arti riba, yang memungkinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama.
Dua hal yang diperlukan oleh perbankan untuk diterima secara agama adalah sebagai berikut:


  1. Menjadikan bunga bisa diterima dan dikenakan pada pinjaman mereka, baik secara langsung atau dengan samar-samar.
  2. Membuat surat/bukti cadangan perbankan, yang berupa pecahan, diterima dimasyarakat, yaitu, sistem penerbitan atau pencetakan nota sebagai pengganti mata uang yang awalnya berupa emas dan perak.


Norma Hukum, sebagai warisan ulama kristen dan gereja Kristen 'the fathers', menganggap masalah riba ini hampir identik dengan bunga. Penafsiran ini berangkat dari 'paradigma' Aristoteles yang paling komprehensif yang menuntut bahwa nilai dan counter-nilai harus identik. Pandangan Aristoteles tersebut berangsur-angsur ditinggalkan demi definisi sederhana dan lebih praktis dari riba yaitu ‘bunga'. Akhirnya revolusi Protestan mendefinisikan ulang riba menjadi ‘bunga’ (sejumlah nilai yang berdiri sendiri) ke 'pertambahan bunga'. Protestan meng-interpretasi-kan bahwa setiap bunga yang sesuai dengan tingkat kenaikan pasar itu diperbolehkan, dan hanya bunga yang 'berlebihan' dari tingkat kenaikan pasar saja yang dianggap riba. Tapi dalam prakteknya, definisi ini telah terbukti sia-sia, karena walaupun terkesan tidak terlalu melampaui batas dan dapat diterima oleh orang banyak tanpa protes, riba tetap saja kelihatan, dia mengambil perannya melalui istilah jelmaan tersebut (bunga).
Definisi Aristotelian menawarkan pandangan yang sejalan dengan pandangan Islam. Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi mendefinisikan riba sebagai: "Setiap kenaikan yang tidak pada tempatnya antara nilai barang yang diberikan dan counter-nilai-nya" Ide umumnya adalah bahwa meskipun individu memiliki apresiasi subjektif yang berbeda-beda terhadap suatu barang,  namun dalam transaksi harus ada kesetaraan dalam setiap nilai tukarnya (objektif lawan subyektif). Ekonom seperti Bentham berpendapat bahwa Aristoteles melihat atas dasar preferensi nilai subjektif (yang dipandang sebagai nilai riil). Dari sudut pandang subyektif Aristotelian, nilai 'hanya pertukaran saja' menjadi tidak masuk akal, karena semua pertukaran yang didefinisikan menjadi tidak-setara. Hal ini karena dari perspektif subjektif, pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan 'utilitas/kegunaan' yang lebih tinggi (nilai subyektif) dari barang yang diterima dibandingkan dengan yang diberikan. Jadi, dari perspektif utilitarian, "perdagangan sama ketidakseimbangannya dengan riba", atau dengan kata lain "perdagangan adalah sama dengan riba". Dan Allah Ta'ala telah memperingatkan kita dari orang-orang yang mengatakan "perdagangan adalah sama dengan riba" (Al Qur'an 2:275).
Menurut konsep utilitarianisme-nya Bentham, semua bentuk bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang 'mebolehkan riba' dilandaskan pada pemikiran Bentham tersebut. Selanjutnya, dari perspektif utilitarian, riba tidak hanya bisa diterima, bahkan gagasan asli tentang ‘kesetaraan’ yang dianggap tidak relevan lagi dan diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan ekonom untuk memahami definisi Riba dalam Islam, yang didasarkan pada kesetaraan intrinsik sebuah transaksi. Hal ini menjadikan ekonom dalam kebingungan nyata, ketika mereka dihadapkan pada prinsip kesetaraan dalam Islam, seperti yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat seperti "emas untuk emas, tangan untuk tangan, yang sama untuk yang sama." 'kebingungan mengenai kesetaraan' adalah faktor umum untuk semua kalangan ekonom.
Dalam Islam, kata untuk ‘penambahan’ adalah riba. Riba, dalam syariah, memiliki arti yang lebih rinci dan komprehensif daripada di Norma Hukum (Canon Law) kristen. Paham Kesetaraan yang dianut oleh Aristotelian diperluas dan dicontohkan dalam syari'ah. Shari'ah menawarkan pemahaman yang lengkap tentang transaksi komersial, dan penolakan riba. Pemahaman 'penambahan' ini diperluas lagi, sehinggga mencakup penjelasan rinci tentang maknanya dalam dua bentuk yaitu perbedaan nilai dan penundaan waktu. Sebaliknya, pemahaman riba dalam dunia Kristen - kurang lebih – hanya didefinisikan sebagai Bunga saja. Pemahaman riba di dalam Hukum Islam, lebih komprehensif dan jelas. Misalnya, dalam transaksi tertentu di mana tidak dibenarkan adanya penundaan yang  tidak pada tempatnya, dan itu dipandang sebagai kelebihan, karena itu awal dari riba. Ulama kristen masa lalu telah kecolongan dalam memahami bentuk riba. Kesenjangan dalam pemahaman kristen memiliki konsekuensi penting terhadap bagaimana riba akhirnya masuk ke dunia kristiani melalui sarana perbankan dan khususnya penggunaan nota berharga (sarana penundaan waktu). Kita akan menekankan pentingnya makna Riba An-Nasiah sebagai sarana mengenali bentuk yang signifikan dari riba yang telah dilalaikan oleh ulama kristen.

4.2. Islam Reformis

Di MESIR, selama akhir abad XIX, sekelompok ulama abal-abal memulai versi Islam mereka sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh reformis Protestan. Antara lain, mereka mencoba mengubah definisi riba untuk mengakomodasi praktik perbankan pada zaman mereka. SepertiMuhammad Abduh, seorang ulama pro-perbankan modern, Ia menanamkan-nya ke guru-guru dan siswa-siswa di sekolah-sekolah, salah satunya adalah menambahkan elemen baru di hukum-hukum Islam yang asli, dan mengurangi elemen yang ada. Sekolah ini kita kenal sebagai sekolah modernis. Tujuan mereka yang sudah tercapai adalah terciptanya Bank Islam.
Gerakan modernis diinspirasi oleh Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sementara otaknya adalah Muhammad 'Abduh (1845-1905), dan orang yang menyebarkannya adalah Rashid Reda(1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisme Barat, namun penolakan emosional tersebut dibarengi dengan sambutan hangat pihak Barat.
Karena posisinya sebagai Grand Mufti Mesir - posisi yang diberikan kepadanya pada 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir - Muhammad 'Abduh telah merusak semuanya dengan mengeluarkan fatwa pertamanya sebagai Grand Mufti, yaitu: "Bunga dengan tujuan untuk ditabung adalah diperbolehkan".
Dia menulis (5 Desember 1903):

"Riba tidak diperbolehkan dalam beberapa hal; Namuh, mengingat Kantor Pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, bukan diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, sehingga akan ada kemungkinan untuk menerapkan investasi pada uang tersebut dalam aturan di sebuah kemitraan dalam Commenda."
(Al-Manar, vol. VI, bagian 18, hal 717)


Penting untuk dicatat bahwa "ia mengecam riba, namun pada waktu yang bersamaan, ia menerima bank". Ini merupakan kunci utama dari semua alasan ulama modernis zaman sekarang. Dengan fatwa ini, ia membuka pintu untuk menerima perbankan di Hukum Islam. Meskipun ia tidak pernah merumuskan ide tentang Bank Islam - karena ia melihat, tidak perlu menyebutnya dengan istilah Islam – namun ia telah membangun sebuah dasar yang kemudian diformulasikan oleh ulama-ulama modernis sampai sekarang. Dasar tersebut kemudian digunakan untuk merubah tafsiran 'bunga' menjadi sejenis keuntungan, seperti di Shirkat atau Qirad. Re-interpretasi yang kritis ini kemudian berhasil digunakan sebagai seperangkat definisi buatan dan skema untuk menipu.
Muhammad Rashid Ridha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang didistribusikan ke seluruh Dunia Muslim. Dia berpartisipasi di konstitusionalis yang sama dan dia anti 'Dawla Osmanli' seperti Al-Afghani dan Abduh. Dia menentang mazhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga sangat menentang Sufisme. Pendapatnya terhadap Barat dan Riba jelas terpapar dalam tulisannya:

"Tidak ada di dalam agama kita yang tidak sesuai dengan peradaban saat ini, terutama aspek-aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa yang beradab, kecuali yang berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang 'riba' dan saya siap mendukung [dari sudut pandang syari'ah] semuanya, bahwa pengalaman orang Eropa sebelum kita menunjukkan pentingnya untuk kemajuan sebuah negara dalam kondisi Islam yang benar. Tapi saya tidak harus membatasi diri hanya untuk belajar Hukum yang berkutat pada Al Qur'an dan Hadis otentik saja."
(Al-Manar, vol. XII, hal 239)


Ungkapan "kecuali yang berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang 'riba'" berarti bahwa, misalnya, ia melihat tidak ada yang salah dengan mengambil polis asuransi jiwa. (Al-Manar, vol. XXVII, hal 346, juga vol. VII, hal 384-8, dan vol. VIII, hal 588).
Dia juga mengecam penyalahgunaan hukum tradisional dari Qiyas untuk memperluas hal yang bersangkutan ke daerah Haram, seperti pengambilan bunga pada modal dan menunjukkan bahwa mengambil bunga yang tersisa di bank atau kantor pos tidak termasuk dalam hukum keharaman riba. (Al-Manar, vol. VII, hal 28).
Rashid Reda juga membuat klasifikasi baru riba yang telah menjadi referensi bagi semua ulama modernis sejak saat itu. Reda membuat perbedaan perlakuan hukum yang dia istilakan dengan "riba dari Al-Qur'an" dan "riba dari Sunnah". Reda mempertahankan bahwa bentuk utama dari Riba adalah haram seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur'an, dan bahwa larangan ini harus dipertahankan setiap saat. Namun di sisi lain, teks-teks Sunnah yang melarang jenis Riba ringan atau sekunder, menurut dia, umumnya dilarang tapi mungkin diizinkan dalam hal kebutuhan (darurah).
Pada dasarnya Dia mengurangi makna Riba an-nasiah yang sebenarnya dan menjadikannya menjadi sesuatu yang lain. Prosesnya sebagai berikut:


  • Pertama, ia mempertahankan bahwa riba dilarang dalam Al Qur’an, yang dikenal sebagai 'riba al-jahiliyah' (ketika seseorang tidak membayar kewajibannya setelah waktu yang ditentukan, penjual akan meningkatkan harga) yang salah dimaknainya dan disamakannya dengan Riba an-nasiah.
  • Kedua, ia keliru mengasumsikan bahwa riba an-nasiah yang dimaksud hanya untuk pinjaman, dan juga bahwa pinjaman tersebut hanya Haram ketika terlibat bunga yang berlipat, dan oleh karena itu, bunga yang tidak berlipat ia keluarkan dari larangan tersebut.
  • Dan kemudian, ia menyimpulkan bahwa bunga sederhana (bunga yang tidak berlipat) yang diberikan atau dibayarkan oleh bank tidak dilarang oleh ketentuan-ketentuan Al-Qur'an maupun Sunnah sekalipun.


Dan dia juga menyatakan bahwa ‘larangan yang tersisa dari Sunnah adalah seperti yang terjadi pada perdagangan, khususnya untuk pertukaran secara barter’. Dan dia salah berasumsi bahwa riba penjualan dan barter adalah riba al-fadl. Sebagai contoh, jika dua orang bertukar emas satu sama lain, jumlah emas harus sama dalam berat, keduanya harus serah-terima langsung di tempat. Dia berargumen bahwa pertukaran tersebut tidak seperti riba al-jahiliyah yang dipahaminya, jenis ini tidak dikenal oleh orang Arab, karena sulit untuk memahami mengapa orang akan bertukar dua komoditi yang jumlah atau beratnya yang sama sekaligus. Di sini ia menunjukkan "kebingungan tentang kesetaraan" dan akibatnya sebuah penolakan sepenuhnya pada isu penundaan. Jadi ia melihat Riba al-fadl sebagai bagian dari praktek barter yang telah lama ditinggalkan ketika orang akan bertukar emas untuk emas (dan sejenisnya), dia juga berargumen bahwa pertukaran semacam itu tidak dilakukan lagi.
Hadits yang terkenal seperti 'tangan ke tangan' dan 'yang sama untuk yang sama' merujuk pada riba yang belum dipahami oleh para ulama modernis. Mereka tidak bisa memahami relevansi penjelasan dari argumen dan bentuk tersebut. Emas untuk emas, yang sama untuk yang sama, dari tangan ke tangan, adalah deskripsi dari kesetaraan transaksi. 'Yang sama untuk yang sama' mengacu pada kesetaraan dalam jumlah yang jika tidak dihadirkan dalam transaksi tertentu maka terkena Riba al-fadl, dan 'tangan ke tangan' mengacu pada kesegeraan transaksi tertentu yang jika tidak dihadirkan maka terkena riba an-nasiah. Ini adalah pernyataan yang secara khusus melarang kemungkinan bertukar "emas yang tidak dihadirkan (Dayn)" untuk "emas yang dihadirkan ('ayn)". Hal ini sangat relevan, dan karena itu, umat Islam dapat terjaga dari kecurangan terhadap emas mereka, seperti bertukar dengan 'janji-janji palsu yang mewakili emas' (bentuk awal dari uang kertas). Hal-hal demikianlah yang membuat uang kertas menjadi Halal, ulama-ulama modernis telah mengabaikan relevansi dari sebuah hadits dan sebuah formulasi yang sudah diciptakan.
Hadits tersebut mengacu khusus pada pertukaran Dinar dan Dirham untuk barang-barang yang berbeda, dan men-sirat-kan ketidakmungkinan menggunakan 'janji pembayaran' dalam pertukaran. Kedua kasus ini merupakan kasus yang relevan dan penting bagi kita.
Sebagai kesimpulannya, Reda berpendapat:


  1. Hanya riba al-jahiliyah lah yang disebut sebagai Riba an-nasiah. Dan hanya bunga berlipat-lah yang mendapat predikat Haram.
  2. Riba al-fadl bisa saja terjadi di setiap pertukaran. Dan Riba macam itu adalah efek kedua dari pertukaran dan dapat dihalalkan pada kondisi darurah.


Hal ini pada gilirannya menimbulkan beberapa kebingungan, seperti:


  1. Riba an-nasiah terjadi pada kelebihan (tafadul) yang terjadi dalam suatu transaksi di mana ada penundaan - seperti pinjaman.
  2. Riba al-fadl terjadi dalam kelebihan (tafadul) yang terjadi dalam transaksi di mana tidak ada di penundaan.


Menurut pandangan ini, kedua jenis riba diciptakan oleh kelebihan (tafadul) yang kita sebut sebagai riba al-fadl. Oleh karena itu, pada kenyataannya, mereka tidak melihat, atau tidak ingin melihat, kasus riba yang diciptakan oleh penundaan (nasa’), yang kita sebut riba an-nasiah.


4.3. Para pengikut Reda

PARA PENGIKUT REDA pada dasarnya mengadopsi klasifikasi yang sama tetapi berbeda pada masalah bunga berlipat. Mereka sepakat bahwa bunga tunggal juga Haram, namun dapat diterapkan dalam keadaan darurah. Dan mereka tidak menganggap penting Riba al-fadl, yang mereka lihat sebagai barter. Kemudian ulama modernis mengisi kekosongan yang diciptakan dengan definisi mereka sendiri tentang Riba al-fadl dengan mengacu pada monopoli, monopsoni, dan kecurangan harga di pasar secara umum.
Yang benar adalah bahwa kedua jenis Riba tersebut an-nasiah dan al-fadl, dilarang oleh Al-Qur'an. Bahkan defenisi riba dari Alquran dan Sunah persis sama. Sunnah hanya bertindak sebagai sebuah komentar hidup terhadap Al-Qur'an.
Ulama-ulam baru yang pro-banking mengambil klasifikasi dasar Riba guna memulai proses islamisasi lembaga kapitalis secara keseluruhan, dimulai dengan yang paling penting yaitu Bank. Untuk meng-Islamisasi bank, tidak hanya bunga yang harus disamarkan, tapi juga penggunaan uang kertas. Penyembunyian bunga pun dilakukan melalui beberapa mekanisme, yang paling penting adalah mendefinisikan ulang Murabahah sebagai sebuah kontrak finansial. Penerimaan 'surat tanda kesanggupan hutang' pun dilakukan melalui re-definisi riba secara hati-hati yang pada dasarnya menggantikan makna riba an-nasiah dengan definisi baru.
Bagaimana itu dilakukan?

4.4. Kesalahpahaman Riba an-nasiah hari ini

ULAMA MODERN PRO-PERBANKAN mewarisi 'kebingungan tentang kesetaraan' yang sama yang menghantui ekonom sejak masa Bentham. Mereka tidak bisa memahami makna dari 'emas untuk emas, yang sama untuk yang sama, dari tangan ke tangan'. Mereka disesatkan  dengan peralihan makna kalimat tersebut dan pemahaman sederhana tentang Bunga. Dalam proses ini mereka mengabaikan dua hal:


  1. Makna komprehensif dari istilah 'yang sama untuk yang sama', jika berlebih dari makna tersebut maka dianggap ‘bunga’;
  2. mereka benar-benar mengabaikan issu tentang ‘penundaan’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun