Pak Buaton berjalan ke arah ku. Apalagi ini?.
Dia memperhatikan pekerjaanku. "Kamu, dari tadi senyum-senyum, jelaskan apa itu Himpunan Penyelesaian yang kamu kerjakan" ujarnya pekan tapi jelas. Suaranya lembut tapi menghujam bagaikan belati tepat di ulu hatiku.
"Hegh!" aku kelabakan. "O..a..o...ee..Himp..."
Kembali kepalaku dielusnya. Kali ini sebelah kiri. Pelan-pelan tangannya naik ke atas menarik rambut telingaku. Perih dan sakit. "Allangi tolor i, asa malo utohutok mi-makan telor biar pinta kau" katanya.
Mariani, gadis cantik di samping ku pun tersenyum melihat ku. Menurut ku dia senang dan menikmati penderitaan yang kualami saat itu. Rasanya dia sangat puas dan senang atas kejadian yang saya alami.
"Coba tanya temanmu, apa jawabannya" Aku ragu melakukannya. Ku beranikan menatapnya, pandangan kami beradu. Jantung ku bergetar. Duh, tatapan mata indah mempesona itu, membuat ku tak berdaya. Wajahnya yang cantik tak mampu ku pandang. Keringat dingin mulai membasahi tengkukku. Aku menyesal kenapa harus se bangku dengannya.
Seingat ku, ketikan hari pertama masuk sekolah, aku terlambat.
Kampung ku lumayan jauh dari Pakkat. Puluhan kilometer. Aku sengaja menunggu motor,-mobil angkutan paronan-, hari senin itu. Ternyata, aku terlambat di sekolah. Dengan terpaksa aku harus duduk di depan, dengan Mariani.
"Mariani, tolong saya" kataku pelan.Aku tak mampu lagi menatapnya.
"Matte ho.., oto hian do ho antong, tanda hian parhuta-huta- Rasainlah kau, bodoh kali kau, dasar orang kampung-". Dengan ketus, dari bibirnya yang tipis menjawab. Kulihat jari kirinya yang lentik menggeser buku pelajarannya ke arah ku. Menurut ku ini bukan himpunan penyelesaian lagi, tapi sudah menjadi himpunan penyesalan.
Aku susah menjelaskan perasaan ini kepada Mariani. Mungkin aku jatuh cinta kepadanya. Walau ku perhatikan sikapnya seolah memusuhi ku, tapi aku tahu dia juga suka aku.