Indonesia telah menyelesaikan rangkaian panjang "pesta demokrasi" dengan puncaknya adalah pemilihan kepala daerah yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati pada 27 November 2024 lalu. Hasil quick count (hitung cepat) beberapa lembaga survei telah menunjukkan calon-calon yang berhasil memenangkan kompetisi dalam "pesta demokrasi" itu.Â
Malam hari itu juga sebagian peserta kompetisi atau tim suksesnya telah bersujud syukur bahkan berpesta merayakan kemenangan. Walau demikian penetapan hasil pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan diumumkan pada 16 Desember 2024 nanti untuk Gubernur dan antara 29 November-12 Desember 2024 untuk bupati/walikota.
Bagi kandidat yang bersaing dengan lebih dari  satu pasang calon dan belum mencapai jumlah suara yang dipersyaratkan untuk dinyatakan sebagai pemenang pilkada, harus bersiap untuk bertarung lagi pada pemungutan suara putaran kedua.Â
Bagi kandidat yang bertarung hanya dengan satu pasangan calon dan jumlah suaranya telah melampaui 50 persen dari jumlah surat suara, maka sudah dapat dipastikan bahwa pasangan inilah yang akan dilantik sebagai Gubernur, Walikota dan Bupati periode 2024-2029 pada Februari 2025 mendatang.
 Gubernur terpilih akan dilantik pada 7 Februari 2025 dan Bupati/Walikota terpilih hasil pilkada 2024 akan dilantik pada 10 Februari 2025. Tentunya dengan catatan, bahwa dalam perjalanannya nanti tidak muncul permasalahan hukum yang mengakibatkan kemenangannya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, atau batal akibat adanya permasalahan hukum sehingga ditangkap aparat kepolisian.
Kini setelah "pesta demokrasi" itu berlalu, lalu apa yang dilakukan? Tentunya saja para kepala daerah terpilih itu tidak lagi berpesta, karena mesti segera mempersiapkan langkah-langkah untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di daerah, memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat berdasarkan visi, misi beserta berbagai program unggulan yang mereka perjanjikan ketika berkampanye.Â
Di sinilah muncul titik krusial bagi para kepala daerah terpilih, ketika ingin bergerak cepat merealisasikan janji kampanye. Tantangan untuk merealisasikan janji politik secara cepat ini relatif terkendali atau bahkan teratasi bila kepala daerah terpilih adalah incumbent (petahana) atau berada dalam satu jalur dengan rezim sebelumnya.Â
Walau dikemas dengan visi dan misi yang berbeda, program-program yang akan dilaksanakan bisa jadi adalah kelanjutan dari kepemimpinan periode sebelumnya. Tantangan menjadi lebih besar apabila kepala daerah terpilih merupakan rezim yang benar-benar baru, tidak terkait dengan pemerintahan sebelumnya atau bahkan baru pertama kalinya berlaga dalam pilkada dan berhasil memenangkan kontestasi politik itu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Tahun Anggaran 2025 merupakan masa transisi periode kepemimpinan kepala daerah sebelumnya dengan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah pada 27 November tahun 2024. Kondisi masa transisi tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan karena di satu sisi berdasarkan peraturan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus telah disusun dan disahkan pada akhir Tahun 2024.
 Hal ini berarti bahwa penyusunan RAPBD tahun anggaran 2025 masih mengacu pada RPJMD pada era kepala daerah sebelumnya. Di sisi lain, kepala daerah hasil pilkada akan ditetapkan pada Desember 2024 dan dilantik pada Februari 2025. Berdasarkan peraturan pula, selambatnya enam bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik, pemerintah daerah harus menetapkan RPJMD periode tahun 2024-2029.
Kepala Daerah hasil pilkada tentunya berupaya agar visi dan misi serta program yang diperjanjikan kepada masyarakat ketika melaksanakan kampanye dapat segera terealisasi pada tahun 2025. Visi dan misi beserta program-program kerja yang menjadi turunan dari visi dan misi tersebut baru dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah selambatnya enam bulan setelah pelantikan kepala daerah terpilih, yang itu berarti jatuh pada sekitar Agustus 2025.Â
Dengan demikian, keinginan dan harapan kepala daerah periode 2025-2029 untuk dapat segera melaksanakan visi dan misi serta program-program kerja yang telah diperjanjikan tersebut pada Tahun Anggaran 2025 nampaknya akan sulit untuk dapat segera diwujudkan.Â
Momentum tercepat untuk melaksanakannya adalah pada Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025 yang berarti baru dapat dilakukan setelah berlalunya semester I Tahun Anggaran 2025. Hal ini berarti baru pada sekitar bulan September atau bahkan Oktober 2025, dengan sisa waktu pelaksanaan hanya 2-3 bulan hingga akhir tahun anggaran 2025.
Dengan demikian jelas bahwa pada Tahun Anggaran 2025, para kepala daerah terpilih hasil pilkada 27 November 2025 belum dapat merealisasikan janji politiknya secara optimal. Momentum merealisasikan janji politik baru terbuka pada Tahun Anggaran 2026, yang prosesnya sudah akan mulai bergulir dari penyusunan dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RPKD) pada awal tahun 2025.
 Proses ini dimulai dari pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Desa/kelurahan pada Januari-Februari, Musrenbang Kecamatan pada Februari-Maret hingga Musrenbang kabupaten pada bulan Maret, lanjut ke Musrenbang Provinsi pada bulan April hingga Musrenbang nasional pada Mei.
 Berbagai tahapan pembahasan yang menjadi mekanisme resmi dimasukkannya kebijakan politik kepala daerah, aspirasi masyarakat serta pokok pikiran DPRD itu menghasilkan dokumen RKPD yang berdasarkan peraturan harus ditetapkan berdasarkan peraturan kepala daerah pada bulan Juli.
Dokumen RKPD yang telah ditetapkan melalui peraturan kepala daerh ini selanjutnya menjadi dokumen perencanaan yang menjadi basis pembahasan dokumen penganggaran, yaitu Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).Â
Pada tahapan ini kepala daerah melakukan diskusi panjang dengan mitra kerjanya di DPRD untuk menyepakati proyeksi besaran pendapatan dan belanja pada rancangan APBD, besaran pagu program-program strategis dan program unggulannya.Â
Ketika mayoritas parlemen "dikuasai" oleh partai politik yang berada dalam "kubu yang sama" dengan kepala daerah, pembahasan aspek-aspek penganggaran mungkin akan berlangsung mulus dan lancar. Namun bila mayoritas parlemen berada dari "kubu seberang", pembahasan-pembahasan amat berpeluang berjalan secara alot.Â
Tentu saja berbagai diskusi mendalam dan lobi-lobi akan diperlukan, sehingga pemerintah-DPRD dapat menyepakati KUA-PPAS sesuai jadwal, yaitu pada sekitar bulan Agustus.
Tahapan berikutnya, barulah bergulir pada pembahasan RAPBD dengan fondasinya adalah KUA-PPAS tadi, pada sekitar bulan Agustus-November. Pada tahapan ini, dinamika masih pula terjadi karena Kepala Daerah tentu akan memastikan kembali berbagai program strategisnya telah dipersiapkan pagu anggarannya, demikian pula anggota DPRD ingin pula pokok-pokok pikiran telah pula terakomodir pagu anggarannya.Â
Pembahasan-pembahasan RAPBD ini tentunya juga memiliki tenggat waktu, harus mencapai tahap persetujuan selambatnya pada akhir November, mengingat dokumen RAPBD yang telah disetujui kedua pihak ini selanjutnya perlu disampaikan terlebih dahulu kepada pemerintah di tingkatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan evaluasi. Dokumen RAPBD kota/kabupaten dengan demikian dikirimkan kepada pemerintah provinsi untuk mendapatkan evaluasi selama sekitar 10-12 hari kerja.Â
Demikian pula RAPBD provinsi, harus disampaikan kepada pemerintah untuk mendapatkan evaluasi.Â
Setelah mendapatkan evaluasi, dokumen RAPBD ini dikembalikan kepada pemerintah daerah yang mengajukan untuk mendapatkan perbaikan, hingga selanjutnya dapat "diketok palu", disahkan menjadi APBD berdasarkan peraturan daerah selambatnya pada bulan Desember 2025. Dengan demikian pada 1 Januari 2026, barulah kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024 ini mulai dapat bergerak merealisasikan janji-janjinya, hingga akhir periode kepemimpinannya pada tahun 2029.
Mencermati jalan panjang tersebut, maka ketika kepala daerah memiliki obsesi yang demikian besar, janji yang demikian banyak, atau juga "rencana kelanjutan" pasca tahun 2029, mereka tidak bisa lagi "berpesta" berlama-lama. Begitu banyak persiapan dan penyelarasan yang perlu dilakukan, antara janji-janji politik, memastikan kesesuaian janji politik dengan regulasi, hingga mengatasi hal klasik berupa constraint anggaran.
Bagaimana semua janji politik itu dapat dibiayai? Mereka jelas tidak hanya bisa berpikir tentang belanja-belanja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan berbagai janji dan program strategisnya. Mereka juga perlu memikirkan tentang pendapatan, inovasi apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada, menggali atau melakukan diversifikasi sumber-sumber pendapatan baru, agar ruang fiskal yang tersedia semakin memadai.Â
Ketika hanya berpaling kepada pemerintah pusat, mengharapkan bantuan/dukungan APBN, langkah tersebut nampaknya kurang bijak, karena pemerintah pusat yang juga baru terbentuk juga menghadapi tantangan yang sama. Pemerintah pusat pun memiliki berbagai agenda dan prioritas, janji-janji politik yang ingin segera dibuktikan serta membutuhkan juga anggaran besar bahkan ekstra besar.
Penanganan stunting, penanggulangan kemiskinan ekstrim, penciptaan lapangan pekerjaan, perluasan jaminan kesehatan dan jaminan sosial, pembangunan IKN, program makan sehat anak sekolah, pembangunan industri strategis termasuk industri pertahanan, program swasembada pangan nasional, pembangunan sektor energi, penguatan infrastruktur digital, perombakan struktur kabinet dan sebagainya.Â
Itu semua membutuhkan anggaran yang ekstra besar, sehingga pemerintah pusat juga menghadapi constraint dari sisi anggaran dan waktu. Semua seakan merupakan masalah prioritas yang mendesak, membutuhkan anggaran besar dan harus ditangani segera. Belum lagi pemerintah harus memperhatikan perkembangan kondisi geoekonomi dan geopolitik di kawasan maupun pada level global, yang akan berdampak terhadap kondisi ekonomi politik di dalam negeri.
Itu berarti para kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024 sudah tidak bisa lagi berleha-leha, "berpesta" merayakan kemenangannya, karena berbagai agenda nyata dan mendesak telah menanti untuk diselesaikan segera.Â
Di sinilah masyarakat, yang telah memberikan suaranya pada "pesta demokrasi" itu akan melihat dan mencermati, apakah para tokoh yang terpilih, berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah itu merupakan sosok yang nyata-nyata tangguh, visioner dan berdedikasi dalam memimpin dan membangun kehidupan masyarakatnya, atau hanya sosok yang mampu berorasi, menjual mimpi dan janji, atau juga sekadar mampu "membanjiri" masyarakat dengan hibah dan bantuan sosial (bansos) untuk "membeli" dukungan masyarakat.
Para kepala daerah terpilih hasil pilkada 27 November 2024 mengemban beban dan amanat yang sungguh berat. Mereka harus memastikan "pesta demokrasi" itu dapat menghadirkan "pesta" yang sesungguhnya bagi rakyat selama lima tahun ke depan.Â
Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat melalui kontestasi dalam "pesta demokrasi" yang demikian mahal, dibiayai oleh rakyat melalui APBN, sudah seharusnya dapat "dibayar" kembali kepada rakyat. Upaya membayar kembali kepada rakyat itu bukan dilakukan dengan "membanjiri" mereka dengan hibah dan bansos yang memperangkap dan mengerdilkan kreativitas dan partisipasi.
Diperlukan berbagai program strategis yang cerdas dan  visioner, mampu membangkitkan optimisme, semangat, kreativitas dan daya juang masyarakat serta dapat mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki daerah menjadi hal-hal yang bermanfaat secara sosial dan ekonomi.Â
Tujuannya adalah memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat secara berkelanjutan, tidak membuat masyarakat menjadi "hamba" yang secara berkelanjutan menggantungkan kehidupannya dari hibah dan bansos pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H