Pembahasan-pembahasan RAPBD ini tentunya juga memiliki tenggat waktu, harus mencapai tahap persetujuan selambatnya pada akhir November, mengingat dokumen RAPBD yang telah disetujui kedua pihak ini selanjutnya perlu disampaikan terlebih dahulu kepada pemerintah di tingkatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan evaluasi. Dokumen RAPBD kota/kabupaten dengan demikian dikirimkan kepada pemerintah provinsi untuk mendapatkan evaluasi selama sekitar 10-12 hari kerja.Â
Demikian pula RAPBD provinsi, harus disampaikan kepada pemerintah untuk mendapatkan evaluasi.Â
Setelah mendapatkan evaluasi, dokumen RAPBD ini dikembalikan kepada pemerintah daerah yang mengajukan untuk mendapatkan perbaikan, hingga selanjutnya dapat "diketok palu", disahkan menjadi APBD berdasarkan peraturan daerah selambatnya pada bulan Desember 2025. Dengan demikian pada 1 Januari 2026, barulah kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024 ini mulai dapat bergerak merealisasikan janji-janjinya, hingga akhir periode kepemimpinannya pada tahun 2029.
Mencermati jalan panjang tersebut, maka ketika kepala daerah memiliki obsesi yang demikian besar, janji yang demikian banyak, atau juga "rencana kelanjutan" pasca tahun 2029, mereka tidak bisa lagi "berpesta" berlama-lama. Begitu banyak persiapan dan penyelarasan yang perlu dilakukan, antara janji-janji politik, memastikan kesesuaian janji politik dengan regulasi, hingga mengatasi hal klasik berupa constraint anggaran.
Bagaimana semua janji politik itu dapat dibiayai? Mereka jelas tidak hanya bisa berpikir tentang belanja-belanja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan berbagai janji dan program strategisnya. Mereka juga perlu memikirkan tentang pendapatan, inovasi apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada, menggali atau melakukan diversifikasi sumber-sumber pendapatan baru, agar ruang fiskal yang tersedia semakin memadai.Â
Ketika hanya berpaling kepada pemerintah pusat, mengharapkan bantuan/dukungan APBN, langkah tersebut nampaknya kurang bijak, karena pemerintah pusat yang juga baru terbentuk juga menghadapi tantangan yang sama. Pemerintah pusat pun memiliki berbagai agenda dan prioritas, janji-janji politik yang ingin segera dibuktikan serta membutuhkan juga anggaran besar bahkan ekstra besar.
Penanganan stunting, penanggulangan kemiskinan ekstrim, penciptaan lapangan pekerjaan, perluasan jaminan kesehatan dan jaminan sosial, pembangunan IKN, program makan sehat anak sekolah, pembangunan industri strategis termasuk industri pertahanan, program swasembada pangan nasional, pembangunan sektor energi, penguatan infrastruktur digital, perombakan struktur kabinet dan sebagainya.Â
Itu semua membutuhkan anggaran yang ekstra besar, sehingga pemerintah pusat juga menghadapi constraint dari sisi anggaran dan waktu. Semua seakan merupakan masalah prioritas yang mendesak, membutuhkan anggaran besar dan harus ditangani segera. Belum lagi pemerintah harus memperhatikan perkembangan kondisi geoekonomi dan geopolitik di kawasan maupun pada level global, yang akan berdampak terhadap kondisi ekonomi politik di dalam negeri.
Itu berarti para kepala daerah hasil pilkada 27 November 2024 sudah tidak bisa lagi berleha-leha, "berpesta" merayakan kemenangannya, karena berbagai agenda nyata dan mendesak telah menanti untuk diselesaikan segera.Â
Di sinilah masyarakat, yang telah memberikan suaranya pada "pesta demokrasi" itu akan melihat dan mencermati, apakah para tokoh yang terpilih, berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah itu merupakan sosok yang nyata-nyata tangguh, visioner dan berdedikasi dalam memimpin dan membangun kehidupan masyarakatnya, atau hanya sosok yang mampu berorasi, menjual mimpi dan janji, atau juga sekadar mampu "membanjiri" masyarakat dengan hibah dan bantuan sosial (bansos) untuk "membeli" dukungan masyarakat.
Para kepala daerah terpilih hasil pilkada 27 November 2024 mengemban beban dan amanat yang sungguh berat. Mereka harus memastikan "pesta demokrasi" itu dapat menghadirkan "pesta" yang sesungguhnya bagi rakyat selama lima tahun ke depan.Â