“Sudah sampai di mana wa’ang?” Mak Anis mencecarnya. Diam sebentar. Sungguh ia tidak sabar menunggu kabar dari lelaki sulungnya. Namun bukan jawab yang ia harapkan yang mampir di telinganya. Pria awal empat puluh tahun itu mengatakan sesuatu yang membuat hatinya merosot tiba-tiba.
“Aku minta maaf. Aku tidak bisa pulang. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Tadi aku sudah siap-siap mau berangkat, tapi mendadak ada orang pusat datang berkunjung ke kantorku, terpaksa aku menunda cuti dulu. Bisa jadi aku akan menemaninya dalam dua hari ini ke daerah. Aku minta maaf baru sempat mengatakannya sekarang. Mungkin lain kali kami akan pulang,” ujar Reno dengan suara penuh penyesalan.
Mak Anis hanya terdiam. Tak sepatah katapun yang terucapkan. Beberapa kali ia dengar Reno meminta maaf dan berjanji akan mengunjungi di lain kesempatan. Dengan penuh rasa kecewa Mak Anis menutup telepon di genggaman.
***
Di samping Reno, sudah menunggu istri dan kedua anaknya, ingin mengetahui jawaban yang didapat.
“Bagaimana Pa?” tanya istrinya ingin tahu.
“Oke, kita tidak jadi pulang ke kampung. Liburan kali ini kita ke tempat yang kalian idam-idamkan”
Mendengar jawaban itu, kedua anaknya bersorak gembira.
“Hore! Kita jadi liburan ke Singapura!”
Sementara itu, nun jauh di kampung sana, Mak Anis termangu di rumahnya. Randang paku buatannya siang tadi masih teronggok di atas meja.
Ket: