Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Randang Paku Sang Ibu

9 Juni 2016   13:05 Diperbarui: 9 Juni 2016   13:18 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan semalam menyisakan embun bening di ujung dedaunan di pagi itu. Mak Anis sudah dari subuh terbangun untuk bersiap-siap berangkat ke lereng bukit tak jauh dari rumahnya untuk mengumpulkan pucuk-pucuk paku yang hendak dibuat masakan teramat spesial di keluarganya. Randang paku. Sudah cukup lama Mak Anis tak lagi membuat randang paku, semenjak anak-anaknya tidak lagi tinggal bersamanya. Mereka sekarang sudah besar, berkeluarga, dan menetap di kota. Pulang kampung hanya setiap lebaran, itu pun tak semua dari keempat anaknya bisa pulang. Ada saja yang berhalangan dengan berbagai alasan. Kalau tidak si sulung, Reno, yang sering terikat pekerjaan, atau si bungsu, Pia, yang ikut suami pulang ke Jawa. Hanya anaknya yang tengah, Sabir dan Ina rajin pulang. Bukannya Mak Anis tidak mensyukuri kiriman uang sebagai pengganti kehadiran, tapi kerinduan untuk bisa kumpul bersama yang sangat ia dambakan.

Kadang dalam kesendiriannya mengisi hari-hari di rumah gadang, Mak Anis sering melamun, melempar ingatan jauh ke belakang, membayangkan ketika anak-anaknya masih kecil, saat-saat masa pertumbuhan. Walau mereka sering berkelahi satu sama lain berebut apa saja, tapi ada satu hal yang menyatukan mereka. Randang paku buatan sang ibu. Mereka boleh saja berbeda sifat dan kelakuan, tapi rendang paku buatannya telah menyatukan mereka di meja makan. Tak satupun dari anak-anaknya yang tidak mengakui, randang paku buatannya nomor satu. Membuat mereka makan batambuah, mengikis semua yang ada di piring jadi tak bersisa. Melihat anak-anaknya makan dengan lauk randang paku buatannya dengan lahap, hilang sudah semua rasa penat, berganti bahagia yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Betapa akurnya mereka di meja makan dengan randang paku sebagai pemersatu.

Sebenarnya ia sendiri merasa randang paku buatannya biasa-biasa saja. Banyak orang yang lebih lihai memasak masakan berbagai rupa. Dan di mata Mak Anis, randang paku buatannya tidaklah  begitu istimewa. Semua bahan-bahannya biasa, pucuk paku, ikan tongkol, santan kelapa, cabe yang digiling halus, jahe,  lengkuas, kunyit, asam kandis, serai, bawang putih, bawang merah, daun salam, dan daun asam. Hanya itu, tidak kurang tidak lebih. Hanya saja takarannya yang berbeda. Dan soal takaran inilah yang membuat cita rasa jadi berbeda, ditambah dengan cara tangannya mengolah dan memadukan bumbu-bumbu. Bukankah setiap masakan terasa berbeda tergantung tangan yang mengolahnya?

Dan Mak Anis berangkat ke lereng bukit pagi itu. Sendirian menyusuri jalan setapak yang terasa licin sehabis hujan. Sebenarnya ia bisa saja meminta tolong pada Ibet, janda sebelah rumah yang sering membantu kesehariannya. Namun Mak Anis tidak ingin orang lain yang mengambil daun paku untuk randangnya. Ia akan memilih dan memetik sendiri pucuk-pucuk paku terbaik dengan tangan tuanya. Ia tahu mana pucuk paku yang terbaik, yang enak dibuat randang. Pucuk-pucuk yang tunasnya bergelung sempurna, yang mempunyai bulu-bulu halus pada tangkainya, yang warnanya hijau pekat kecoklatan.  Bukan paku yang telah berdaun dan berwana terang.

Ia telah menyusun rencana matang semenjak beberapa hari lalu. Saat menerima telepon dari si sulung Reno kalau ia akan pulang bersama anak dan istrinya, randang paku langsung terbayang. Sudah tiga tahun ini ia tidak pulang. Tentu saja kepulangannya kali ini akan disambut dengan lauk kesayangan.

***

Matahari baru saja sepenggalan naik. Hujan tadi malam membuat tetumbuhan di lereng bukit begitu segar dan Mak Anis dengan matanya yang masih awas membungkuk memetiki pucuk-pucuk paku di rerimbunan semak di pinggir jalan setapak. Lincah tangannya memilih dan memilah, dan tak butuh waktu lama ia melakukan itu. Dalam waktu seperempat jam saja sudah berhasil mengumpulkan pucuk paku segar. Ketika merasa cukup,  ia pun pulang dengan dua ikat besar pucuk paku segar di tangan. Sinar matahari pagi yang sejuk menyinari kulit keriputnya yang berpeluh oleh keringat. Sesekali ia menyeka dengan ujung selendang yang menutupi kepalanya. Dengan langkah gegas ia pulang untuk selanjutnya bersiap-siap ke pasar, untuk membeli bahan-bahan untuk randangnya, terutama kelapa dan ikan tongkol.

Ikan tongkol segar harus ia dapatkan untuk randang paku terbaik, tak peduli harganya lebih mahal. Kualitas terbaik tentu sebanding dengan harga dan ia sudah menyiapkan semuanya. Sebentar saja ia di rumah. Setelah meletakkan paku di wadah nampan, cepat ia mencuci tangan dan membasuh muka dan mengganti baju untuk kemudian pergi ke pasar.

***

Siang menjelang. Mak Anis sudah bejibaku di depan tungku. Ikan tongkol sudah dibersihkan dan dipotong-potong. Daun paku sudah pula ia siangi. Bumbu-bumbu sudah ia haluskan. Bawang merah, bawang putih, jahe, cabe sudah menjadi satu. Kelapa sudah berubah menjadi santan berwarna putih susu.

Api ditungku sudah ia nyalakan. Asap putih bergulung-gulung di udara saat ia meniup pipa penghembus tungku. Sesekali matanya mengerjap menghindari mata dari kelilipan. Ditaruhnya kuali besi yang kehitaman di atas tungku. Tahap pertama ia akan menggoreng ikan tongkol yang telah dilumuri bumbu, campuran bawang merah bawang putih dan jahe serta sedikit garam. Ketika minyak telah cukup panas, ia pun mulai menggoreng potongan ikan tongkol. Ikan langsung berubah memutih saat terendam minyak yang menggelegak. Bunyi mendesis berbaur dengan aroma ikan goreng di udara.  Sekejap dapurnya dipenuhi bau ikan tongkol goreng.

Tak perlu lama ia menggoreng, karena nantinya ikan itu akan dicampur ke dalam rendang paku. Tak lama, semua ikan tongkol pun tergoreng sudah. Saatnya ia mengangkat kuali dari tungku, menggantinya dengan kuali besi yang baru yang lebih lebar tentunya.

Dituangnya semua santan yang ada. Sejenak ia membesarkan api, meniup pipa sekali lagi. Nyala kayu semakin besar. Didorongnya kayu bakar lebih ke dalam. Hawa panas membuat Mak Anis sedikit berkeringat, namun tak ia hiraukan. Baginya, randang paku harus selesai sebelum sore. Karena informasi dari anaknya, Reno, mereka sekeluarga akan datang menjelang malam.

Ah, rasa kangennya semakin bertambah pada lelaki sulungnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Cukup lama untuk sebuah pertemuan yang ia idam-idamkan. Kalau dipikir-pikir, ia bisa saja pergi ke kota menemui anaknya. Tapi ia merasa kehadirannya di rumah Reno, tak lebih sebagai beban saja. Lelaki sulungnya itu orang sibuk, apalagi dengan jabatan yang diembannya sebagai pejabat negara. Begitu juga dengan menantunya, Ranti, seorang akuntan di sebuah BUMN. Kedua orang cucunya juga tentu sibuk dengan sekolah dan lesnya. Daripada sendirian di rumah besar yang tak dikenalnya, lebih baik ia tak ke sana. Biarlah mereka yang ke sini. Seharusnya kan juga begitu? Anaklah yang datang ke orangtua. Ah, kedua cucunya tentu sudah semakin besar sekarang.

Ia kembali menyibukkan diri. Memasukkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan tadi. Kemudian mengaduk-aduk kuah santan yang telah berubah warna. Tak lupa ia masukkan sereh yang telah dimemarkan, lengkuas, asam kandis, daun salam dan daun asam. Walaupun santan belum menggelegak, airnya belum berkurang, namun randang paku buatannnya sudah jadi di pikiran. Terbayang anak, menantu dan kedua cucunya cantuang cantang di meja makan, seperti kenangan dulu sekali. Semakin semangat Mak Anis mengaduk-aduk kuah santan di kuali, menunggu waktu yang tepat, kapan memasukkan pucuk-pucuk paku beserta ikan.

Cukup lama sekali ia mengaduk-aduknya hingga kadar air semakin berkurang. Rendang paku memang bukan masakan gampang jadi. Butuh waktu dan ketelatenan seperti membuat rendang pada umumnya. Di saat waktu yang telah tepat barulah di masukkannya pucuk-pucuk paku dan kemudian ikan yang telah digoreng tadi. Sesekali diaduknya lagi biar tak ada pati yang berkerak di dasar kuali.

Semakin lama kuah makin mengental. Pucuk paku semakin layu. Lama kelamaan semakin menghitam dan berminyak. Ia terus mengaduk-aduknya dengan rasa cinta. Satu hal ilmu memasak yang ia ingat adalah cinta akan mengikat segala rasa, akan menambah rasa lezatnya. Begitu ia yakini sedari dulu. Sampai sekarang pun ia tetap meyakini begitu. Persembahan randang paku untuk anak dan cucu.

Menjelang jam dua siang, akhirnya selesai juga. Rendang pakunya sudah jadi. Dicicipinya sejenak, mencoba rasa di ujung lidah. Tidak ada yang kurang. Semua terasa pas. Mak Anis pun merasa puas.

Beranjak dari dapur, Mak Anis merasa lega. Meski tubuh tuanya merasa lelah, tidak ia hiraukan. Giliran sekarang membersihkan dan merapikan rumah. Setelah itu ia akan mandi menyegarkan badan. Kalau Reno, anaknya itu, pulang hari ini, tentunya akan sampai sebelum maghrib menjelang. Setidaknya ia sudah siap menyambut kedatangan mereka.

***

Hape jadul miliknya tiba-tiba berbunyi di saat ia duduk manis di beranda rumahnya. Segera ia angkat dan menjawabnya. Terdengar suara si Sulung di seberang sana.

“Assalamualaikum, Mak.” ucapnya di ujung sana.

“Sudah sampai di mana wa’ang?” Mak Anis mencecarnya. Diam sebentar. Sungguh ia tidak sabar menunggu kabar dari lelaki sulungnya. Namun bukan jawab yang ia harapkan yang mampir di telinganya. Pria awal empat puluh tahun itu mengatakan sesuatu yang membuat hatinya merosot tiba-tiba.

“Aku minta maaf. Aku tidak bisa pulang. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Tadi aku sudah siap-siap mau berangkat, tapi mendadak ada orang pusat datang berkunjung ke kantorku, terpaksa aku menunda cuti dulu. Bisa jadi aku akan menemaninya dalam dua hari ini ke daerah. Aku minta maaf baru sempat mengatakannya sekarang. Mungkin lain kali kami akan pulang,” ujar Reno dengan suara penuh penyesalan.

Mak Anis hanya terdiam. Tak sepatah katapun yang terucapkan. Beberapa kali ia dengar Reno  meminta maaf dan berjanji akan mengunjungi di lain kesempatan. Dengan penuh rasa kecewa Mak Anis menutup telepon di genggaman.

***

Di samping Reno, sudah menunggu istri dan kedua anaknya, ingin mengetahui  jawaban yang didapat.

“Bagaimana Pa?”  tanya istrinya ingin tahu.

“Oke, kita tidak jadi pulang ke kampung. Liburan kali ini kita ke  tempat yang kalian idam-idamkan”

Mendengar jawaban itu, kedua anaknya bersorak gembira.

“Hore! Kita jadi liburan ke Singapura!”

Sementara itu, nun jauh di kampung sana, Mak Anis termangu di rumahnya. Randang paku buatannya siang tadi masih teronggok di atas meja.

Ket:

Randang paku              = rendang pakis

Pakis                            = tumbuhan yang bernama latin Diplazium esculentum

Batambuah                  = makan nambah

Cantuang cantang        = sejenis kata sifat, tidak ada padanan Indonesia, tapi menunjukkan keseruan, kehebohan, dan yang melibatkan beberapa pihak, tergantung dalam kalimat yang digunakan.

Wa’ang                        = kamu (laki-laki), digunakan bila si pembicara lebih tua daripada lawan bicara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun