Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Randang Paku Sang Ibu

9 Juni 2016   13:05 Diperbarui: 9 Juni 2016   13:18 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak perlu lama ia menggoreng, karena nantinya ikan itu akan dicampur ke dalam rendang paku. Tak lama, semua ikan tongkol pun tergoreng sudah. Saatnya ia mengangkat kuali dari tungku, menggantinya dengan kuali besi yang baru yang lebih lebar tentunya.

Dituangnya semua santan yang ada. Sejenak ia membesarkan api, meniup pipa sekali lagi. Nyala kayu semakin besar. Didorongnya kayu bakar lebih ke dalam. Hawa panas membuat Mak Anis sedikit berkeringat, namun tak ia hiraukan. Baginya, randang paku harus selesai sebelum sore. Karena informasi dari anaknya, Reno, mereka sekeluarga akan datang menjelang malam.

Ah, rasa kangennya semakin bertambah pada lelaki sulungnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Cukup lama untuk sebuah pertemuan yang ia idam-idamkan. Kalau dipikir-pikir, ia bisa saja pergi ke kota menemui anaknya. Tapi ia merasa kehadirannya di rumah Reno, tak lebih sebagai beban saja. Lelaki sulungnya itu orang sibuk, apalagi dengan jabatan yang diembannya sebagai pejabat negara. Begitu juga dengan menantunya, Ranti, seorang akuntan di sebuah BUMN. Kedua orang cucunya juga tentu sibuk dengan sekolah dan lesnya. Daripada sendirian di rumah besar yang tak dikenalnya, lebih baik ia tak ke sana. Biarlah mereka yang ke sini. Seharusnya kan juga begitu? Anaklah yang datang ke orangtua. Ah, kedua cucunya tentu sudah semakin besar sekarang.

Ia kembali menyibukkan diri. Memasukkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan tadi. Kemudian mengaduk-aduk kuah santan yang telah berubah warna. Tak lupa ia masukkan sereh yang telah dimemarkan, lengkuas, asam kandis, daun salam dan daun asam. Walaupun santan belum menggelegak, airnya belum berkurang, namun randang paku buatannnya sudah jadi di pikiran. Terbayang anak, menantu dan kedua cucunya cantuang cantang di meja makan, seperti kenangan dulu sekali. Semakin semangat Mak Anis mengaduk-aduk kuah santan di kuali, menunggu waktu yang tepat, kapan memasukkan pucuk-pucuk paku beserta ikan.

Cukup lama sekali ia mengaduk-aduknya hingga kadar air semakin berkurang. Rendang paku memang bukan masakan gampang jadi. Butuh waktu dan ketelatenan seperti membuat rendang pada umumnya. Di saat waktu yang telah tepat barulah di masukkannya pucuk-pucuk paku dan kemudian ikan yang telah digoreng tadi. Sesekali diaduknya lagi biar tak ada pati yang berkerak di dasar kuali.

Semakin lama kuah makin mengental. Pucuk paku semakin layu. Lama kelamaan semakin menghitam dan berminyak. Ia terus mengaduk-aduknya dengan rasa cinta. Satu hal ilmu memasak yang ia ingat adalah cinta akan mengikat segala rasa, akan menambah rasa lezatnya. Begitu ia yakini sedari dulu. Sampai sekarang pun ia tetap meyakini begitu. Persembahan randang paku untuk anak dan cucu.

Menjelang jam dua siang, akhirnya selesai juga. Rendang pakunya sudah jadi. Dicicipinya sejenak, mencoba rasa di ujung lidah. Tidak ada yang kurang. Semua terasa pas. Mak Anis pun merasa puas.

Beranjak dari dapur, Mak Anis merasa lega. Meski tubuh tuanya merasa lelah, tidak ia hiraukan. Giliran sekarang membersihkan dan merapikan rumah. Setelah itu ia akan mandi menyegarkan badan. Kalau Reno, anaknya itu, pulang hari ini, tentunya akan sampai sebelum maghrib menjelang. Setidaknya ia sudah siap menyambut kedatangan mereka.

***

Hape jadul miliknya tiba-tiba berbunyi di saat ia duduk manis di beranda rumahnya. Segera ia angkat dan menjawabnya. Terdengar suara si Sulung di seberang sana.

“Assalamualaikum, Mak.” ucapnya di ujung sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun