sumber : Setara, Desember 2010
Tabel 1, memperlihatkan mengenai bahasan utama dari masalah-masalah syariat Islam yang masuk kedalam perundang-undangan nasional. undang-undang maupun perda syariat sering dijadikan sebuah legitimasi baik pemerintah maupun kelompok organisasi Radikal untuk melakukan tindakan intoleransi. Sebagai contoh, perda anti maksiat yang banyak di jumpai di beberapa daerah di Jawa Barat, sering menimbulkan aksi dan kekerasan sepihak oleh organisasi-organisasi Radikal dengan melakukan aksi sweeping terhadap para pedagang kecil maupun tempat-tempat hiburan malam. Yang anehnya adalah para kelompok organisasi radikal ini sama sekali tidak memiliki hak dalam melakukan aksi tersebut.
Dampak yang sangat terasa akibat dari aksi sepihak tersebut adalah banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena kerusakan dari tempat usaha mereka. Tentu saja, sekali lagi tindakan-tindakan kekerasan ini melanggar hak-hak dan kesempatan masyarakat dalam mencari kebutuhan hidupnya. Sedangkan aparat keamanan yang memiliki mandat mengatur ketertiban umum, malah diam seribu kata tanpa adanya tindakan hukum terhadap aksi-aksi kekerasan tersebut.
Proses radikalisasi organisasi Islam hingga tindakan aksi main hakim dan seringnya para kelompok radikal mengambil alih peran aparat keamanan memperlihatkan adanya ancaman terhadap falsafah Pancasila yang menjunjung keberagaman. Selain itu aksi-aksi ini mencerminkan adanya pelanggaran terhadap konsensus bersama yaitu Undang-Undang Dasar 1945, karena melanggar hak-hak warganegara lainnya tanpa melalui proses hukum yang jelas. Ancaman terhadap Pancasila dan Konstitusi negara juga disebabkan karena tidak tegasnya pemerintah dalam menindak aksi-aksi jalanan tersebut, dan adanya pembiaran berkembangnya kelompok-kelompok radikal intoleran dimasyarakat. Jika hal ini terus berlanjut, maka ancaman terhadap integrasi bangsa akan semakin besar dan potensial sekali dapat meruntuhkan pemerintah dan negara.
Perlindungan terhadap kebebasan beragama oleh konstitusi
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan kostitusi Negara yang dijadikan sebagai peraturan tertinggi dalam menjalankan kehidupan bernegara di Republik Indonesia. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terlihat jelas bahwa tujuan dari bangsa Indoensia adalah “...kedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Hal ini menyiratkan bahwa konstitusi Negara Indonesia mengakui adanya hak asasi warga negara dalam mewujudkan suatu keadilan sosial bagi Rakyat Indonesia. Terkait dengan kebebasan beragama, pasal 28 (e) dan 29 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan hak dan jaminan warga negara dalam memilih dan melaksanakan agamanya. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi : (1)”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memlilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, (2)”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” sedangkan pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang 1945 juga menjelaskan: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang yang berkait dengan hak masyarakat untuk beragama terdapat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 22 yang menyatakan : “(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Sedangkan tanggung jawab dalam melindungi, mamajukan dan penegakan hak asasi manusia menjadi tugas negara khususnya pemerintah. Pernyataan ini terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999, memberikan penjelasan yang amat gamblang mengenai hak beragama yang merupakan sebuah pilihan individu, dan negara hanya sebagai fasilitator dalam menyediakan sarana keberlangsungan hak warga negara untuk memilih agama dan menjalankan agamanya. Namun, beberapa peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang Dasar 1945, maupun Undang-Undang yang telah berlaku, malah menyimpang jauh dari kaidah aturan yang lebih tinggi mengenai hak beragama. Seperti SKB tiga menteri yang membatasi hak beragama dari jemaah Ahamdiyah dalam melakukan aktivitas peribadatan mereka. Isi SKB tiga menteri adalah sebagai berikut : (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai dengan UU No. 1 PNPS 1965. (2)Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus jemaat Ahamdiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya. (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus Jamaah Ahmadiyah yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sangsi sesuai peraturan perundangan. (4) Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada semua warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. (7) Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, 09 Juni 2008.
Seperti yang telah di kemukakan diatas ternyata SKB 3 Menteri malah menambah persoalan terhadap diskriminasi Jamaah Ahamdiyah. Selain itu surat keputusan bersama ini mencerminkan intervensi pemerintah terhadap hak warga negara dalam beragama, dimana seharusnya pemerintah melindungi keberlangsungan agama-agama yang dianut oleh setiap warga negara Indonesia. Surat keputusan tersebut juga melibatkan pemerintah daerah yang juga semakin memperuncing permasalahan, seperti lahirnya Peraturan Gubernur di beberapa Provinsi yang melarang aktivitas Jamaah Ahamdiyah. Sekali lagi baik pemerintah pusat maupun daerah memperlihatkan intervensi pemerintah terhadap hak yang paling individu dari warga negara yaitu beragama melalui pelarangan aktivitas beragama. Kebijakan pemerintah tersebut menjadi sebuah pelanggaran terhadap HAM dan konsensus bersama Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus filosofi negara yaitu Pancasila. Pemerintah sendiri memiliki hak untuk melakukan sebuah intervensi dan pembatasan bagi agama maupun kepercayaan, tetapi hal ini terbatas pada ruang-ruang tertentu saja. Ruang-ruang tersebut mencakup lima elemen yaitu : hal yang berkaitan dengan keselamatan masyarakat; hal yang berkaitan dengan ketertiban umum; hal berkaitan dengan kesehatan masyarakat; hal yang berkaitan dengan etik dan moral masyarakat; dan hal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap kebebasan mendasar orang lain. Secara terperinci dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. Atau ajaran agama yang melarang penganutnya memakai helm pelindung kepala dalam berkendaraan.
2.Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
- Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
- Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
- Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1)Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2)Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.