Mohon tunggu...
Bondan Wicaksono
Bondan Wicaksono Mohon Tunggu... -

Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terorisme dan Radikalisme Era Global

30 Maret 2016   18:25 Diperbarui: 30 Maret 2016   18:31 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makalah ini tidak menggunakan pada daftar terroris yang dikeluarkan oleh pemerintah AS, oleh karena ada beberapa alasan, satu di antaranya adalah preferensi masyarakat Indonesia. Di dalam hal terorisme, belum tentu preferensi masyarakat Indonesia akan selalu sama dengan pihak lainnya. Memang benar bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap manusia, dan perlu upaya internasional untuk bahu membahu memerangi kejahatan tersebut, akan tetapi preferensi masyarakat merupakan modal dasar. Di dalam masyarakat Indonesia, kondisi faktual mengungkapkan bahwa ada juga kelompok radikal yang mengatas namakan kepentingan kelompok etnis, dan ada juga yang menggunakan atribut agama. Kelompok inilah yang sangat vokal dan (terkesan) ‘mewarnai’ preferensi masyakat Indonesia, yang secara tidak langsung telah membentuk citra Indonesia di panggung dunia dalam hal penanganan terorisme.

Apabila menggunakan pikiran Francis Fukuyama[5], maka gerakan semacam itu (barangkali) dapat dikatagorikan sebagai contemporary movement for liberal rights. Contoh yang lebih konkrit adalah Hizbullah di Libanon, suatu non-state actor mampu mewujudkan ‘pemerintahan’ di Beirut selatan, dan situasi di lapangan memperlihatkan bahwa pemerintah Libanon tidak dapat berbuat banyak. Kelompok tersebut memiliki daya (power) yang besar, bahkan memiliki paramilitary wing yang mampu berperang melawan (baca: memukul) angkatan bersenjata (Israel) yang sangat terlatih dan memiliki sistem senjata yang paling modern di dunia. Contoh lainnya adalah Macan Tamil di Sri Lanka, mereka juga memiliki daya (military power) yang dapat mengimbangi daya (military power) pemerintah Sri Lanka. Barangkali, ada perbedaan dalam hal idiologi politik perjuangan antara LTTE dengan Hizbullah, tetapi ada persamaannya yaitu menggunakan coercive approach yang oleh pihak lainnya, sudah di pandang sebagai aksi terorisme.

Batasan mengenai political terror sampai saat ini, belum ada kesepakatan internasional yang dapat di bakukan. Figur Yasser Arrafat bagi Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula dengan founding fathers negara Israel yang pada waktu itu dicap sebagai terrorist tetapi setelah Israel merdeka, mereka dianggap sebagai pahlawan bangsa dan dihormati. Namun ada pemahaman para pakar yang mengatakan bahwa political terrorism pada dasarnya mempunyai tujuan politik.

Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang sudah mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, maka tujuan mereka adalah merubah kebijakan nasional. Contohnya, peledakan pada 13 stasiun kereta api di Madrid (2004) bertujuan merubah kebijakan pemerintah Spanyol mengenai pelibatan kontingen militernya di Irak. Sedangkan kelompok teroris yang berada di negara yang belum mapan institusi demokrasi dan supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak struktur politik dan atau pemerintahan. Contohnya banyak terjadi di Asia, Amerika Latin, dan Afrika.

Munculnya aksi terror gerakan radikal tidak dapat dicegah oleh karena beberapa hal, yaitu; (i) pengikutnya memiliki motivasi yang kuat, (ii) pengorganisasian yang sangat flexible, dan (iii) menggunakan metoda dan pola operasi yang unconventional.

Motivasi yang kuat. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa frustration is the root of all kind rebellion (Boone, 1978), diwujudkan dalam berbagai bentuk dan salah satunya pemberontakan. Frustasi dapat diakibatkan oleh berbagai hal, antara lain kesenjangan kaya dan kemiskinan yang amat lebar, tidak terpenuhinya hak dasar, sistem penegakan hukum sangat lemah dan memihak kepada kepentingan tertentu, dan seterusnya. Namun penyebab yang terbesar adalah ancaman hilangnya identitas dan ketidak-adilan[6], yang dialami oleh pihak-pihak tertentu. Bagi pihak tersebut, pilihannya hanya dua yaitu hilangnya identitas dan menjadi korban ketidak adilan, atau berjuang dengan berbagai cara, untuk agar identitas[7] mereka tidak hilang dan memperoleh keadilan. Motivasi yang paling kuat adalah yang berkaitan dengan kepercayaan (faith), berikutnya adalah yang berkaitan dengan kelangsungan identitas etnis, dan yang ketiga adalah yang berkaitan dengan idiologi politik. Apabila pendekatan tersebut dapat diterima, maka motivasi yang paling kuat adalah rangkuman ketiga unsur tersebut.

Proses rekrutmen tentunya tidak sulit untuk mendapatkan calon anggota yang pada dasarnya sudah fundamentalistik dan fanatik, yang nantinya (relative) mudah ditempa untuk menjadi radikal dan militant. Ada dua contoh yang menguatkan argumen tersebut, yaitu Shining Path di Peru dan New People Army di Philippines. Apabila dicermati dengan seksama, ada perbedaan motivasi antara yang kader dan yang ‘ikutan’, oleh karena tidak ada pilihan lain didalam memperjuangkan distribusi keadilan. Masih banyak contoh lainnya di berbagai belahan bumi ini, muncul gerakan radikal sebagai wujud perlawanan terhadap ketidak-adilan dan ancaman hilangnya identitas.

Pengorganisasian yang flexible. Prinsip dasar, setiap organisasi yang tidak memiliki sumber daya yang kuat akan membentuk organisasi yang kecil, efisien, namun kenyal (flexible). Prinsip kedua adalah memelihara kerahasiaan yang tinggi dan sangat mobile, dan menganut azas kompartementasi. Organisasi semacam ini tidak memerlukan kantor yang representatif, tidak juga perlu memasang berbagai atribut yang memukau, dan menghindari organisasi tipe panitia. Tujuannya adalah rentang kendali pengendalian (span of control) menjadi sangat pendek. Bentuk yang paling sederhana adalah pimpinan dan anggota yang biasanya diawali dengan model organisasi tanpa bentuk. Nantinya, organisasi tersebut akan berkembang sesuai dengan kebutuhan, misalnya memiliki jaringan intelijen (baca: informan), sayap propaganda, jaringan pendukung logistik, dan sebagainya. Ada pula kelompok pendukung yang tidak direkrut, hanya dengan memanfaatkan simpati atau hasil ‘penggalangan’. Unit tersebut akan digunakan hanya untuk kegiatan tertentu yang terbatas dan durasi yang sangat terbatas juga. Meskipun demikian, perlu dipahami dengan baik bahwa organisasi inti akan tetapi kecil dan sangat tertutup, dan tidak terbuka terhadap bagian lain. Prinsipnya ada tiga hal, yaitu secure, simple, and flexible.

Menggunakan metoda dan pola unconventional. Penggunaan metoda dan pola operasi yang unconventional disebabkan kekuatan pihak tersebut, belum dapat mengimbangi kekuatan pemerintah atau pihak mayoritas. Dalam teknis militer, pola dan metoda tersebut dikenal dengan istilah gerilya. Konsep dasarnya adalah menyerang selagi musuh lengah, arahkan pada titik rawan (efek psikolojik tinggi), dan lakukan secepatnya. Banyak contoh yang sudah dipraktekkan, misalnya menyerang pihak militer yang sedang santai di bar atau diskotik, sasarannya adalah petugas komunikasi, ajudan pejabat tinggi, bagian logistik angkutan udara, dan sebagai. Durasi serangan hanya beberapa menit, dan bisa dirancang beruntun pada beberapa tempat yang mempunyai nilai stratejik, kritis, dan sensitif. Metoda dan pola tersebut sangat efektif digunakan dan hasilnya yang spectacular akan menaikkan moril pihak gerilya.

Perkembangan gerakan teroris.

Pada mulanya kelompok kelompok terror bekerja sendirian beraksi dalam batas wilayah negara masing masing, akan tetapi pada tahun 1970-an mereka mengembangkan kerjasama yang meliputi pertukaran intelijen, pusat pelatihan (termasuk instruktur), memasok perlengkapan operasional, sampai pada menentukan sasaran operasi bersama. Yang dimaksud dengan kerja sama operasi adalah bukan dalam bentuk joint operation, tetapi pada obyektif atau sasaran yang ingin dicapai. Misalnya Japanese Red Army melakukan serbuan di pelud Lod, Israel, atas nama PLO, kemudian ETA (separatis Basque) menyerang kepentingan Italy di teritori Spanyol dengan mengatas namakan Brigade Merah Italy (Rossa Brigade), demikian juga sebaliknya atas nama ETA maka Rossa Brigade menyerang target milik pemerintah Spanyol yang berada di wilayah Italy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun