Soal memaksakan pemakaian atribut tertentu yang bisa dikaitkan dengan simbol agama sebenarnya perlu dipahami dalam rangka hak dan kewajiban majikan dan karyawan.Â
Dalam hukum positif yang berlaku, majikan dan karyawan memiliki hak dan kewajiban yang jelas. Hak menjalankan agama dan hak berpakaian sesuai keyakinan agama dijamin oleh Undang-Undang Negara Indonesia.Â
Secara etika moral, karyawan boleh saja mengenakan atribut tertentu asal dia memberikan persetujuan (consent) dan tanpa paksaan. Majikan juga perlu terbuka menerima penerimaan maupun penolakan dari karyawan dalam hal pemakaian atribut ini.Â
Memaksakan atribut-atribut tertentu yang bernuansa keagamaan tertentu kiranya perlu ditinjau ulang. Apalagi ternyata atribut yang dikenakan karyawan yang bukan beragama tertentu itu malah tampak ganjil dilihat konsumen dari kalangan penganut agama yang konon disasar oleh simbol tersebut.Â
Jika ingin usaha maju dan laris, tingkatkanlah kualitas produk dan layanan. Bukan dengan "ikut-ikutan" mewajibkan pemakaian atribut tertentu yang ambigu dan ganjil.Â
Orang bisa berdalih, kan hanya atribut saja. Konon mengenakan atribut tidak akan menimbulkan masalah keimanan dan tenggang rasa. Masalahnya tidak sesederhana itu.Â
Atribut itu secara visual dan rohani berdampak bagi yang memakai dan yang melihatnya. Ketidaknyamanan subjektif dalam hal berpakaian dan tampil di depan publik perlu dipertimbangkan.Â
Dalam negeri Bhinneka Tunggal Ika, kiranya kita perlu mengembangkan sikap toleran dan kritis dalam beragama dan bermasyarakat. Karyawan berhak menyuarakan pendapatnya soal kebijakan memakai atribut tertentu. Majikan harus bijak sebelum memutuskan pemakaian atribut tertentu. Sungguhkah perlu atau malah salah sasaran dan bikin tidak nyaman?Â
Salam persaudaraan dari saya yang berasal dari keluarga bineka. Salam literasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H