Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlukah Karyawan Diwajibkan Pakai Atribut Natal?

15 Desember 2023   05:18 Diperbarui: 15 Desember 2023   05:26 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlukah karyawan diwajibkan pakai atribut Natal - Unsplash/Mike  Arney

Natal yang dirayakan pada 25 Desember sebentar lagi tiba. Kemeriahan Natal sudah dapat kita rasakan di mana-mana. Termasuk di pusat perbelanjaan dan rumah makan. 

Ada satu hal yang sering menjadi perdebatan: perlukah karyawan diwajibkan memakai atribut Natal? Bagaimana jika karyawan itu bukan kristiani? Apakah karyawan yang bukan kristiani wajar diminta memakai atribut Natal? Inilah pendapat jujur penulis, seorang kristiani, mengenai topik hangat yang selalu aktual ini. 

Natal dan Komersialisasi yang Menyertainya

Sebagai seorang kristiani, saya melihat bahwa Natal modern sudah sangat mengalami komersialisasi. Natal sejatinya adalah perayaan kelahiran Yesus di kandang sederhana di Bethlehem. Natal mengajak kita untuk kembali kepada kesederhanaan, bukan kemewahan. 

Natal seharusnya bersimbol khas Alkitab: palungan, kandang domba, para malaikat, Maria, Yusuf, tiga orang Majus dari Timur, dan para gembala yang adalah kaum marjinal pada zamannya.

Baca: Renungan dan Inspirasi Khotbah Makna Tema Natal 2023

Natal tidak ada hubungan langsungnya dengan Sinterklas/Santa Klaus, rusa, pohon Natal (justru ini bukan pohon khas Tanah Suci), kereta salju, dan pernak-pernik lainnya. Bahwa simbol-simbol ini menjadi seolah pernak-pernik wajib Natal adalah buah dari pengaruh budaya Eropa dan Amerika Utara. 

Contoh nyatanya adalah Sinterklas yang baru diciptakan pada tahun 1881. Versi ikonik Sinterklas sebagai pria periang berbaju merah dengan janggut putih dan sekarung mainan diabadikan pada tahun 1881. Waktu itu kartunis politik Thomas Nast memanfaatkan puisi Moore untuk menciptakan citra Santo Nikolaus untuk zaman sekarang.

Kita tidak anti simbol-simbol tersebut, hanya saja kita perlu memahaminya sebagai pernak-pernik saja, bukan simbol inti dari Natal menurut Alkitab dan iman kristiani. Bahkan, pernak-pernik Natal yang ditampilkan di pusat perbelanjaan, restoran, dan ruang publik sering kali merupakan representasi dari komersialisasi Natal. 

Meminjam istilah Kaum Postmodernis, konsumsi adalah contoh kecenderungan individualisasi masyarakat materialistis modern. Dari sudut pandang argumen individualisasi ini, mereka melihat konsumsi sebagai pusat pembentukan identitas melalui penanaman gaya hidup (Bauman, 1988; Beck, 1992; Giddens, 1991). 

Konsumsi mewakili mekanisme utama yang melaluinya individualisasi diekspresikan. Konsumsi pernak-pernik Natal menjadi ekspresi konsumerisme modern berbalut agama. 


Atribut Natal Diwajibkan bagi Karyawan? Mengapa?

Di sejumlah perusahaan dan tempat kerja, atribut Natal diwajibkan bagi karyawan tanpa memandang perbedaan agama mereka. Mengapa bisa terjadi demikian?

Ada berbagai kemungkinan alasan dan kritik yang menyertainya: 

Pertama, atribut Natal dipandang sebagai bagian inti dari (komersialisasi) perayaan Natal dan pelayanan konsumen.

Hal ini adalah wujud pemaksaan simbol yang salah arah dan sesat pikir. Seolah demi menyambut konsumen dalam hari-hari menjelang Natal, atribut Natal harus dikenakan juga oleh karyawan. Padahal, apa artinya karyawan memakai simbol itu jika pelayanan mereka tetap saja buruk? Jika ingin menyenangkan konsumen, buatlah pelatihan keramahtamahan (hospitality) bagi karyawan, bukan malah mewajibkan pemakaian atribut tertentu yang tidak ada kaitannya dengan pelayanan konsumen.

Kedua, atribut Natal dipandang sebagai kewajaran di tengah perbedaan keyakinan.

Karyawan (bukan kristiani) sering kali menjadi tidak nyaman karena memandang pernak-pernik Natal itu sebagai simbol keagamaan tertentu. Mewajibkan atribut Natal sebagai kewajaran di tengah perbedaan keyakinan adalah juga wujud sesat pikir. 

Konsumen yang kristiani pun, termasuk penulis, sering kali malah merasa ganjil ketika, misalnya, melihat karyawati berhijab mengenakan atribut Natal. Haruskah seperti itu "demi konsumen?"

Keluarga saya kebetulan memiliki toko dan tempat usaha yang juga mempekerjakan sebagian besar karyawan bukan kristiani. Sejak dulu kami tidak mewajibkan karyawan-karyawati memakai atribut Natal. Karyawan-karyawati kami beri kesempatan beribadah dan mengenakan pakaian sesuai ajaran agama masing-masing. Pada hari-hari Lebaran, kami memberikan pula THR dan cuti lebaran. 

Hak dan Kewajiban Majikan dan Karyawan

Soal memaksakan pemakaian atribut tertentu yang bisa dikaitkan dengan simbol agama sebenarnya perlu dipahami dalam rangka hak dan kewajiban majikan dan karyawan. 

Dalam hukum positif yang berlaku, majikan dan karyawan memiliki hak dan kewajiban yang jelas. Hak menjalankan agama dan hak berpakaian sesuai keyakinan agama dijamin oleh Undang-Undang Negara Indonesia. 

Secara etika moral, karyawan boleh saja mengenakan atribut tertentu asal dia memberikan persetujuan (consent) dan tanpa paksaan. Majikan juga perlu terbuka menerima penerimaan maupun penolakan dari karyawan dalam hal pemakaian atribut ini. 

Memaksakan atribut-atribut tertentu yang bernuansa keagamaan tertentu kiranya perlu ditinjau ulang. Apalagi ternyata atribut yang dikenakan karyawan yang bukan beragama tertentu itu malah tampak ganjil dilihat konsumen dari kalangan penganut agama yang konon disasar oleh simbol tersebut. 

Jika ingin usaha maju dan laris, tingkatkanlah kualitas produk dan layanan. Bukan dengan "ikut-ikutan" mewajibkan pemakaian atribut tertentu yang ambigu dan ganjil. 

Orang bisa berdalih, kan hanya atribut saja. Konon mengenakan atribut tidak akan menimbulkan masalah keimanan dan tenggang rasa. Masalahnya tidak sesederhana itu. 

Atribut itu secara visual dan rohani berdampak bagi yang memakai dan yang melihatnya. Ketidaknyamanan subjektif dalam hal berpakaian dan tampil di depan publik perlu dipertimbangkan. 

Dalam negeri Bhinneka Tunggal Ika, kiranya kita perlu mengembangkan sikap toleran dan kritis dalam beragama dan bermasyarakat. Karyawan berhak menyuarakan pendapatnya soal kebijakan memakai atribut tertentu. Majikan harus bijak sebelum memutuskan pemakaian atribut tertentu. Sungguhkah perlu atau malah salah sasaran dan bikin tidak nyaman? 

Salam persaudaraan dari saya yang berasal dari keluarga bineka. Salam literasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun