Konsumsi mewakili mekanisme utama yang melaluinya individualisasi diekspresikan. Konsumsi pernak-pernik Natal menjadi ekspresi konsumerisme modern berbalut agama.Â
Atribut Natal Diwajibkan bagi Karyawan? Mengapa?
Di sejumlah perusahaan dan tempat kerja, atribut Natal diwajibkan bagi karyawan tanpa memandang perbedaan agama mereka. Mengapa bisa terjadi demikian?
Ada berbagai kemungkinan alasan dan kritik yang menyertainya:Â
Pertama, atribut Natal dipandang sebagai bagian inti dari (komersialisasi) perayaan Natal dan pelayanan konsumen.
Hal ini adalah wujud pemaksaan simbol yang salah arah dan sesat pikir. Seolah demi menyambut konsumen dalam hari-hari menjelang Natal, atribut Natal harus dikenakan juga oleh karyawan. Padahal, apa artinya karyawan memakai simbol itu jika pelayanan mereka tetap saja buruk? Jika ingin menyenangkan konsumen, buatlah pelatihan keramahtamahan (hospitality) bagi karyawan, bukan malah mewajibkan pemakaian atribut tertentu yang tidak ada kaitannya dengan pelayanan konsumen.
Kedua, atribut Natal dipandang sebagai kewajaran di tengah perbedaan keyakinan.
Karyawan (bukan kristiani) sering kali menjadi tidak nyaman karena memandang pernak-pernik Natal itu sebagai simbol keagamaan tertentu. Mewajibkan atribut Natal sebagai kewajaran di tengah perbedaan keyakinan adalah juga wujud sesat pikir.Â
Konsumen yang kristiani pun, termasuk penulis, sering kali malah merasa ganjil ketika, misalnya, melihat karyawati berhijab mengenakan atribut Natal. Haruskah seperti itu "demi konsumen?"
Keluarga saya kebetulan memiliki toko dan tempat usaha yang juga mempekerjakan sebagian besar karyawan bukan kristiani. Sejak dulu kami tidak mewajibkan karyawan-karyawati memakai atribut Natal. Karyawan-karyawati kami beri kesempatan beribadah dan mengenakan pakaian sesuai ajaran agama masing-masing. Pada hari-hari Lebaran, kami memberikan pula THR dan cuti lebaran.Â
Hak dan Kewajiban Majikan dan Karyawan