Tibalah hari penahbisan yang kunanti-nanti. Ekaristi tahbisan berjalan lancar. Seusai ekaristi, aku dan rekan imam baru berjajar di samping kapel untuk bersalaman dengan para tamu undangan. Hampir semua kerabat, guru, dan sahabat yang kuundang datang, juga Thomas dan Frans yang jauh-jauh datang dari luar Jawa. Tanganku mulai lelah karena terus menerus menjabat tangan seribuan orang yang datang silih-berganti.
Akhirnya tersisa beberapa tamu saja di barisan terakhir. “Pastor Yohan, masih ingat saya, kan?” suara lembut itu menyapaku. Suara seorang wanita yang tak asing bagiku. “Lusi...Lusia?”, jawabku terbata-bata. “Benar, Pastor. Saya Lusia. Doa saya agar Pastor setia dan bahagia dalam imamat.” Aku mendadak kehilangan kata-kata. Aku tertegun memandang Lusia yang kini tampak anggun mengenakan pakaian biarawatinya.
Cintaku dan cinta Lusia telah menyublim menjadi satu cinta untuk Sang Cinta.
-TAMAT-
Kisah fiktif belaka. Pernah dimuat di sebuah majalah. Dipersembahkan untuk para pejuang cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H