Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintaku dan Cinta Lusia

28 Mei 2021   16:30 Diperbarui: 28 Mei 2021   16:40 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cintaku dan Cinta Lusia | Photo by Mayur Gala on Unsplash

Lonceng kapel seminari berdentang kencang. Tepat jam enam. Waktunya doa sore. Aku bergegas menuju kapel yang cuma sepelempar batu dari kamarku. Di depan tabernakel, kubersujud, larut dalam doaku. 

Terlintas di benakku, hari-hari yang telah berlalu selama hampir delapan tahun pendidikan di seminari. Bagiku waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, sebulan lagi aku dan dua teman angkatanku akan ditahbiskan menjadi gembala umat. Alangkah bahagianya!

Seusai doa dan makan malam, aku sibuk mengurus undangan. Kucatat siapa saja yang hendak kuundang pada hari penahbisan nanti. Kerabat, sahabat, dan tetangga dekat sudah masuk dalam catatanku. Begitu pula para guruku dari SD sampai SMK. Kucoba mencari siapa lagi yang akan kuundang. Kubuka album foto lawasku. Pandangaku tertuju pada foto-foto semasa aku kerja.

Ya, sebelum masuk seminari, aku sempat bekerja empat tahun di pabrik perakitan motor di pinggiran Jakarta. Bagiku masa-masa di ibu kota begitu mengesan. Meskipun harus bekerja keras di bengkel dari pagi sampai sore, aku betah karena teman-teman kerjaku sangat menyenangkan.

Kuamati sebuah foto saat aku dan teman-teman kerjaku menyerahkan sembako untuk para pemulung di kolong jembatan tak jauh dari tempat kerja kami. Aku masih ingat siapa saja yang mejeng dalam foto itu: Thomas anak Medan, Frans anak Ambon, dan Lusia.

Aku menghela nafas panjang saat nama gadis Manado itu kembali terlintas dalam benakku. Lusia...Lusia Ayu Moniaga. Nama yang indah, seindah perangainya.

Kuterkenang saat jemari tanganku terluka parah karena terjepit mesin. Teman-teman membawaku ke ruang kesehatan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Saat itu Lusia yang bertugas sebagai perawat jaga dengan cekatan menolongku. Bukan hanya itu, dia juga rajin membesukku selama aku dirawat di rumah sakit.

Sejak saat itu kami makin akrab. Sebulan setelah aku keluar dari rumah sakit, kami jadian. Dia tak malu berpacaran dengan aku, yang tiap hari bergumul dengan asap dan oli. Padahal, setahuku ada manajer rupawan yang juga naksir padanya.

Suatu hari, Lusia mengajakku ikut persekutuan doa karyawan katolik. Awalnya aku ogah-ogahan. Maklumlah, aku termasuk katolik KTP: datang ke Gereja setahun sekali, berdoa kalau lagi sakit atau tak punya duit.

Saat itu Lusia terus membujukku, “Mas Yohan. ayo ikut saja. Kegiatannya asyik, kok. Lagipula nanti kita nggak cuma doa, tapi bahas bakti sosial juga”. Akhirnya aku turuti ajakannya.

Rupanya asyik juga ikut kegiatan persekutuan doa. Tiap Jumat siang, kami berkumpul untuk berdoa dan sesekali mengundang pastor untuk merayakan ekaristi. Jelang Natal dan Paskah, kami kumpulkan sebagian gaji untuk membeli sembako bagi para pemulung yang tinggal tak jauh dari pabrik kami.

Karena dorongan Lusialah aku jadi benar-benar katolik, tak hanya katolik-katolikan. Bersamanya, aku jadi rajin berdoa. Kadang kami ziarah ke Gua Maria. Tiap Minggu, kami ke Gereja. Tiap akhir bulan, biasanya Lusia mengajakku ke sebuah panti asuhan yang dikelola para suster. 

Di panti asuhan itulah, Lusia rutin membantu pemeriksaan kesehatan bagi anak yatim-piatu.  Seringkali dengan uangnya sendiri, Lusia membelikan kue dan buah untuk mereka. Lama-lama, aku terpengaruh oleh kedermawanannya. Kusisihkan juga uangku untuk membelikan sesuatu yang berguna anak-anak panti asuhan itu.

***

Masa-masa indahku bersama Lusia tak berlangsung lama. Bagai tersambar petir di siang bolong, aku terkejut saat dia bilang kalau dia harus pulang kampung. 

“Mas Yohan, ayahku sakit-sakitan. Ibuku sudah tiada. Tinggal akulah yang bisa merawat ayah. Terima kasih atas semua yang telah kita lalui. Bagiku kamu lelaki yang baik. Tapi akhirnya jarak memisahkan kita. Aku akan selalu berdoa untukmu, Mas,” pesan terakhirnya padaku. 

“Terima kasih juga, atas  perhatianmu padaku selama ini. Banyak hal dalam diriku berubah berkat dirimu,” jawabku. 

Beberapa waktu semenjak perpisahan itu, Lusia seperti hilang ditelan bumi. Nomor telponnya sudah tak aktif. Sudah kucoba mencari-cari namanya di situs jejaring sosial, tapi tiada hasil. 

Kutanya teman-teman sekantorku dulu, tapi tiada yang tahu di mana gerangan dia kini berada. Mungkin dia sudah menikah dan hidup bahagia dengan suami dan anak-anaknya.

Lusialah kekasih terakhirku. Setelah pisah dengannya, aku lebih senang terjun dalam kegiatan Gereja. Aku mulai bergabung dengan kaum muda katolik di gereja paroki dekat kontrakanku. Aku lantas mengenal Pastor Andreas, seorang pastor yang peduli pada kaum papa. 

Setelah setahun melayani kaum miskin bersama Pastor Andreas, aku tergerak untuk menjadi pastor sepertinya. Karena itulah, aku beranikan diri untuk meninggalkan pekerjaanku dan mendaftar masuk seminari. Dan berkat tuntunan Tuhanlah aku lewati masa pendidikan seminari dengan lancar hingga saat jelang penahbisan ini.

***

Tibalah hari penahbisan yang kunanti-nanti. Ekaristi tahbisan berjalan lancar. Seusai ekaristi, aku dan rekan imam baru berjajar di samping kapel untuk bersalaman dengan para tamu undangan. Hampir semua kerabat, guru, dan sahabat yang kuundang datang, juga Thomas dan Frans yang jauh-jauh datang dari luar Jawa. Tanganku mulai lelah karena terus menerus menjabat tangan seribuan orang yang datang silih-berganti.

Akhirnya tersisa beberapa tamu saja di barisan terakhir. “Pastor Yohan, masih ingat saya, kan?” suara lembut itu menyapaku. Suara seorang wanita yang tak asing bagiku. “Lusi...Lusia?”, jawabku terbata-bata. “Benar, Pastor. Saya Lusia. Doa saya agar Pastor setia dan bahagia dalam imamat.” Aku mendadak kehilangan kata-kata. Aku tertegun memandang Lusia yang kini tampak anggun mengenakan pakaian biarawatinya.

Cintaku dan cinta Lusia telah menyublim menjadi satu cinta untuk Sang Cinta.

 -TAMAT-

Kisah fiktif belaka. Pernah dimuat di sebuah majalah. Dipersembahkan untuk para pejuang cinta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun