Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Cinta di Jogja [Prolog]

23 Mei 2021   11:28 Diperbarui: 23 Mei 2021   11:31 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Prolog: Di Tepi Kali Code]

Mentari pagi Jogja bersinar cerah. Berkas-berkas sinarnya menembus dedaunan di atas gazebo kantin kampus di bilangan Mrican itu. Sambil menunggu bel masuk kelas, Yosef membaca sebuah buku lusuh.

Dari kejauhan, Maria mengamati pemuda itu. Ada sosok pria tua pada sampul buku yang sedang dibaca Yosef. Karena penasaran, Maria mendekat.

"Oh, ternyata lagi baca buku Romo Mangun," kata Maria.

"Eh, kamu, Ria. Iya, kemarin aku dipinjami ibu kos. Katanya buku ini jadul tapi mantul. Cocok dibaca pendatang baru di Jogja," ujar Yosef.

"Rumahku kan dekat Kali Code. Ada mural Romo Mangun juga di sana," tutur Ria.

"Oh, ya? Kalau begitu boleh aku main ke rumahmu? Sekalian minta diantar lihat mural itu?"

"Boleh, Yos. Nanti sore, ya. Nanti aku share loc. Gampang, kok cari rumahku."

Yosef mengangguk. Tetiba bel berdering. Mereka berdua masuk kelas masing-masing. Yos anak sastra. Ria matematika.

*

Pukul 16. Sang surya mulai melembut. Bayu bertiup mengiring kayuhan sepeda Yosef dari Mrican ke arah Kotabaru. Sebagai anak rantau dari Pulau Bintan, Yos memang rela hidup hemat.

Sebenarnya papa dan mamanya siap membelikan motor bekas, tapi Yosef memilih beli sepeda. Ia tahu, penghasilan orang tuanya tak seberapa.

Sambil melirik layar ponsel, Yos mencari-cari rumah bercat biru muda. Aha, akhirnya ketemu juga. Seorang ibu paruh baya membukakan pintu.

"Ini Mas Yosef, ya? Monggo pinarak. Mari masuk. Saya ibunya Ria," sambut wanita itu.

"Terima kasih, Tante. Ria lagi di mana, ya?" selidik Yosef sambil memasuki rumah mungil namun rapi itu.

"Sabar, Mas Yosef. Dia sedang ke warung sebentar. Lupa gula di rumah habis. Maklum kami cuma berdua, ndak stok makanan banyak-banyak. Bapaknya Ria meninggal sudah agak lama."

"Oh, begitu ya Tante. Kebetulan saya juga anak tunggal."

"Walah, kok bisa sama dengan Ria. ya? Oh ya. Panggil saya Bu Prapti saja. Malu saya dipanggil Tante..."

"Siap Tante...eh, Bu Prapti," jawab Yosef kikuk.

*

Langkah kaki terdengar mendekat. Ria masuk ruang tamu dengan senyum terkembang. Memamerkan gigi gingsul yang membuatnya tampak manis.

"Maaf, Yos. Bikin kamu nunggu. Mau dibuatkan teh atau kopi?"

"Teh saja, Ria. Jantungku masih berdegub kencang nih gara-gara lihat senyummu. Eh, gara-gara habis gowes!"

Tawa Bu Prapti dan Ria pecah di ruang tamu itu. "Mas Yos ini polos atau merayu Ria di hadapan ibunya, sih?" celetuk Bu Prapti.

Yang ditanya menjawab dengan tertawa seolah tanpa dosa.

*

Setelah menyeruput teh hangat yang bikin semangat, Ria dan Yos bergegas berjalan kaki menuju mural Romo Mangun nan tersohor itu. Sepanjang jalan, anak-anak berlarian riang. 

Wajah-wajah sumringah tampak dari orang-orang kampung di tepian Kali Code itu. Biarpun baru ketemu pertama, tetap saja keramahan terasa. Ah, Jogja memang istimewa. 

"Eh, Mbak Ria. Selamat, ya. Sekarang sudah jadi anak kuliahan," ucap pria paruh baya itu. 

"Oh, Pak RT. Matur nuwun. Berkat pangestu Bapak juga," jawab Ria. 

"Ini pasti teman kuliah, ya? Dari mana asalnya, Mas...?"

"Yosef, Pak. Panggil saja Yos. Saya dari Kepulauan Riau, Pak RT"

Pak Eko, sang ketua RT itu pun mengantar Yos dan Ria melihat mural Romo Mangun sembari menikmati suasana tepian Kali Code.

"Jadi begini Mas Yos. Dulu tahun 1983, Romo Mangun mulai mengunjungi kampung sini. Waktu itu cuma ada delapan rumah gedhek. Ketika banjir, banyak rumah hanyut. Nah, Romo Mangun ajak warga untuk bangun rumah yang lebih baik," kisah Pak Eko.

"Gedhek itu apa, Pak?" selidik Yos.

"Oh maaf, maklum lidah Jogja. Gedhek itu anyaman bambu, Mas Yos. Kalau hujan angin ya tembus. Jadi gampang sakit penghuni rumahnya," terang Pak Eko.

Langkah mereka terhenti di sebuah rumah mungil persis di tepi Code. Tetiba Pak Eko terdiam sejenak. 

@infojogja
@infojogja
"Nah, ini rumah bapak saya. Sekarang kosong. Dia meninggal lima belas tahun lalu. Bapak saya ini salah satu warga pertama yang mendukung ajakan Romo Mangun. Bapak saya ikut membujuk warga agar mau gotong-royong, biarpun ada yang menentangnya," kenang pria berkumis tipis itu.

"Orang baik dan niat baik saja ada yang menolak, ya Pak?" komentar Ria.

"Iya, Mbak Ria. Tapi Romo Mangun tidak lantas nglokro. Tetap menggandeng orang-orang baik lain untuk meyakinkan warga bantaran kali ini," jawab Pak Eko. 

Tetiba mata pria yang lumayan kekar itu berkaca-kaca. "Dulu Bapak saya juga sempat dipukul orang yang kalap. Dikira orang itu, Bapak saya ingin dapat untung dari Romo Mangun..."

Air mata Pak Eko mengucur lebih deras. Yos dan Ria saling berpandangan. Mereka menghela nafas panjang. Sementara itu, seorang wanita tergopoh-gopoh datang dari belakang punggung mereka bertiga. 

[bersambung...]

-24 Mei 2021-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun