Saya melihat warga setempat menangkap ikan di sungai. Mereka cerdik membuat alat penangkap ikan dengan beberapa cara. Ada model jaring. Ada pula model pancing dengan beberapa kail sekaligus.
Sayang sekali, hasil tangkapan ikan tidak bisa diandalkan. Kadang dua hari berusaha, tiada satu pun ikan besar berhasil ditangkap. Jika banjir dari hulu datang, air sungai jadi keruh sehingga ikan menjauh. Akibatnya, keluarga-keluarga kesulitan mendapat asupan protein hewani.Â
Mahal dan langkanya daging di pedalaman menjadi faktor penyebab lainnya. Tambah lagi, masyarakat setempat juga belum mengenal teknik membuat tahu dan tempe. Juga belum menguasai kiat beternak unggas sumber protein hewani, seperti ayam dan bebek.
Dalam masyarakat berpola hidup (semi)ekstraktif, asupan protein cenderung tidak stabil dan sangat minim. Hal ini mengakibatkan peningkatan potensi kekurangan gizi pada para wanita yang mengandung dan menyusui. Dampak ikutan sangat mudah diprediksi: peningkatan risiko stunting dan wasting.
Menurut World Health Organization atau Badan Kesehatan Dunia, stunting (kerdil) adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak-anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak ditakrifkan mengalami stunting bila rasio tinggi badan terhadap usia kurang dari dua deviasi standar menurut median Standar Pertumbuhan Anak WHO.
Stunting pada awal kehidupan, terutama pada seribu hari pertama sejak bayi dikandung, menimbulkan aneka kerugian: gangguan kognisi dan prestasi sekolah, upah rendah ketika anak itu kelak bekerja, berkurangnya produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit kronis terkait nutrisi.
Pendek kata, stunting sangat mempengaruhi perkembangan kapasitas kognitif, bahasa, dan motorik-sensorik anak.
Sementara itu, wasting adalah situasi di mana anak di bawah usia lima tahun memiliki rasio berat badan terhadap tinggi kurang dari dua deviasi standar menurut median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Wasting biasanya disebabkan kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu panjang dan seringnya si balita terjangkit penyakit.
Tingginya stunting di Indonesia
Dilansir indonesia.go.id, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia. Â Menkes Nila F Moeloek menyatakan, pada 2019 angka stunting turun menjadi 27,67 persen.Â