Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Daging dan Telur Ayam Penting Cegah Stunting, Yuk Dukung "Ayam Aman"

7 Januari 2021   12:03 Diperbarui: 7 Januari 2021   12:08 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peternak ayam layer petelur - kompas.com

Beberapa tahun lalu, saya bertugas di sebuah desa di Kalimantan Utara. Waktu itu wilayah itu masih termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Perjalanan dari kota kabupaten ke kampung itu memakan waktu setidaknya tiga jam dengan perahu ketinting. 

Bahan pangan pokok berupa beras didapatkan warga setempat dari hasil bertanam padi ladang. Akan tetapi, bahan pangan lain, seperti aneka daging, telur ayam, gula pasir, minyak goreng, dan sejumlah bumbu dapur tetap harus dibeli di kota. 

Di kampung yang dihuni sekitar 300 warga itu, hanya ada dua warung. Saya biasa berbelanja di salah satu warung sambil mengobrol dengan warga setempat yang sangat ramah menyambut pendatang. Berbelanja di warung sembari bersosialisasi mengingatkan saya pada suasana warung keluarga saya di DIY.

"Mama Lina, saya beli minyak goreng satu botol. Juga telur sepuluh. Tolong pilihkan yang masih bagus," pinta saya. Mama Lina, si pemilik warung menjawab,"Untuk baya hem pasti Mama pilih yang bagus."

"Baya hem" adalah sebutan warga setempat untuk orang dari Jawa. Arti harfiahnya "orang asam". Bagi warga di situ, asam identik dengan Pulau Jawa. Semua perantau dari Jawa mereka sebut "orang asam" alias "baya hem."

Kembali ke soal telur. Mengapa saya meminta telur yang masih bagus? Karena pernah terjadi, saya membeli beberapa telur yang sudah kedaluwarsa. Bukan salah siapa-siapa. Di daerah pedalaman, memang sukar mendapatkan produk yang masih segar.

Saya coba membayangkan jadi si telur yang harus menempuh perjalanan panjang dari peternakan nun jauh di sana. Entah sudah berapa kali telur itu berpindah tangan dari tangan pedagang satu ke pedagang lain hingga tiba di warung Mama Lina.

Harganya sebutir telur di warung Mama Lina bisa tiga kali lipat harga telur di warung keluarga saya di Yogyakarta. Inilah wajah pelosok Indonesia yang sesungguhnya. Jarang diliput media arus utama. 

Ketika ada kenaikan harga BBM, warga di pedalaman tidak ikut demo. Mengapa? Bukan karena tidak merasakan dampak kenaikan harga. Mereka sudah terbiasa membeli barang dengan harga berlipat-lipat dari harga di Jawa. Hanya bisa menerima berapa pun kenaikan harga.

Pola hidup ekstraktif dan dampak pada gizi ibu dan anak

Belasan tahun lalu, warga di kampung tempat saya bertugas selama setahun itu masih menerapkan pola hidup ekstraktif. Apa artinya? Warga memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup dengan mengumpulkan apa yang dihasilkan alam.

Saya melihat warga setempat menangkap ikan di sungai. Mereka cerdik membuat alat penangkap ikan dengan beberapa cara. Ada model jaring. Ada pula model pancing dengan beberapa kail sekaligus.

Sayang sekali, hasil tangkapan ikan tidak bisa diandalkan. Kadang dua hari berusaha, tiada satu pun ikan besar berhasil ditangkap. Jika banjir dari hulu datang, air sungai jadi keruh sehingga ikan menjauh. Akibatnya, keluarga-keluarga kesulitan mendapat asupan protein hewani. 

Mahal dan langkanya daging di pedalaman menjadi faktor penyebab lainnya. Tambah lagi, masyarakat setempat juga belum mengenal teknik membuat tahu dan tempe. Juga belum menguasai kiat beternak unggas sumber protein hewani, seperti ayam dan bebek.

Dalam masyarakat berpola hidup (semi)ekstraktif, asupan protein cenderung tidak stabil dan sangat minim. Hal ini mengakibatkan peningkatan potensi kekurangan gizi pada para wanita yang mengandung dan menyusui. Dampak ikutan sangat mudah diprediksi: peningkatan risiko stunting dan wasting.

Menurut World Health Organization atau Badan Kesehatan Dunia, stunting (kerdil) adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak-anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak ditakrifkan mengalami stunting bila rasio tinggi badan terhadap usia kurang dari dua deviasi standar menurut median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

Stunting pada awal kehidupan, terutama pada seribu hari pertama sejak bayi dikandung, menimbulkan aneka kerugian: gangguan kognisi dan prestasi sekolah, upah rendah ketika anak itu kelak bekerja, berkurangnya produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit kronis terkait nutrisi.

Pendek kata, stunting sangat mempengaruhi perkembangan kapasitas kognitif, bahasa, dan motorik-sensorik anak.

Sementara itu, wasting adalah situasi di mana anak di bawah usia lima tahun memiliki rasio berat badan terhadap tinggi kurang dari dua deviasi standar menurut median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Wasting biasanya disebabkan kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu panjang dan seringnya si balita terjangkit penyakit.

Tingginya stunting di Indonesia

Dilansir indonesia.go.id, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia.  Menkes Nila F Moeloek menyatakan, pada 2019 angka stunting turun menjadi 27,67 persen. 

tangkap layar CPIS - dokpri
tangkap layar CPIS - dokpri
Bagaimana dengan data terkini? Pada 21/10/2020, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan, prevalensi stunting menurut hasil survei status gizi balita Indonesia tahun 2019 adalah 27,67 persen.

Tanpa tedeng aling-aling, Muhadjir menyimpulkan, satu dari empat anak balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang cukup lama. Demikian pemberitaan Tribunnews.

tangkap layar databoks.katadata - dokpri
tangkap layar databoks.katadata - dokpri
Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes Dr. Kirana Pritasari MQIH pada 26/2/2020 mengatakan, angka prevalensi stunting Indonesia masih di atas toleransi WHO. Toleransi WHO untuk gizi buruk adalah 10% dan stunting 20%. Sementara Indonesia masih memiliki angka stunting di atas 20%.

Kirana memaparkan, pemerintah kita ingin menurunkan angka stunting menjadi 14% pada 2024. Prioritas penanganan stunting akan dilakukan di 260 kabupaten/kota. 

Konsumsi daging dan telur ayam untuk cegah stunting

Assyifa Szami Ilman & Iqbal Dawam Wibisono dalam Analisis Harga Pangan dan Prevalensi Stunting di Indonesia menyajikan ringkasan dan temuan menarik:

1) Asupan daging sapi, ikan, dan ayam yang rendah telah dikaitkan dengan kasus stunting pada anak. Sebaliknya, konsumsi daging dan ikan secara signifikan dapat mengurangi stunting untuk anak-anak berusia 12-23 bulan (Headey, 2017). 

2) Daging ayam adalah sumber protein yang baik dan juga lebih sehat dibandingkan dengan daging lain (Dowarah, 2017). 

Laporan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tersebut mengaitkan pentingnya mengatur harga jagung sebagai pakan pokok ayam demi menekan harga daging dan telur ayam. 

Sementara Lora Ianotti dkk pada 2017 merilis laporan penelitian di Ekuador. Ternyata pemberian sebutir telur per hari selama enam bulan kepada anak-anak selama periode pemberian makanan pendamping ASI dapat menurunkan prevalensi stunting hingga 47%. 

“Harga telur relatif terjangkau dan mudah didapat. Telur adalah juga sumber nutrisi yang baik untuk pertumbuhan anak. Telur memiliki potensi untuk berkontribusi pada pengurangan prevalensi stunting di seluruh dunia," simpul Lora Iannotti.

Laman nhs.uk mewartakan, beberapa orang tua di Inggris takut memberikan telur kepada anak-anak karena cemas akan adanya salmonella. Akan tetapi, kecemasan ini ditepis oleh Food Standards Agency. FSA menyatakan bahwa telur ayam yang diproduksi dengan standar keamanan pangan berisiko sangat rendah merugikan kesehatan wanita hamil dan anak-anak.  
Bayi harus mendapat ASI eksklusif sampai mereka berusia sekitar 6 bulan. Telur rebus yang telah dihaluskan dapat diberikan kepada bayi ketika mereka berusia sekitar 6-8 bulan. 

"Telur adalah sumber protein dan nutrisi lain yang dibutuhkan anak-anak untuk diet sehat dan seimbang. Karena anak-anak kecil lebih rentan terhadap efek keracunan makanan, sangat penting kita menyimpan dan menyajikan telur dengan benar," tulis laman kesehatan tepercaya tersebut.


Saran dan ajakan

Menurut riset Assyifa Szami Ilman & Iqbal Dawam Wibisono, rata-rata  warga Indonesia  mengonsumsi  11,5  kg  daging  ayam  dan  6,63  kg  telur (sekitar 133 butir)  setiap  tahunnya  (JPP, 2018).  Daging dan telur ayam sudah menjadi bagian penting dari pangan warga.  

Sayangnya,  harga  eceran daging dan telur ayam masih cukup tinggi  karena harga jagung di Indonesia tiga kali lipat harga di pasar dunia. Menurut USDA, jagung menyumbang 50 persen biaya pakan peternakan unggas. 

Harga eceran daging ayam domestik; sumber dari CIPS - dokpri
Harga eceran daging ayam domestik; sumber dari CIPS - dokpri
Saya sepakat dengan usulan agar pemerintah mengatur tata kelola perunggasan secara lebih baik demi kemaslahatan masyarakat. Semakin terjangkau harga daging ayam dan telur, semakin mudah masyarakat mendapatkan sumber gizi yang penting dalam mencegah stunting dan wasting.

Bantuan modal usaha peternakan dan bantuan teknis beternak ayam perlu disediakan agar warga pun bisa beternak secara aman. Jalur distribusi daging dan telur ayam hingga ke pelosok perlu ditata lebih efisien lagi. Siapa tahu, berkat kebijakan pemerintah, harga telur ayam di warung Mama Lina dan warung-warung di pelosok Nusantara bisa lebih murah.

Salah satu jalan mengatasi stunting adalah meningkatkan asupan pangan bergizi. Indonesia menggunakan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS). 

tangkap layar databoks.katadata - dokpri
tangkap layar databoks.katadata - dokpri
Dalam IKPS 2019, dimensi tertinggi pada pangan sebesar 89,13. Penyediaan pangan bergizi menjadi kunci pencegahan stunting dan wasting. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu mendukung kampanye makan daging dan telur ayam. 

Hoaks mengenai daging ayam broiler disuntik hormon harus kita tangkal dengan penjelasan ilmiah.

Kompas.com memuat klarifikasi drh Syamsul Ma’arif, M.Si, Direktur Kesmavet Kementerian Pertanian (4/11/2020). UU No. 18/2009 melarang pemakaian hormon bagi hewan konsumsi, termasuk ayam broiler. Selain itu, produk ternak bernomor kontrol veteriner (NKV) sudah memenuhi persyaratan kesehatan. 

Dr.drh.Denny Lukman, Ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB juga menegaskan, ayam broiler lebih cepat besar karena mempunyai potensi genetik yang unggul.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita pada 2019 menjelaskan, warga tidak perlu terpengaruh hoaks telur palsu. Kementan rutin memeriksa keamanan produk pangan masyarakat.

Ada fakta unik. Menurut sebuah penelitian, ternyata gen manusia 60 persen mirip gen ayam. Ayam memiliki gen interleukin-26 (IL-26), protein kekebalan yang manfaatnya bagi manusia sedang diteliti.

Mantan Menteri KKP, Susy Pudjiastuti mengatakan, "Jika tidak mau makan ikan, saya tenggelamkan." 

Sejatinya pejabat, pemengaruh, dan kita semua perlu menjadikan popular gerakan yang saya usulkan dinamai "Ayam Aman". Ada sejumlah slogan, misalnya: 

1. "Daging dan telur ayam itu aman. Yang bilang tidak aman, nanti diamankan!"
2. "Daging dan telur ayam penting cegah stunting dan kurus kering."

3. "Daging dan telur ayam sumber nutrisi sehat anak hebat."

contoh kampanye Gerakan
contoh kampanye Gerakan
Salam sehat. Mari dukung gerakan "Ayam Aman"!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun