Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Narkoba, Lapas Overkapasitas 836 Persen, dan "Setan" Kemiskinan Napi

31 Oktober 2020   06:32 Diperbarui: 31 Oktober 2020   12:42 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Lipiński Tomasz on Unsplash

Baru-baru ini Kompas.com merilis berita menarik seputar terungkapnya peredaran narkoba yang dikendalikan seorang napi di Pekanbaru, Riau.

Aparat kepolisian yang datang untuk menyelidiki tersangka pelaku sempat "dihalangi" masuk lapas karena sedang hari libur. Suatu hal yang agak ganjil, bukan? Sepertinya hanya di Indonesia, polisi kesulitan menangkap tersangka di hari libur. Oh, alangkah lucunya negeri ini.

Sang pelaku rupanya memiliki telepon genggam. Suatu alat yang dilarang di dalam lapas. Sebenarnya soal fasilitas "khusus" bagi napi spesial sudah diungkap Najwa Shihab.

Blok Istimewa

Beberapa waktu lalu, Najwa Shihab pernah mengadakan wawancara dengan Setya Novanto di Lapas Sukamiskin. 

Najwa Shihab mensinyalir, ruangan tempat ia mewawancarai Setya Novanto bukanlah sel yang ditempati sang terpidana 15 tahun penjara itu. Barang-barang di kamar itu tidak sesuai dengan profil Setnov. Jika demikian, artinya Setya Novanto sehari-hari tinggal di sel yang lebih istimewa. 

Pengalaman saya sebagai bagian dari tim pembina kerohanian di sebuah lapas legendaris di sebuah kota di Pulau Jawa membuktikan keberadaan blok istimewa ini.

"Dia orang kaya. Tinggal di blok istimewa," ujar seorang napi sederhana pada saya kala itu. Saya bertanya, fasilitas apa yang didapat di blok "spesial pake telor" itu.

Lalu sang napi bersahaja menyebutkan sejumlah peralatan elektronik. Waktu itu, HP belum "semurah" sekarang. Memang tidak disebutkan adanya fasilitas HP. Akan tetapi, jika oknum napi berduit bisa menyuap oknum petugas lapas, kiranya benda apa saja bisa masuk.

Overkapasitas dan Lingkaran Setan Kemiskinan (Mantan) Napi

Apa inti permasalahan lembaga pemasyarakatan atau lapas di Indonesia? Pada hemat saya, ada dua:

Pertama, overkapasitas

Pada 2018 sebuah media daring merilis data yang mengejutkan. Bukan hanya LP di ibu kota dan kota-kota besar saja yang overkapasitas. 

Rutan Bagan Siapi-api pada 2018 hanya memiliki daya muat 98 orang tapi dihuni 810 orang atau overkapasitas hingga 836 persen. Di posisi kedua, ada Rutan Takengon yang hanya mampu didiami 65 orang tapi dihuni 495 orang atau overkapasitas 685 persen. Posisi ketiga, Lapas Banjarmasin dengan daya tampung 366 orang tapi dihuni 2.688 orang atau overkapasitas 664 persen. 

Kedua, lingkaran setan kemiskinan (mantan) napi

Agak sukar mendapatkan profil napi di Indonesia. Yang tampak mencuat, sebagian besar kini masuk penjara karena terjerat narkoba. Selain itu, kiranya sebagian besar napi kita berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Saya mengenal seorang napi yang terjerat kasus penipuan kecil-kecilan. Ia memiliki istri yang sedang hamil tua. Kala itu pemerintah belum gencar mengucurkan dana bantuan sosial seperti sekarang (meski juga masih salah sasaran).

Untuk sekadar membantu, kami mengumpulkan sembako bagi keluarga si napi. Beras beberapa kilo yang akan habis dalam hitungan hari. 

Apa yang akan dilakukan si mantan napi ini ketika bebas? Tanpa modal usaha dan tanpa rekam jejak baik, apa yang bisa ia kerjakan?

Sebagian mantan napi kembali melakukan kejahatan karena sulit mendapatkan pekerjaan yang halal dan tiada dukungan modal usaha. Sementara keluarga napi sudah habis banyak biaya untuk pengurusan hukum yang tidak murah dan kadang ternoda rasuah.

Inilah lingkaran setan kemiskinan keluarga (mantan) napi.

Memutus Overkapasitas dan Lingkaran Setan Kemiskinan, Mungkinkah?

Tiada guna menulis artikel ini jika tiada usulan solusi. Karena itu, perkenankan saya menuliskan sejumlah usulan upaya memutus overkapasitas dan lingkaran setan kemiskinan napi di Indonesia.

Pertama, bentuk hukuman bisa berupa kerja sosial

Saat ini hukuman badan (hukuman penjara) masih jadi bentuk utama hukuman di Indonesia. Di banyak negara maju, hukuman bisa berupa kerja sosial untuk masyarakat.

Tentu para napi berbahaya seperti terpidana pembunuhan dan pemerkosaan yang baru saja masuk penjara tidak masuk daftar napi yang bisa melakukan kerja sosial. 

Para napi narkoba yang sudah dibina dengan cukup baik kiranya cocok menjalani kerja sosial. Bisa diperbantukan oleh kementerian dan lembaga negara dan swadaya masyarakat untuk melakukan kebaikan. 

Setahu saya, sistem asimilasi bertahap sudah lama dipraktikkan dalam lapas. Pada hemat saya, bagi tahanan kasus narkoba "ringan" (mayoritas penghuni lapas saat ini), asimilasi bisa dilakukan lebih cepat karena toh mereka ini bukan kategori penjahat sadis.

Okelah, mereka ini pernah merusak diri dan bangsa dengan menjadi pengedar narkoba (kelas teri). Tetapi mereka ini rata-rata masih muda, berpendidikan, dan pantas diberi kesempatan kedua. Mereka ini angkatan kerja potensial!

Hukuman tak harus identik dengan pengurungan dalam penjara yang hanya menambah beban negara dan menyuburkan praktik suap dalam penjara. Apakah tidak mungkin mengintegrasikan napi dengan proyek-proyek padat karya, lembaga sosial lokal, dan karya sosial setempat?

Mereka dapat bekerja dan mendapatkan upah (per jam pun oke) sebagai modal kerja setelah "bebas" nanti. Modal usaha ini kiranya dapat memutus lingkaran setan kemiskinan keluarga (mantan) napi.

Apakah DPR, pemerintah, dan para pemangku kepentingan tidak pernah tertarik menggagas ide hukuman berupa kerja sosial ini di Indonesia? Mengapa sistem pembinaan napi kita demikian kuno dan kurang manusiawi karena melestarikan kemiskinan?

Mengapa seolah tiada kehendak politik selama puluhan tahun untuk mengubah lapas menjadi tempat manusiawi bagi orang yang sungguh mau bertobat? Yang terjadi sekarang kurang lebih: masuk penjara sebagai penjahat kelas teri, keluar jadi penjahat kelas berat.

Kedua, bantuan sosial bagi keluarga (mantan) napi

Keluarga (mantan) napi adalah keluarga yang lazimnya sangat layak mendapat bantuan sosial dari negara dan masyarakat. Apakah Kemenkumham dan Kemensos berbagi data keluarga para (mantan) napi? Hmm...memanusiakan napi di penjara saja masih kerepotan.

Ini bukan berarti saya mengerdilkan kerja keras pemerintah kita dalam membenahi negeri. Tidak mudah mengelola negara sebesar Indonesia dengan anggaran yang besar namun bocor sana-sini.

Semoga tulisan ini dibaca para pembuat kebijakan di negeri ini. Jika mau, pemerintah bisa membenahi pemberantasan kemiskinan dengan menargetkan keluarga mantan napi sebagai subjek yang perlu diberdayakan.

Alih-alih menghabiskan dana untuk mengusik komodo di habitatnya, mungkin pemerintah bisa mengalokasikan dana untuk memberdayakan para napi dan keluarganya.

Wasana kata, para napi adalah saudara-saudari kita yang sedang tersesat. Tugas kita untuk mengembalikan mereka ke jalan hidup yang tepat. Saya sekali lagi menganjurkan pada para dermawan untuk mengadakan bakti sosial untuk bantu napi dan keluarganya. 

Jika Anda tetangga atau teman (mantan) napi, semoga Anda berkenan membantu keluarga napi agar tak menderita dalam kemiskinan yang menyesakkan. Saya sudah melihat derita napi dan keluarga (mantan) napi dengan mata kepala sendiri. Tak tega rasanya. 

Salam persaudaraan. R.B.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun