Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Narkoba, Lapas Overkapasitas 836 Persen, dan "Setan" Kemiskinan Napi

31 Oktober 2020   06:32 Diperbarui: 31 Oktober 2020   12:42 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Lipiński Tomasz on Unsplash

Tiada guna menulis artikel ini jika tiada usulan solusi. Karena itu, perkenankan saya menuliskan sejumlah usulan upaya memutus overkapasitas dan lingkaran setan kemiskinan napi di Indonesia.

Pertama, bentuk hukuman bisa berupa kerja sosial

Saat ini hukuman badan (hukuman penjara) masih jadi bentuk utama hukuman di Indonesia. Di banyak negara maju, hukuman bisa berupa kerja sosial untuk masyarakat.

Tentu para napi berbahaya seperti terpidana pembunuhan dan pemerkosaan yang baru saja masuk penjara tidak masuk daftar napi yang bisa melakukan kerja sosial. 

Para napi narkoba yang sudah dibina dengan cukup baik kiranya cocok menjalani kerja sosial. Bisa diperbantukan oleh kementerian dan lembaga negara dan swadaya masyarakat untuk melakukan kebaikan. 

Setahu saya, sistem asimilasi bertahap sudah lama dipraktikkan dalam lapas. Pada hemat saya, bagi tahanan kasus narkoba "ringan" (mayoritas penghuni lapas saat ini), asimilasi bisa dilakukan lebih cepat karena toh mereka ini bukan kategori penjahat sadis.

Okelah, mereka ini pernah merusak diri dan bangsa dengan menjadi pengedar narkoba (kelas teri). Tetapi mereka ini rata-rata masih muda, berpendidikan, dan pantas diberi kesempatan kedua. Mereka ini angkatan kerja potensial!

Hukuman tak harus identik dengan pengurungan dalam penjara yang hanya menambah beban negara dan menyuburkan praktik suap dalam penjara. Apakah tidak mungkin mengintegrasikan napi dengan proyek-proyek padat karya, lembaga sosial lokal, dan karya sosial setempat?

Mereka dapat bekerja dan mendapatkan upah (per jam pun oke) sebagai modal kerja setelah "bebas" nanti. Modal usaha ini kiranya dapat memutus lingkaran setan kemiskinan keluarga (mantan) napi.

Apakah DPR, pemerintah, dan para pemangku kepentingan tidak pernah tertarik menggagas ide hukuman berupa kerja sosial ini di Indonesia? Mengapa sistem pembinaan napi kita demikian kuno dan kurang manusiawi karena melestarikan kemiskinan?

Mengapa seolah tiada kehendak politik selama puluhan tahun untuk mengubah lapas menjadi tempat manusiawi bagi orang yang sungguh mau bertobat? Yang terjadi sekarang kurang lebih: masuk penjara sebagai penjahat kelas teri, keluar jadi penjahat kelas berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun