Topik pilihan Kompasiana bertajuk "Sengkarut Bahasa Ngeblog" amat menarik dikulik.
Mimin kece menulis, "Apakah menurutmu, Â 'bahasa ngeblog' bisa menjadi ancaman rusaknya Bahasa Indonesia? Pasti kamu sering membaca artikel Kompasianer yang tidak mencerminkan keindonesiaan dari sisi bahasa."
Tanggapan spontan eike atas pertanyaan terakhir adalah: sering bangetz, Min! Coba saja baca artikel berlabel "Tugas di Kompasiana". Kata-kata nginggris bertebaran di mana-mana.
Apakah sebagian (besar) tulisan Kompasiana mengandung bawang? Iya. Penyusun KBBI dan PUEBI langsung nangis melihatnya:)Â
Jangankan orang pedantik, orang biasa seperti saya saja kadang mengelus dada kala membaca beberapa tulisan kompasianer (pemula).Â
Bahasa yang Baik dan Benar Seperti Apa?
Bulan Oktober dicanangkan sebagai Bulan Bahasa. Kita diajak mencintai bahasa persatuan kita. Pertanyaan kita, bahasa Indonesia yang baik dan benar itu yang seperti apa? Kita ambil contoh peristiwa berikut:
Pertama, seorang guru SD bercerita dengan kalimat-kalimat macam ini:
"Hay gaes, jumpa lagi dengan Miss Yuli Similikithi. Hari ini kita mau dengar cerita. Judulnya "Si Kancil Bikin Ambyar Buaya Beringas". Penasaran, kan? Cuzz, kita menuju ke negeri impian."
Kedua, seorang penyuluh pertanian di Jawa Tengah menjelaskan dengan kalimat-kalimat berikut:
Dulur tani semua, sugeng enjang. Mari kita berantas hama dengan pestisida alami dari racikan daun sirih. Â Ngertos to daun sirih? Niku lo...godhong suruh!Â
Bukankah dua contoh di atas adalah kenyataan berbahasa masyarakat kita? Adakah seorang Indonesia yang sepanjang waktu selalu berbahasa baku sesuai EYD, KBBI, PUEBI, dan Tesaurus? Adakah seorang Indonesia yang ketika menulis chat pada yayangnya selalu menggunakan bahasa baku?Â
Sejatinya, seperti kata banyak ahli bahasa, penutur bahasa Indonesia adalah penutur bahasa gado-gado. Campur baur. Kosakata bahasa mana saja dengan gembira kita jadikan bahan peracik kalimat, tanpa berpikir panjang.
Pada hemat saya, bahasa yang baik dan benar itu tergantung konteks pemakaian bahasa.
Ngeblog Bahasa Santuy, Dosakah?
Apakah ngeblog pakai bahasa santuy itu dosa? Menurut saya, tidak. Akan tetapi, ada beberapa catatan:
Pertama, adakan analisis pembaca
Siapa sasaran pembaca tulisan kita? Rentang usia mereka berapa? Apa profesi mereka? Apa yang mereka perlukan sebagai pembaca?
Sebuah tulisan curhat anak muda tentu saja mengadaikan pembaca yang disasar adalah gen-Z yang cair dalam berbahasa.Â
Sebaliknya, hindari menggunakan bahasa (kelewat) gaul ketika sasaran pembaca kita adalah juga orang dewasa (muda) atau paruh baya.Â
Kiranya kurang pantas menulis artikel formal untuk pembaca dewasa dari kalangan "mapan" dengan menggunakan kata ganti "kamu" dan "kalian".Â
Ganti dengan sapaan "kita" atau "Anda" atau "pembaca".
Setahu saya, Kompas.com pun melakukan pembedaan ragam bahasa untuk rubrik-rubrik sesuai gambaran umum pembaca rubrik terkait. Rubrik ekonomi cenderung bergaya formal karena pembacanya kalangan profesional.Â
Kedua, pastikan pesan tersampaikan
Apa sih tujuan komunikasi? Menyampaikan pesan!
Mau puisi atau analisis pertandingan bola, tujuannya sama: memastikan pesan penulis sampai pada pembaca.Â
Bahasa boleh gaul, bahkan penuh banyolan, namun pastikan pembaca menangkap apa yang ingin kita komunikasikan. Karena itu, hindari penggunaan istilah khusus yang sulit dipahami pembaca umum.
Bahasa gaul dan singkatan yang cuma dipahami segelintir kaum muda tidak akan dipahami pembaca umum. Berilah keterangan agar pembaca paham.
Ketiga, tetap patuhi kaidah berbahasa yang wajar
Bukan berarti lalu kita bebas semau gue dalam menulis di blog publik. Ingat bahwa tulisan yang kita publikasikan akan menjadi konsumsi umum.
Ketika mengunggah apa pun di medsos dan blog umum, coretan kita menjadi sorotan publik.
Tentu kita pernah dengar gejala  seleb yang buat bahasa gaul yang kelewat gaul sampai ancur. Itulah contoh gejala berbahasa santuy yang kesantuyan sampai jadi kesurupan.
Agar tidak dituding sebagai perusak bahasa Indonesia, usahakan berbahasa tepat tempat dan tepat sasaran audiens. Ketika menulis artikel setengah formal, berilah keterangan kata baku di samping kata gaul.
Nulis Aja, tapi...
Penulis pemula pasti jadi keki kalau harus menaati aturan berbahasa Indonesia ragam formal dan baku. Sebab, bahasa Indonesia baku itu sebenarnya sangat sulit dan "asing".
Penutur bahasa Indonesia yang mampu menulis bahasa Indonesia ragam formal-akademik terbilang sedikit.
Yang penting, harus mau belajar dan tidak mudah putus asa ketika dikritik.Â
So, just nulis, gaes! Yuk, nulis aja. Kompasiana ini akan sepi tanpa kehadiran generasi muda. Kami yang (setengah) tua dan (malu) mengakui diri tua ini akan senang jadi teman ngeblog kalian di Kompasiana. Kadang, sejumlah suhu (bukan saya!) akan memberi kritik tajam namun bermanfaat.
Kalau bro n sis konsisten nulis dan belajar dari narablog senior, niscaya mutu tulisan akan makin mantul! Baca aneka kiat nulis Ruang Berbagi, misalnya: 1, 2, 3, 4. Penulis pemula silakan sapa melalui komentar maupun surel.Â
Ditulis dengan penuh cinta, R.B.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H