*
Kedekatanku dengan keluarganya makin terjalin setelah ayahnya makin sering memesan mebel buatanku. Ternyata sang ayah punya kawan-kawan penggemar mebel dari luar Jawa yang rela merogoh kocek dalam-dalam.Â
Jadilah aku sebagai pemasok stok mebel untuk ayahnya. Bukan cuma karena kualitas kerjaku. Juga karena iba padaku. Aku yang yatim piatu namun gigih berjuang mencari nafkah dengan apa yang aku bisa.Â
Usaha mebel itu perlahan makin maju. Meningkatkan ekonomi keluarganya dan juga ekonomiku.
Witing tresna jalaran saka kulina. Karena sering jumpa, mekarlah cinta.Â
Meski sempat ragu, aku berani juga melamar gadis itu. Rupanya bukan rupa yang ia cari. Orang tuanya pun merestui hubungan kami. Jadilah janur kuning melengkung.Â
Setelah menikah, kami pindah. Meninggalkan desa di tepi jalan raya Jogja-Purworejo itu. Menjemput mimpi. Menjadi pengusaha mebel sukses di kota. Tak jauh-jauh. Di Kota Lumpia.
Toko kami sedikit di pinggir kota. Meski begitu, pembeli tetap berdatangan. Barang bermutu memang akan selalu dicari.Â
Meski hingga kini belum juga hadir buah hati, aku dan istriku tak merasa kurang bahagia. Kami sepakat membantu sebuah panti asuhan.Â
Keadaan serba menyenangkan rupanya tak berlangsung lama.
Dua tahun lalu, mertuaku berpulang. Pertama, ibu. Disusul ayah yang makin sakit parah. Jadilah aku dan istriku yatim-piatu.Â