Tahun lalu, satu musibah menimpa toko mebel kami. Entah dari mana, api menyala. Menyambar semua yang ada dan mengubahnya jadi abu.Â
Celakanya, uang hasil penjualan tak dapat aku selamatkan. Padahal, besoknya akan kusetor ke bank.Â
Untung saja, api tak sempat menjalar ke rumah kami yang hanya berjarak beberapa langkah di belakang toko.
*
Mentari telah pulang ke peraduannya. Aku menerawang mengenang hari sial itu. Kala toko mebel kami terbakar.
Saat aku sedang asyik melamun, terdengar suara klakson dari jalan di depan puing-puing toko mebel kami. Sebuah mobil sedan mewah. Seorang lelaki membuka separuh kaca depan mobilnya. Menengok ke rumah kami dengan tatapan liarnya.
"Mas, aku pamit," kata istriku yang justru makin cantik ketika usianya makin bertambah. Polesan lipstik tipis membuatnya makin memesona.
Klakson itu telah ia nantikan sejak tadi.
"Makan malam untuk Mas sudah aku siapkan," katanya lembut sembari mendorong kursi rodaku ke ruang makan.
Ya, ketika aku hendak menyelamatkan uang dari kobaran api, aku terjatuh. Beruntung, nyawaku masih bisa diselamatkan. Istrikulah yang menarik aku keluar dari kobaran api. Api jahanam yang membuat kedua kakiku lumpuh.
*