Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alkitab Bahasa Minang Sudah Lama Ada, Mengapa Sekarang Dipersoalkan?

6 Juni 2020   05:45 Diperbarui: 6 Juni 2020   15:19 3318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya penerjemahan dan publikasi Akitab berbahasa Minang sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Ganjilnya, mengapa dipermasalahkan sekarang? 

Dugaan penulis, ada beberapa faktor:

1. Gejala politisasi agama

Profesor Susanne Schroter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Frankfurt berpendapat bahwa peran agama dalam politik di Indonesia saat ini amat besar. Agama sekarang jadi instrumen utama berpolitik, dan agama diinstrumentalisasi oleh semua pihak.

Profesor ilmu politik itu dengan jujur melukiskan jalannya kampanye di Indonesia sebagai perebutan wacana Islam. Tiap kubu mencoba mencari kelemahan lawan dengan mengangkat isu kadar keislaman.

Catatan penulis, apa yang disampaikan Susanne kiranya benar adanya. Coba kita ingat, apa isi serangan terhadap Jokowi dan Prabowo pada kampanye Pilpres lalu. Bukankah soal salat Jumat di mana, soal saudara yang beragama nonmuslim, soal tuduhan keluarga komunis, soal kemampuan baca kitab suci, dan sejenisnya? Mengapa bukan soal visi-misi sebagai negarawan?

Sama halnya dengan kontestasi Anies Baswedan dan Ahok BTP. Bukan soal visi-misi dan kompetensi, tapi justru soal dugaan penistaan agama. 

Di Indonesia timur, politisasi agama juga marak terjadi. Misalnya wacana Manokwari Kota Injil. Jadi, sejatinya politisasi agama bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh politikus pemeluk agama mana pun, dengan menggunakan isu berbau agama mana pun.

Dalam kontroversi terbaru di Sumbar, mungkin saja "udang di balik batu" adalah keinginan oknum politikus untuk meningkatkan elektabilitas politik diri dan atau partai di mata mayoritas pemilih. Padahal, bagaimana pun politikus -apalagi yang resmi menjabat sebagai abdi negara- wajib melayani rakyat yang bineka. Pejabat negara harus ingat akan tugas sebagai abdi negara dan abdi Pancasila dan UUD 1945.

2. Gagal paham soal batasan penutur bahasa

Tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang bisa dibatasi hanya boleh dituturkan kalangan tertentu. Membatasi penutur bahasa pada kalangan tertentu adalah hal yang sangat absurd.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun