Upaya penerjemahan dan publikasi Akitab berbahasa Minang sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Ganjilnya, mengapa dipermasalahkan sekarang?Â
Dugaan penulis, ada beberapa faktor:
1. Gejala politisasi agama
Profesor Susanne Schroter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Frankfurt berpendapat bahwa peran agama dalam politik di Indonesia saat ini amat besar. Agama sekarang jadi instrumen utama berpolitik, dan agama diinstrumentalisasi oleh semua pihak.
Profesor ilmu politik itu dengan jujur melukiskan jalannya kampanye di Indonesia sebagai perebutan wacana Islam. Tiap kubu mencoba mencari kelemahan lawan dengan mengangkat isu kadar keislaman.
Catatan penulis, apa yang disampaikan Susanne kiranya benar adanya. Coba kita ingat, apa isi serangan terhadap Jokowi dan Prabowo pada kampanye Pilpres lalu. Bukankah soal salat Jumat di mana, soal saudara yang beragama nonmuslim, soal tuduhan keluarga komunis, soal kemampuan baca kitab suci, dan sejenisnya? Mengapa bukan soal visi-misi sebagai negarawan?
Sama halnya dengan kontestasi Anies Baswedan dan Ahok BTP. Bukan soal visi-misi dan kompetensi, tapi justru soal dugaan penistaan agama.Â
Di Indonesia timur, politisasi agama juga marak terjadi. Misalnya wacana Manokwari Kota Injil. Jadi, sejatinya politisasi agama bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh politikus pemeluk agama mana pun, dengan menggunakan isu berbau agama mana pun.
Dalam kontroversi terbaru di Sumbar, mungkin saja "udang di balik batu" adalah keinginan oknum politikus untuk meningkatkan elektabilitas politik diri dan atau partai di mata mayoritas pemilih. Padahal, bagaimana pun politikus -apalagi yang resmi menjabat sebagai abdi negara- wajib melayani rakyat yang bineka. Pejabat negara harus ingat akan tugas sebagai abdi negara dan abdi Pancasila dan UUD 1945.
2. Gagal paham soal batasan penutur bahasa
Tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang bisa dibatasi hanya boleh dituturkan kalangan tertentu. Membatasi penutur bahasa pada kalangan tertentu adalah hal yang sangat absurd.