Kabar terseretnya Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam Operasi Tangkap Tangan KPK baru-baru ini jadi berita heboh. KPK yang konon akhir-akhir ini kurang galak ternyata masih menunjukkan taringnya.
Sasarannya adalah praktik percobaan gratifikasi berkedok THR yang disetorkan oknum petinggi rektorat  UNJ kepada oknum pejabat Kemdikbud. Kronologinya, pada 13 Mei 2020, rektor UNJ dengan inisial K diduga menyuruh dekan fakultas dan lembaga UNJ guna mengadakan "arisan" THR masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Achmad Noor.
Konon hasil "arisan" itu akan diberikan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemdikbud dan sejumlah jajaran staf SDM di Kemdikbud.
Pada 19 Mei, terkumpul uang Rp 55 juta. Pada 20 Mei, Dwi Achmad membagi-bagi uang itu kepada sejumlah orang di kantor Kemdikbud. Nah. ketika itu ia ditangkap tim Itjen Kemendikbud dan tim KPK.Â
Pemerintah Pusat Peduli Pendidikan
Jika kita amati, sebenarnya pemerintah kita telah berupaya menambah anggaran sektor pendidikan. Ini tampak dari peningkatan alokasi minimal 20 persen anggaran fungsi pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah menganggarkan Rp 444,1 triliun pada tahun 2018. Tahun berikutnya, anggaran ini ditingkatkan hingga menjadi 492,5 triliun.Â
Kasus-kasus Korupsi Dunia Pendidikan
Sepertinya kasus korupsi di Kemendikbud adalah juga lagu lama, seperti yang terjadi di sejumlah kementerian lain. Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah kasus dugaan rasuah pada kantor Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni dan Budaya Yogyakarta.
Kasus yang terjadi pada tahun anggaran 2015-2016 tersebut ditaksir merugikan negara sebesar Rp 21,6 miliar.Â
Pada tahun anggaran 2017-2018, terjadi rasuah dalam proyek pengadaan buku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bone. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp4,5 miliar.
Praktik Rasuah yang Sudah Dianggap Wajar
Dalam obrolan warung kopi, sudah biasa orang mempercakapkan praktik rasuah yang mirisnya dianggap wajar. Contohnya, untuk memenangkan tender proyek pengadaan buku perlu pandai-pandai menyenangkan hati pejabat terkait. Karena itu, sangat biasa tiap tahun buku ajar berganti-ganti demi "mengakomodasi" terjadinya rasuah proyek buku.
Padahal, isi materi buku ajar baru sering kali tidak lebih baik dari buku lama yang masih layak digunakan. Pada akhirnya, orang tua siswa yang harus merogoh kantong dalam-dalam untuk membelikan buku baru bagi putra-putri mereka.
Nasib Guru Honorer di Tengah Pusaran Korupsi Pendidikan
Yang lebih menyedihkan lagi adalah nasib para guru honorer di tengah pusaran korupsi pendidikan di negeri ini. Gaji guru honorer di Banten untuk pengajar SD dan SMP hanya maksimal Rp 500 ribu. Penghasilan ini bahkan lebih rendah dari gaji Asisten Rumah Tangga. Â
Seorang guru honorer di Flores bernama Maria Beta Nona Vin hanya digaji Rp 85.000 per bulan. Ia terpaksa tinggal di gubuk sederhana dan menanam tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Yang lebih tragis adalah nasib Rusmini, mantan guru honorer SDN Pondok Pucung 02. Rusmini sejatinya berani melaporkan dugaan praktik pungli laboratorium dan buku pelajaran. Namun, ia justru dipecat.Â
Yang tak kalah menyedihkan adalah nasib Nining Suryani, guru honorer di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten. Demi mengajar anak-anak, Nining dan suaminya yang juga guru rela tinggal di toilet sekolahnya mengajar.
Harapan bagi Mas Nadiem Makarim
Mas Nadiem Makarim, sang menteri termuda dalam kabinet baru Jokowi-Ma'ruf Amin tentu tahu beban yang ia sandang sebagai salah satu penentu kebijakan pendidikan negeri ini. Â
Mas Nadiem juga tentu mengerti bahwa UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen telah mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahteraan guru dan dosen.Â
Tentu Mas Nadiem tidak sendirian menentukan kebijakan anggaran Kemendikbud. Ada Menteri Keuangan dan pejabat terkait.Â
Hanya saja, ada peran yang sangat mendesak dilakukan Mas Nadiem di tengah pusaran kasus-kasus korupsi pendidikan. Pastikan pengawasan dan penindakan pada oknum pelaku rasuah yang telah melukai perasaan rakyat, terutama perasaan para guru honorer.
Membayangkan diri jadi seorang guru honorer, saya menangis. Di saat para guru honorer rela bercucur keringat mencerdaskan anak bangsa, nyatanya masih ada tikus-tikus berdasi yang ramai bagi-bagi duit korupsi.Â
Bukan korupsi kecil-kecilan, tapi besar-besaran dan jamak dilakukan. Suka tak suka demikian kenyataan di lapangan.Â
Dalam hal pencegahan korupsi, syukurlah Kemendikbud perlahan mulai berbenah, misalnya dengan menggandeng KPK. Semoga tanda-tanda positif ini makin bertambah pada masa pelayanan Mas Nadiem Makarim. Revolusi mental harus pertama-tama diwujudkan dalam lingkup pengelola pendidikan.
Justru para guru dan warga pendidikan yang menjadi peniup peluit (whistle blower) korupsi harus dilindungi, diapresiasi, dan diberi wadah untuk menyuarakan kebenaran. Bukan dibiarkan berjuang sendiri atau dilupakan dalam perjuangan mereka melawan koruptor yang main kuasa.Â
Saya tidak tahu persis, apakah ada hotline khusus untuk melaporkan korupsi pendidikan?
Syukur-syukur, ada terobosan baru untuk meningkatkan kesejahteraan para guru honorer. Tolong buat aturan yang lebih sederhana dan proses yang lebih mudah agar mereka segera mendapat balas jasa yang setimpal.
Mas Nadiem kita yakin mampu mengupayakan hal ini, bersama Presiden Jokowi yang juga telah menjanjikan peningkatan kesejahteraan guru honorer.Â
Salam Indonesia cerdas berbudi. Taman baca 1, 2, 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H