Dalam obrolan warung kopi, sudah biasa orang mempercakapkan praktik rasuah yang mirisnya dianggap wajar. Contohnya, untuk memenangkan tender proyek pengadaan buku perlu pandai-pandai menyenangkan hati pejabat terkait. Karena itu, sangat biasa tiap tahun buku ajar berganti-ganti demi "mengakomodasi" terjadinya rasuah proyek buku.
Padahal, isi materi buku ajar baru sering kali tidak lebih baik dari buku lama yang masih layak digunakan. Pada akhirnya, orang tua siswa yang harus merogoh kantong dalam-dalam untuk membelikan buku baru bagi putra-putri mereka.
Nasib Guru Honorer di Tengah Pusaran Korupsi Pendidikan
Yang lebih menyedihkan lagi adalah nasib para guru honorer di tengah pusaran korupsi pendidikan di negeri ini. Gaji guru honorer di Banten untuk pengajar SD dan SMP hanya maksimal Rp 500 ribu. Penghasilan ini bahkan lebih rendah dari gaji Asisten Rumah Tangga. Â
Seorang guru honorer di Flores bernama Maria Beta Nona Vin hanya digaji Rp 85.000 per bulan. Ia terpaksa tinggal di gubuk sederhana dan menanam tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Yang lebih tragis adalah nasib Rusmini, mantan guru honorer SDN Pondok Pucung 02. Rusmini sejatinya berani melaporkan dugaan praktik pungli laboratorium dan buku pelajaran. Namun, ia justru dipecat.Â
Yang tak kalah menyedihkan adalah nasib Nining Suryani, guru honorer di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten. Demi mengajar anak-anak, Nining dan suaminya yang juga guru rela tinggal di toilet sekolahnya mengajar.
Harapan bagi Mas Nadiem Makarim
Mas Nadiem Makarim, sang menteri termuda dalam kabinet baru Jokowi-Ma'ruf Amin tentu tahu beban yang ia sandang sebagai salah satu penentu kebijakan pendidikan negeri ini. Â
Mas Nadiem juga tentu mengerti bahwa UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen telah mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahteraan guru dan dosen.Â
Tentu Mas Nadiem tidak sendirian menentukan kebijakan anggaran Kemendikbud. Ada Menteri Keuangan dan pejabat terkait.Â