Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini Cara Rayakan Hari Kartini Tanpa Harus Berkebaya di Masa Pandemi

21 April 2020   05:00 Diperbarui: 21 April 2020   06:44 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari Tribunnews.com

Tiap tanggal 21 April kita peringati sebagai hari Kartini. Ini adalah wujud penghargaan atas jasa-jasa Raden Ajeng Kartini. Biasanya kantor dan sekolah (sebelum pandemi corona) mengadakan lomba-lomba dan mengajak kaum wanita mengenakan kebaya. 

Kini di tengah pandemi, agak rumit dan juga kurang mendesak merayakan Hari Kartini dengan "keharusan" berkebaya.

Akan tetapi, Hari Kartini adalah perayaan bagi kaum wanita dan juga lelaki. Hari Kartini juga bisa dirayakan di tengah pandemi, tanpa harus berkebaya. Cara merayakannya adalah dengan cara-cara yang akan saya paparkan dalam tulisan sederhana ini. 

Yuk kita ulik dahulu kisah kepahlawanan Kartini!

Profil Singkat RA Kartini 

Raden Ajeng Kartini lahir dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Ayahnya jadi bupati Jepara tak lama pascakelahiran Kartini pada 1879.

Kartini beruntung dibesarkan dalam tradisi intelektual keluarga yang kuat. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, adalah bupati sejak berusia 25 tahun. Seorang kakak lelaki Kartini, Sosrokartono adalah ahli bahasa yang ulung. 

Sementara itu, ibunda Kartini, M.A Ngasirah adalah putri Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. 

Adalah Kakek Kartini yang memperkenalkan pendidikan barat (Belanda) pada anak-anak dan para cucunya. Saat berusia 12 tahun, Kartini diperbolehkan menuntut ilmu di Europese Lagere School  (ELS) untuk belajar bahasa Belanda. Sayangnya, tiga tahun kemudian, ia dipingit di rumah untuk persiapan perkawinan. 

Menariknya, meski hanya sempat mencicipi sekolah formal dalam waktu yang relatif singkat, Kartini memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Ini suatu pencapaian istimewa bagi seorang putri Jawa pada masa itu.

Sewaktu dipingit, Kartini terus mengasah kemampuan berbahasa Belanda dengan surat-menyurat kepada sahabat pena di Negeri Kincir Angin. beberapa di antaranya adalah Rosa Abendanon dan Stella Zee-handelaar.

Ayah Kartini juga memberikan kelonggaran bagi putrinya selama masa pingitan. Kartini diperbolehkan mengikuti kursus menyulam, mengikuti sejumlah acara publik, dan tentu saja berkirim surat dan membaca aneka bacaan. 

Apa saja bacaan yang disimak R.A. Kartini?

R.A Kartini membaca sebuah koran terbitan Semarang. Ia juga mengirim naskah yang lantas diterbitkan majalah itu. 

Sebelum menginjak usia 20 tahun, Kartini telah melahap buku Max Havelaar dan Love Letters oleh Multatuli (nama pena Douwes Dekker). Douwes Dekker adalah orang Belanda yang mengkritik praktik kolonialisme Belanda di Dutch East Indies (kini Indonesia). Terinspirasi oleh Douwes Dekker dan Abdul Rivai, Kartini ingin mendorong kemajuan bumiputra. 

Kartini juga telah menyimak De Stille Kracht (Kekuatan Tersembunyi) karya Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-Feminis Goekoop de-Jong Van Eek, dan novel anti-perang anggitan Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! Semuanya dalam bahasa Belanda.

Sekolah Wanita dan Promosi Budaya Lewat Surat

Saat berusia 24 tahun, pada 12 November 1903, R.A Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sang suami rupanya mengerti kemauan Kartini. Kartini diperbolehkan oleh suaminya untuk membagikan ilmu kepada masyarakat.

Menurut catatan Danang Pamungkas, Kartini hanya sempat berkarya selama satu tahun di Rembang. Hanya empat hari setelah melahirkan anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904, Kartini wafat.

Menariknya, semasa setahun di Rembang, Kartini berusaha mendukung para pengrajin kayu, pembatik, dan perupa setempat. Kartini turun tangan menjadi guru baca-tulis, membatik dan menjahit bagi siswi-siswi yang ia didik di rumah dinas bupati Rembang.

Berkat korespondensinya dengan para sahabat pena di Belanda, Kartini juga berhasil memopulerkan kerajinan batik dan ukir ke Negeri Tulip. Datanglah pesanan dari Eropa sehingga kesejahteraan perajin lokal terangkat. 

Kartini juga giat melobi para pejabat tinggi kolonial Belanda agar mendukung niatnya mewujudkan sekolah keputrian. Ini dapat kita simak dalam dua surat Kartini pada Tuan Van Kol (pejabat Tweede Kamer) tanggal 21 Juni 1902 dan kepada Tuan dan Nyonya Abendanon tanggal 11 Desember 1903.

Saya kutip surat Kartini pada Tuan dan Nyonya Abendanon:

"[...] bolehkah kami mengharapkan subsidi gubermen? Uang sekolahnya haruslah tetap serendah-rendahnya; tempat tinggal dan makan boleh didapatnya dengan cuma-cuma dari kami...Besar harapan saya sekolah yang demikian akan maju."

Sayang sekali, impian Kartini akah berdirinya sekolah keputrian ini belum terwujud hingga wafat Kartini pada 1904. Beruntung, gagasan Kartini ini mendapat sambutan positif dari kalangan orang Belanda yang juga peduli pada nasib bumiputra. Ini dikenal sebagai praktik politik etis.

Sekolah Keputrian sesuai ide Kartini baru terwujud pascawafatnya suami Kartini pada 28 Mei 1912. Kala itu  Gubernur Jenderal Idenburg bersama pejabat seluruh Jawa melayat ke Rembang, sekaligus mewujudkan pembangunan sekolah yang digagas R.A. Kartini.

Terinspirasi oleh R.A. Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sekolah untuk wanita dengan nama 'Sekolah Kartini' di Semarang pada tahun 1912. Pada masa selanjutnya, dibangun pula 'Sekolah Kartini' di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Wasana Kata

Pada hemat saya, jelas bahwa R.A. Kartini adalah pahlawan literasi, edukasi, dan seni budaya. Tentu saja, Kartini juga menghargai kebaya. 

Tak ada salahnya merayakan Hari Kartini dengan berkebaya. Kita apresiasi pula kelompok ibu-ibu yang giat mengajak kaum wanita berkebaya. 

Memang, akhir-akhir ini (sejak masa Orde baru), perayaan Hari Kartini kadung lekat dengan kegiatan berkebaya yang dilakukan kaum hawa.

Akan tetapi, perayaan Hari Kartini adalah juga perayaan kaum lelaki. Kaum lelaki (termasuk saya) pun sangat bisa merayakan Hari Kartini tanpa harus berkebaya. Kaum wanita pun sangat bisa merayakan Hari Kartini tanpa harus berkebaya. Juga di tengah pandemi.

Caranya adalah dengan melanjutkan perjuangan Kartini memberantas kebodohan melalui literasi. Juga literasi digital yang amat mendesak pada zaman kiwari. 

Rajin membaca, tekun menulis tentang kebaikan, membuat taman bacaan, menyumbang buku, dan melatih diri serta keluarga mengenali hoaks adalah sebagian cara kita merayakan Hari Kartini.

Di hari Kartini, mari kita kampanye literasi.

Di tengah pandemi, dengan giatkan literasi, kita tetap bisa merayakan hari Kartini tanpa harus berkebaya. 

Sekadar berbagi, ini bait terakhir lagu Ibu Kita Kartini karya W.R. Soepratman. Yuk kita nyanyikan!

"Ibu kita Kartini/Penyuluh budi/Penyuluh bangsanya/Karna cintanya
Wahai ibu kita Kartini/Putri yang mulia/Sungguh besar cita-citanya/Bagi Indonesia
"

Hmm...saya sendiri baru sadar bahwa selain adalah "putri sejati" (yang lekat dengan sosok wanita berkebaya), Ibu Kita Kartini adalah juga penyuluh budi. Terima kasih, Ibu Kartini!

NB: Penulis menerima perbaikan untuk tulisan ini, mengingat penulis bukan ahli sejarah. Sila berkomentar dan membagikan artikel ini bila dipandang berfaedah. Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun