Ayah Kartini juga memberikan kelonggaran bagi putrinya selama masa pingitan. Kartini diperbolehkan mengikuti kursus menyulam, mengikuti sejumlah acara publik, dan tentu saja berkirim surat dan membaca aneka bacaan.Â
Apa saja bacaan yang disimak R.A. Kartini?
R.A Kartini membaca sebuah koran terbitan Semarang. Ia juga mengirim naskah yang lantas diterbitkan majalah itu.Â
Sebelum menginjak usia 20 tahun, Kartini telah melahap buku Max Havelaar dan Love Letters oleh Multatuli (nama pena Douwes Dekker). Douwes Dekker adalah orang Belanda yang mengkritik praktik kolonialisme Belanda di Dutch East Indies (kini Indonesia). Terinspirasi oleh Douwes Dekker dan Abdul Rivai, Kartini ingin mendorong kemajuan bumiputra.Â
Kartini juga telah menyimak De Stille Kracht (Kekuatan Tersembunyi) karya Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-Feminis Goekoop de-Jong Van Eek, dan novel anti-perang anggitan Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! Semuanya dalam bahasa Belanda.
Sekolah Wanita dan Promosi Budaya Lewat Surat
Saat berusia 24 tahun, pada 12 November 1903, R.A Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sang suami rupanya mengerti kemauan Kartini. Kartini diperbolehkan oleh suaminya untuk membagikan ilmu kepada masyarakat.
Menurut catatan Danang Pamungkas, Kartini hanya sempat berkarya selama satu tahun di Rembang. Hanya empat hari setelah melahirkan anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904, Kartini wafat.
Menariknya, semasa setahun di Rembang, Kartini berusaha mendukung para pengrajin kayu, pembatik, dan perupa setempat. Kartini turun tangan menjadi guru baca-tulis, membatik dan menjahit bagi siswi-siswi yang ia didik di rumah dinas bupati Rembang.
Berkat korespondensinya dengan para sahabat pena di Belanda, Kartini juga berhasil memopulerkan kerajinan batik dan ukir ke Negeri Tulip. Datanglah pesanan dari Eropa sehingga kesejahteraan perajin lokal terangkat.Â
Kartini juga giat melobi para pejabat tinggi kolonial Belanda agar mendukung niatnya mewujudkan sekolah keputrian. Ini dapat kita simak dalam dua surat Kartini pada Tuan Van Kol (pejabat Tweede Kamer) tanggal 21 Juni 1902 dan kepada Tuan dan Nyonya Abendanon tanggal 11 Desember 1903.