Saya kutip surat Kartini pada Tuan dan Nyonya Abendanon:
"[...] bolehkah kami mengharapkan subsidi gubermen? Uang sekolahnya haruslah tetap serendah-rendahnya; tempat tinggal dan makan boleh didapatnya dengan cuma-cuma dari kami...Besar harapan saya sekolah yang demikian akan maju."
Sayang sekali, impian Kartini akah berdirinya sekolah keputrian ini belum terwujud hingga wafat Kartini pada 1904. Beruntung, gagasan Kartini ini mendapat sambutan positif dari kalangan orang Belanda yang juga peduli pada nasib bumiputra. Ini dikenal sebagai praktik politik etis.
Sekolah Keputrian sesuai ide Kartini baru terwujud pascawafatnya suami Kartini pada 28 Mei 1912. Kala itu  Gubernur Jenderal Idenburg bersama pejabat seluruh Jawa melayat ke Rembang, sekaligus mewujudkan pembangunan sekolah yang digagas R.A. Kartini.
Terinspirasi oleh R.A. Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sekolah untuk wanita dengan nama 'Sekolah Kartini' di Semarang pada tahun 1912. Pada masa selanjutnya, dibangun pula 'Sekolah Kartini' di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Wasana Kata
Pada hemat saya, jelas bahwa R.A. Kartini adalah pahlawan literasi, edukasi, dan seni budaya. Tentu saja, Kartini juga menghargai kebaya.Â
Tak ada salahnya merayakan Hari Kartini dengan berkebaya. Kita apresiasi pula kelompok ibu-ibu yang giat mengajak kaum wanita berkebaya.Â
Memang, akhir-akhir ini (sejak masa Orde baru), perayaan Hari Kartini kadung lekat dengan kegiatan berkebaya yang dilakukan kaum hawa.
Akan tetapi, perayaan Hari Kartini adalah juga perayaan kaum lelaki. Kaum lelaki (termasuk saya) pun sangat bisa merayakan Hari Kartini tanpa harus berkebaya. Kaum wanita pun sangat bisa merayakan Hari Kartini tanpa harus berkebaya. Juga di tengah pandemi.
Caranya adalah dengan melanjutkan perjuangan Kartini memberantas kebodohan melalui literasi. Juga literasi digital yang amat mendesak pada zaman kiwari.Â