Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tingginya Jumlah (Kematian) Pasien Korona Jakarta "Dijelaskan" Riset Polusi Udara Harvard

16 April 2020   05:13 Diperbarui: 16 April 2020   05:37 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polusi udara DKI - kompas.com/Kristiyanto Purnomo

Ada yang menarik saat penulis membaca sebuah artikel ilmiah di laman Harvard. Artikel itu bila diterjemahkan judulnya adalah "COVID-19 PM2.5: Sebuah studi nasional mengenai paparan jangka panjang polusi udara dan kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat."

Studi terbaru Harvard University ini memang meneliti hubungan antara polusi udara dan kasus korona di AS, namun kiranya bisa "menjelaskan" pula tingginya jumlah (kematian) pasien korona di Jakarta. Bagaimana penjelasannya?

Latar belakang studi di AS tersebut

Ilmuwan Amerika Serikat memperkirakan, COVID-19 bisa mengakibatkan meninggalnya antara 100.000 dan 240.000 orang di Negeri Paman Sam itu.

Lazimnya, pasien korona semakin tinggi risiko meninggal dunia bila mereka telah memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Nah, sebagian besar kondisi atau penyakit penyerta yang meningkatkan risiko kematian untuk COVID-19 adalah penyakit yang juga dipengaruhi oleh paparan jangka panjang polusi udara terhadap pasien. 

Studi Harvard University ini menyelidiki apakah paparan rata-rata jangka panjang terhadap partikel halus (PM2.5) meningkatkan risiko kematian COVID-19 di Amerika Serikat atau tidak.

Metode studi

Tim peneliti yang terdiri dari Xiao Wu, Rachel C. Nethery, Benjamin M. Sabath, Danielle Braun, dan Francesca Dominici mengumpulkan data dari sekitar 3.000 kabupaten (counties) di Amerika Serikat (98% dari populasi) hingga tanggal 4 April 2020. 

Para peneliti juga telah memperhitungkan aneka faktor yang turut mempengaruhi tinggi-rendah jumlah kematian pasien korona. Faktor-faktor ini antara lain ukuran populasi, ketersediaan ruang perawatan rumah sakit, jumlah individu yang diuji, cuaca, dan variabel sosial ekonomi dan perilaku (termasuk obesitas dan merokok). 

Hasil studi

Para peneliti Harvard menemukan bahwa peningkatan hanya 1 mikron g / m3 dalam PM2.5 dikaitkan dengan peningkatan 15% pada tingkat kematian akibat COVID-19. Interval kepercayaan 95%. Hasilnya signifikan secara statistik.

Kesimpulan studi ini adalah bahwa peningkatan kecil dalam paparan jangka panjang PM2.5 mengarah ke peningkatan besar dalam tingkat kematian akibat COVID-19.  

Hasil studi menggarisbawahi pentingnya melanjutkan penegakan peraturan polusi udara yang ada untuk melindungi kesehatan manusia baik selama dan setelah krisis COVID-19. 

Apa itu PM 2,5?

Untuk memahami makna penelitian di atas, kita perlu memahami lebih dahulu apa itu PM 2,5. Laman resmi Departement of Health New York mendefinisikan PM 2,5 sebagai "particle matter" atau partikel yang lebarnya dua setengah mikron atau kurang. 

1 cm sepadan dengan 1.000 mikron. Lebar partikel terbesar dalam ukuran PM2.5 adalah sekitar tiga puluh kali lebih kecil dari rambut manusia. 

Simbol resmi PM 2,5 adalah PM-2.5. 

Sementara itu, sumber PM-2.5 ada beragam: polusi partikel yang ada di semua jenis pembakaran, termasuk gas buang kendaraan bermotor, pembangkit listrik, pembakaran kayu di perapian rumah tangga, kebakaran hutan, pembakaran untuk membuka ladang pertanian dan beberapa proses industri. 

Partikel PM-2.5 hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan sebagian besar partikel yang lebih kecil dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan potensi masalah kesehatan yang serius.

Partikel dalam kisaran ukuran PM2.5 dapat menyebabkan efek kesehatan jangka pendek seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan dan paru-paru, batuk, bersin, pilek, dan sesak napas. Paparan partikel halus juga dapat mempengaruhi fungsi paru-paru dan memperburuk kondisi medis seperti asma dan penyakit jantung.

Tingginya angka (kematian) pasien korona DKI Jakarta

Menurut pantauan situs corona.jakarta.id sampai 15 April 2020, jumlah pasien positif korona nasional adalah sebagai berikut:

tangkapan layar - dokpri Bobby
tangkapan layar - dokpri Bobby
Sementara, jumlah kasus positif korona DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

tangkapan layar-dokpri Bobby
tangkapan layar-dokpri Bobby
Jumlah kasus positif korona DKI Jakarta adalah 2.447 dari 5.136 kasus positif korona nasional. Persentasenya adalah 47,64 persen.

Adapun jumlah pasien meninggal akibat korona di Jakarta adalah 246 dari 2.447 kasus positif. Persentasenya adalah 10,05 persen.

Sementara jumlah pasien meninggal akibat korona secara nasional adalah 469 dari 5.136 kasus positif. Persentasenya adalah 9,13 persen.

Tanpa sumbangan angka (kematian) korona DKI Jakarta, angka kematian nasional hitungannya adalah:

469 (meninggal tingkat nasional) - 246 = 223

5.136 (kasus positif nasional) - 2.447 =  2.689

223:2.689 x100= 8,29 persen.

Kita bandingkan:

Angka kematian akibat korona di DKI Jakarta adalah 10,05 % sedang di tingkat nasional tanpa menghitung DKI adalah 8,29%. Selisihnya 1,76 %.

Angka kematian akibat korona di DKI Jakarta adalah 10,05 % sedang di tingkat nasional (dengan menghitung DKI) adalah 9,13%. Selisihnya adalah 0,92%.

Kedua perbandingan di atas menunjukkan, angka kematian akibat korona di DKI Jakarta memang sedikit lebih tinggi (antara 0,92 sampai 1,76%) dibanding tingkat nasional.

Sekadar mengulangi, jumlah kasus positif korona DKI Jakarta adalah 2.447 dari 5.136 kasus positif korona nasional. Persentasenya adalah 47,64 persen.

Memang benar, DKI Jakarta adalah kawasan padat dengan mobilitas warga dan akses penerbangan internasional yang tinggi. Aneka faktor itu turut menyumbang sebagai faktor penyebab banyaknya kasus korona yang mengakibatkan kematian di ibu kota.

Akan tetapi, DKI Jakarta juga adalah kawasan dengan tingkat polusi yang tinggi. Pada Rabu (3/7/2019) pukul 10.46 WIB, indeks kualitas udara Jakarta pernah mencapai 159 AQI (Air Quality Index). Angka ini waktu itu termasuk jajaran kota dengan polusi udara tertinggi di dunia.

Data situs iqair.com, dari 2017 hingga 2018, konsentrasi PM2.5 tahunan rata-rata DKI Jakarta  meningkat lebih dari 50%, dari 29,7 mikron g / m menjadi 45,3 mikron g / m. Pada Agustus, tahun 2019 berada di jalur untuk memenuhi atau melampaui tinggi 2018.

Sementara setelah terjadinya PSBB cegah korona, berdasarkan catatan Kompas.com, pada Senin (7/4/2020) pukul 14.30 WIB, Air Quality Index (AQI) untuk wilayah DKI Jakarta masuk kategori sedang, yakni berada di angka 54. 

Artikel ilmiah populer dalam laman Focus.it menyatakan, menghirup partikel-partikel halus (PM-2.5) dapat "membakar" dan merusak lapisan bersilia yang melindungi saluran pernapasan dan membuatnya lebih rentan terhadap infeksi paru-paru dan penyakit pernapasan kronis.

Pada hemat penulis, tingginya jumlah (kematian) pasien korona di DKI Jakarta memang dapat "dijelaskan" oleh hasil penelitian Harvard University.

Sangat logis bahwa saluran pernapasan orang yang tinggal di kota dengan tingkat polusi tinggi partikel PM-2.5 seperti DKI Jakarta menjadi lebih rentan terjangkit penyakit pernapasan kronis. 

Kehadiran virus korona Covid-19 semakin memperparah kondisi orang yang sistem perlindungan pernapasannya sudah rentan akibat polusi udara. Ujung-ujungnya, risiko kematian meningkat.

Tentu saja, asumsi ini masih bersifat sangat umum dan perlu pembuktian lebih lanjut oleh para ahli kesehatan dan lingkungan. 

Seperti saran tim peneliti Harvard pada pemerintah AS, saya juga menyarankan agar pemerintah pusat dan DKI Jakarta beserta warga kawasan Jadebotabek berusaha menekan laju peningkatan kadar partikel halus PM-2.5 yang amat berbahaya. 

Beralih ke moda transportasi umum (ramah lingkungan), menghindari pembakaran sampah sembarangan, dan membatasi (penjualan) kendaraan sumber polusi adalah beberapa langkah yang dapat kita tempuh. 

Jika tertarik membaca artikel Harvard itu dalam bahasa Inggris, sila klik ini. Salam sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun