Kedua perbandingan di atas menunjukkan, angka kematian akibat korona di DKI Jakarta memang sedikit lebih tinggi (antara 0,92 sampai 1,76%) dibanding tingkat nasional.
Sekadar mengulangi, jumlah kasus positif korona DKI Jakarta adalah 2.447 dari 5.136 kasus positif korona nasional. Persentasenya adalah 47,64 persen.
Memang benar, DKI Jakarta adalah kawasan padat dengan mobilitas warga dan akses penerbangan internasional yang tinggi. Aneka faktor itu turut menyumbang sebagai faktor penyebab banyaknya kasus korona yang mengakibatkan kematian di ibu kota.
Akan tetapi, DKI Jakarta juga adalah kawasan dengan tingkat polusi yang tinggi. Pada Rabu (3/7/2019) pukul 10.46 WIB, indeks kualitas udara Jakarta pernah mencapai 159 AQI (Air Quality Index). Angka ini waktu itu termasuk jajaran kota dengan polusi udara tertinggi di dunia.
Data situs iqair.com, dari 2017 hingga 2018, konsentrasi PM2.5 tahunan rata-rata DKI Jakarta  meningkat lebih dari 50%, dari 29,7 mikron g / m menjadi 45,3 mikron g / m. Pada Agustus, tahun 2019 berada di jalur untuk memenuhi atau melampaui tinggi 2018.
Sementara setelah terjadinya PSBB cegah korona, berdasarkan catatan Kompas.com, pada Senin (7/4/2020) pukul 14.30 WIB, Air Quality Index (AQI) untuk wilayah DKI Jakarta masuk kategori sedang, yakni berada di angka 54.Â
Artikel ilmiah populer dalam laman Focus.it menyatakan, menghirup partikel-partikel halus (PM-2.5) dapat "membakar" dan merusak lapisan bersilia yang melindungi saluran pernapasan dan membuatnya lebih rentan terhadap infeksi paru-paru dan penyakit pernapasan kronis.
Pada hemat penulis, tingginya jumlah (kematian) pasien korona di DKI Jakarta memang dapat "dijelaskan" oleh hasil penelitian Harvard University.
Sangat logis bahwa saluran pernapasan orang yang tinggal di kota dengan tingkat polusi tinggi partikel PM-2.5 seperti DKI Jakarta menjadi lebih rentan terjangkit penyakit pernapasan kronis.Â
Kehadiran virus korona Covid-19 semakin memperparah kondisi orang yang sistem perlindungan pernapasannya sudah rentan akibat polusi udara. Ujung-ujungnya, risiko kematian meningkat.
Tentu saja, asumsi ini masih bersifat sangat umum dan perlu pembuktian lebih lanjut oleh para ahli kesehatan dan lingkungan.Â