Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

3 Alasan Indonesia Belum Perlu Tiru Lockdown ala Malaysia

17 Maret 2020   06:10 Diperbarui: 17 Maret 2020   20:33 4753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kabarpolitik.com

Perdana Menteri Muhyiddin Yassin baru-baru ini mengumumkan penguncian sementara (kuncitara) atau lockdown di Malaysia. Muhyiddin Yassin mengatakan, Perintah Kendali Pergerakan Masyarakat akan berlaku selama dua minggu dari 18 hingga 31 Maret. 

"Pemerintah memandang situasi ini dengan serius, terutama dengan perkembangan gelombang kedua [infeksi]... Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menjadi lebih buruk. Tindakan drastis harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit dengan membatasi pergerakan publik. Ini adalah satu-satunya cara kita dapat mencegah lebih banyak orang terinfeksi oleh wabah yang dapat menghancurkan kehidupan," katanya (16/3). 

Berita kuncitara Malaysia ini segera memicu reaksi warga(net) Indonesia. Pertanyaan yang segera diajukan adalah "Mengapa Indonesia tidak terapkan lockdown seperti Malaysia dan negara-negara lain?" 

Sejatinya, ada 3 alasan rasional mengapa Indonesia belum perlu meniru kuncitara ala Malaysia. 

1. Jumlah dan Klaster Suspect dan Pasien Corona Berbeda 

Sampai Senin, 16 Maret, jumlah kasus corona Covid-19 di Malaysia naik menjadi 553. Angka pasien positif corona Malaysia ini tertinggi di Asia Tenggara.

Sampai Minggu, 15 Maret, jumlah kasus wabah corona di Indonesia, menurut pemerintah, adalah 117 kasus. 

Dikutip dari kompas.com, pasien positif terjangkit virus corona kembali bertambah sebanyak 21 kasus per Minggu (15/3/2020). "Hari ini kita dapatkan 21 kasus baru, di mana 19 di antaranya di Jakarta, dua di Jawa Tengah," kata Juru Bicara Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto.

Dikutip dari infeksiemerging.kemkes.go.id, laman resmi Kemenkes RI, per 15 Maret:

Jumlah orang yang diperiksa 1.230. Positif covid-10 sejumlah 124 pasien. Meninggal positif Covid-19 sejumlah 5 orang. Sembuh 8 orang. Negatif 1.083 dan proses pemeriksaan 13 orang.

Benar bahwa jumlah orang yang diperiksa di Indonesia sedikit karena pemerintah belum mengadakan pemeriksaan massal. 

Kemungkinan besar, hal ini karena perlu proses dan anggaran untuk menyediakan tes kit covid-19 dalam jumlah besar. Ini juga jadi catatan kritis untuk pemerintah kita yang masih gagap menghadapi wabah seperti Covid-19. 

Akan tetapi, jumlah dan karakteristik suspect dan pasien Corona di Indonesia berbeda dengan Malaysia. Kasus di Indonesia dapat dijabarkan dalam sejumlah klaster yang relatif kecil dan masih relatif dapat dilacak.

Ada klaster klub dansa Jakarta dan sub-klasternya, klaster kapal pesiar Diamond Princess, klaster WNI pulang dari luar negeri (kasus impor), dan sejumlah klaster belum terdeteksi (misalnya kasus pasien pria asal Magetan yang meninggal di Solo dengan riwayat perjalanan ke Bogor). 

Sayangnya, akhir-akhir ini pemerintah tidak menerangkan secara rinci riwayat perjalanan suspect dan pasien positif corona. 

Meski demikian, dari data yang ada, tak satu pun klaster di dalam negeri Indonesia mencakup ratusan atau ribuan orang.

Sementara Malaysia mengalami kesulitan menangani sebuah klaster raksasa yang mencakup 14.500 orang.

Pemerintah Malaysia melaporkan 125 kasus baru pada hari Senin, 95 di antaranya terkait dengan tabligh akbar bulan lalu. Pertemuan keagamaan di Kuala Lumpur ini diikuti sekitar 16.000 orang beraneka negara dari tanggal 27 Februari hingga 1 Maret. 

Dari 14.500 warga Malaysia yang hadir, hanya 7.000 yang telah menjalani pemeriksaan Covid-19. Padahal, telah berulang kali pejabat pemerintah dan pemuka agama menyerukan agar seluruh warga Malaysia yang ikut tabligh akbar itu mau memeriksakan diri.

Dikutip dari kompas.com, 3 WNI dari antara sejumlah WNI yang mengikuti acara tabligh akbar di Malaysia itu dinyatakan positif terjangkit virus corona. Ketiganya dirawat di rumah sakit di Malaysia. Sementara ada sebelas orang Brunei dikabarkan terinfeksi virus corona pada acara tersebut.

Keputusan lockdown Malaysia sangat beralasan karena klaster Kuala Lumpur ini besar sekali. Jika dihitung, masih ada 7.500 peserta tabligh akbar yang belum memeriksakan diri. Penting dicatat, acara keagamaan itu digelar sekitar 4 hari sehingga risiko penularan massal jelas ada.

2. Karakteristik Wilayah Berbeda 

Presiden Joko Widodo dalam paparannya (15/3) menyatakan bahwa keputusan untuk tidak menerapkan lockdown nasional adalah karena Indonesia negara besar dan negara kepulauan sehingga tingkat penyebaran COVID-19 ini derajatnya bervariasi. Jokowi meminta para kepala daerah agar selalu memantau kondisi lokal. 

Kondisi wilayah Malaysia berbeda dengan Indonesia. Malaysia secara umum dibagi menjadi dua: Malaysia Barat dan Timur. Malaysia bukan negara dengan ribuan pulau seperti Indonesia. 

Lockdown nasional Malaysia kiranya memang cocok untuk dua wilayah daratan luas yang dimiliki Negeri Jiran itu. Jika ditilik, negara-negara yang menerapkan lockdown nasional atau regional memang berada pada daratan luas, umpama Italia, Jerman, Perancis, dan Spanyol.

3. Jumlah Warga Bekerja di Sektor Informal Berbeda 

Indonesia memiliki sekitar 73 juta warga yang bekerja di sektor informal. Mereka ini, antara lain adalah pekerja harian lepas, pedagang kecil, tukang ojek, dan sebagainya. Sebagian besar dari mereka adalah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Jika sehari tak bekerja, pekerja sektor informal ini tidak dapat penghasilan. Bayangkan dampak langsung lockdown bagi para pekerja sektor informal ini. Keluarga mereka mau diberi makan apa dan oleh siapa?

Malaysia hanya memiliki 1,36 juta pekerja sektor informal pada 2017. Jumlah ini jelas amat kecil dibandingkan 73 juta warga Indonesia yang bekerja di sektor informal.

Bermanfaat secara Kesehatan, namun Bebani Ekonomi

Tak disangkal, kuncitara memang bermanfaat secara kesehatan dengan membatasi pergerakan (calon) pembawa dan korban virus corona. Idealnya, kuncitara memang dilakukan, sesuai karakteristik wilayah dan keterhubungan antarwilayah.

Akan tetapi, tak disangkal pula kuncitara membebani ekonomi negara. Harus diakui, Indonesia -meski disebut Donald Trump sebagai negara maju- belumlah maju dalam bidang ekonomi. 

Badan Pusat Statistik atau BPS melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia sepanjang 2019 naik menjadi Rp 59,1 juta per tahun atau sekitar Rp 161.917 per hari.

Situs countryeconomy mencatat, pada 2018 PDB/GDP per kapita Malaysia sebesar 11.072 dolar Amerika sementara Indonesia 3.871 dolar Amerika.

Malaysia dan aneka negara maju kiranya lebih mampu menanggung dampak ekonomi lockdown dibanding Indonesia. 

Wasana Kata

Artikel ini telah menjabarkan tiga alasan mengapa Indonesia belum perlu meniru lockdown nasional seperti yang diterapkan Malaysia. Meski demikian, bukan berarti kuncitara lokal tidak perlu diterapkan di Indonesia. 

Bisa saja, jika otoritas negara kita menghendaki, diterapkan kuncitara lokal untuk wilayah tertentu. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah suspect dan pasien positif corona, keterhubungan jaringan transportasi, volume perpindahan warga tiap hari, faktor dampak ekonomi, dan sebagainya.

Seperti telah disampaikan banyak pengamat, pemerintah pusat dan daerah harus lebih kompak menanggulangi dampak corona. Beberapa hal yang masih perlu dilakukan, antara lain:

  1. Penyediaan tes kit swab pemeriksaan Covid-19 dan kemudahan dalam mengakses tes swab.
  2. Pembatasan perjalanan antarnegara dan antarwilayah
  3. Pengetatan penerapan anjuran bekerja, belajar, dan berdoa di rumah (perlu edukasi, kampanye yang lebih masif)
  4. Edukasi pencegahan dan penanganan corona dengan bahasa yang sederhana bagi seluruh warga
  5. Perincian data perjalanan dan kegiatan pasien positif corona. Tujuannya agar warga dapat mengukur risiko tempat mana yang dihindari sementara dan dapat melaporkan dirinya sebagai orang dengan kontak dekat dengan pasien corona.

-----

Penulis yang cuma warga biasa, bukan ahli apa pun (dan bukan buzzer ^_^) menantikan masukan dan kesan pembaca di kolom komentar. Salam hangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun