Perdana Menteri Muhyiddin Yassin baru-baru ini mengumumkan penguncian sementara (kuncitara) atau lockdown di Malaysia. Muhyiddin Yassin mengatakan, Perintah Kendali Pergerakan Masyarakat akan berlaku selama dua minggu dari 18 hingga 31 Maret.Â
"Pemerintah memandang situasi ini dengan serius, terutama dengan perkembangan gelombang kedua [infeksi]... Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menjadi lebih buruk. Tindakan drastis harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit dengan membatasi pergerakan publik. Ini adalah satu-satunya cara kita dapat mencegah lebih banyak orang terinfeksi oleh wabah yang dapat menghancurkan kehidupan," katanya (16/3).Â
Berita kuncitara Malaysia ini segera memicu reaksi warga(net) Indonesia. Pertanyaan yang segera diajukan adalah "Mengapa Indonesia tidak terapkan lockdown seperti Malaysia dan negara-negara lain?"Â
Sejatinya, ada 3 alasan rasional mengapa Indonesia belum perlu meniru kuncitara ala Malaysia.Â
1. Jumlah dan Klaster Suspect dan Pasien Corona BerbedaÂ
Sampai Senin, 16 Maret, jumlah kasus corona Covid-19 di Malaysia naik menjadi 553. Angka pasien positif corona Malaysia ini tertinggi di Asia Tenggara.
Sampai Minggu, 15 Maret, jumlah kasus wabah corona di Indonesia, menurut pemerintah, adalah 117 kasus.Â
Dikutip dari kompas.com, pasien positif terjangkit virus corona kembali bertambah sebanyak 21 kasus per Minggu (15/3/2020). "Hari ini kita dapatkan 21 kasus baru, di mana 19 di antaranya di Jakarta, dua di Jawa Tengah," kata Juru Bicara Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto.
Dikutip dari infeksiemerging.kemkes.go.id, laman resmi Kemenkes RI, per 15 Maret:
Jumlah orang yang diperiksa 1.230. Positif covid-10 sejumlah 124 pasien. Meninggal positif Covid-19 sejumlah 5 orang. Sembuh 8 orang. Negatif 1.083 dan proses pemeriksaan 13 orang.
Benar bahwa jumlah orang yang diperiksa di Indonesia sedikit karena pemerintah belum mengadakan pemeriksaan massal.Â
Kemungkinan besar, hal ini karena perlu proses dan anggaran untuk menyediakan tes kit covid-19 dalam jumlah besar. Ini juga jadi catatan kritis untuk pemerintah kita yang masih gagap menghadapi wabah seperti Covid-19.Â
Akan tetapi, jumlah dan karakteristik suspect dan pasien Corona di Indonesia berbeda dengan Malaysia. Kasus di Indonesia dapat dijabarkan dalam sejumlah klaster yang relatif kecil dan masih relatif dapat dilacak.
Ada klaster klub dansa Jakarta dan sub-klasternya, klaster kapal pesiar Diamond Princess, klaster WNI pulang dari luar negeri (kasus impor), dan sejumlah klaster belum terdeteksi (misalnya kasus pasien pria asal Magetan yang meninggal di Solo dengan riwayat perjalanan ke Bogor).Â