[Kisah Minggu Pagi-4 lanjutan dari Kisah Keluarga yang Disatukan oleh Ibadah Bersama
Suatu hari saudara saya naik bus. Waktu itu sekitar tahun 2000. Bus tua legendaris itu pagi-pagi mengantar penumpang dari sebuah kota kabupaten ke ibukota provinsi. Â
Bus merambat pelan di perbukitan. Penumpang lumayan banyak. Karyawan, mahasiswa, hingga pedagang pasar jadi penumpang tetap bus itu.Â
Saudara saya duduk dekat seorang nenek. Perempuan berusia senja itu masih kuat menaikkan keranjang berisi sayur dan buah hasil kebunnya. Ya, ia adalah pedagang pasar. Â
Kepanikan terjadi
Tidak ada yang ganjil sampai bus itu menuruni bukit dengan kecepatan tinggi. Penumpang mulai panik. Sopir berusaha mengendalikan laju bus yang remnya blong itu.Â
Penumpang mulai berteriak dan berdoa, menyerukan nama Tuhan sesuai keyakinan. Saudara saya panik. Ia mulai mendaras doa.Â
Yang menarik, si nenek tidak panik.
Saudara saya penasaran. Ia lantas bertanya, "Mbah, kok diam saja, apa nggak takut?"
Si nenek menjawab, "Mas, hidup atau mati saya pasrah pada Allah..."
Happy ending yang tidak sedih
Bus masih melaju kencang menuruni perbukitan. Sopir berkali-kali membunyikan klakson agar pengendara di depan menyingkir.
Entah berapa ribu meter bus itu turun dengan liarnya, tanpa rem.
Dalam kepanikan, sopir melihat di depan ada jalan kecil yang menanjak di sisi kiri. Ia pun banting stir ke kiri, berharap agar bus berhenti setelah mendaki jalan menanjak itu.
Benar saja, bus berhenti setelah mendaki jalan mendaki di depan rumah seorang warga.Â
Tuhan Yang Kuasa mendengar doa-doa sopir dan para penumpang bus. Tak seorang pun terluka. Jerit panik berubah jadi seruan syukur pada Tuhan.
Hanya saja, sopir pingsan setelah menyelamatkan seluruh penumpang. Saudara saya segera mendekat ke sopir yang pingsan itu untuk memeriksa keadaannya.
Hidup dan mati setipis benang
Hidup dan mati setipis benang. Cukup sepersekian detik, orang sehat bisa mendadak wafat.Â
Cukup sekedipan mata, kecelakaan bisa merenggut nyawa.
Bagi yang tak siap mati, kematian memang menakutkan.
Mengapa tidak siap mati?
Ada banyak sebab mengapa orang belum atau tidak siap mati.
Merasa diri masih muda, masih ingin menikmati indahnya dunia dan melakukan banyak hal baik dalam hidup.
Sikap tanggung jawab sebagai ayah atau ibu yang ingin menemani anak-anak hingga mentas, sekolah tinggi, bekerja, dan mandiri.
Perasaan takut akan kehilangan segalanya yang telah diraih dengan susah payah.Â
Rasa bersalah karena mengingat dosa-dosa masa lalu, yang selama ini belum disesali sepenuh hati.Â
Keinginan meminta maaf pada orang-orang yang pernah disakiti, namun belum sempat dimintai maaf.
Keinginan untuk bertobat dari segala tabiat jahat,Â
yang sayangnya selama ini cuma jadi keinginan tanpa pernah diwujudkan.
Keinginan untuk mengisi hidup dengan lebih banyak berbuat kebaikan,Â
yang sayangnya selama ini cuma jadi angan-angan.
Keinginan untuk memperbanyak ibadah,Â
yang selama ini lebih banyak direncanakan daripada dilaksanakan.
Ketakutan akan pengadilan Tuhan,Â
dan masih banyak lagi alasan untuk belum siap mati...
Maut datang, siapa bisa menolaknya?
Hati bisa berontak saat malaikat maut mendekat, tapi siapa bisa menolak?Â
Si nenek penjual sayur hidup dalam kepasrahan total pada Tuhan.Â
Ia hidup dari pekerjaan bersahaja yang halal. Ia tak sedikit pun mengorupsi uang.Â
Ia tak pernah mengetik komentar kasar di media sosial yang bisa brutal.Â
Si nenek tak takut mati. Seluruh hidupnya adalah ibadah persiapan menyambut kematian.Â
Kematian baginya adalah pintu menuju keindahan bersama Tuhan.
Belajar dari nenek dalam bus yang remnya blong
Si nenek dalam bus yang remnya blong mengajarkan pada kita untuk pasrah.Â
Pasrah bukan berarti tak berbuat apa-apa. Pasrah pada Allah adalah beribadah.Â
Beribadah adalah berdoa dan berbuat kasih pada sesama.Â
Jangan pelit waktu untuk Tuhan dan sesama yang membutuhkan bantuan.
Jangan tunda-tunda berbuat kebaikan.Â
Mungkin saja, bus Anda remnya blong.Â
Bisa saja, pesawat baru yang Anda naiki jatuh juga.Â
Mungkin saja, jantung Anda berhenti berdetak saat Anda sedang tidur nyenyak.
Ada ribuan cara untuk mati, dari yang ngeri sampai yang tak dinanti.Â
Satu hal yang pasti, mari kita persiapkan diri untuk mati. Saat ini, bukan esok hari.Â
***
Salam hangat untuk Anda dan keluarga. Sila bagikan tulisan ini bila Anda nilai bermanfaat.
Sila baca serial Kisah Minggu Pagi dan tulisan lain di :Â kompasiana.com/bobby
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H