Ada momen keagamaan penting bagi umat Katolik dan Hindu di Indonesia hari-hari ini.Â
Umat Hindu akan merayakan Hari Suci Nyepi dan Tahun Baru Saka 1941 pada 7 Maret 2019. Sementara itu, umat Katolik mulai Rabu, 6 Februari 2019 memulai masa puasa dan pantang untuk menyiapkan diri jelang Paskah (Hari Raya Kebangkitan Yesus dari Wafat-Nya).
Nyepi dan Tahun Baru Saka 1941
Saya bukan seorang yang paham agama Hindu. Saya hanya mengutip saja pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Menurut Menag Lukman Hakim, Nyepi pada intinya adalah "menyepikan diri" agar seseorang dapat melaksanakan Catur Brata Penyepian dengan baik.Â
Sesuai namanya, Nyepi memerlukan suasana hening dan tenang. Karenanya, umat Hindu tidak menyalakan api, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak menikmati hiburan agar dapat sepenuhnya melakukan nyepi dan introspeksi diri atau mulat sarira.
Puasa dan pantang Katolik 40 hari jelang Paskah
Rabu 6 Maret 2019 adalah awal masa puasa dan pantang bagi umat Katolik sedunia. Umat Katolik merayakan awal masa Prapaskah ini dengan Ibadat Rabu Abu. Menerima abu adalah tanda pertobatan.
Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yakni masa tobat 40 hari sebelum Paska. Dasar alkitabiah puasa dan pantang selama 40 hari amat jelas. Menurut Kitab Keluaran, Nabi Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lihat Keluaran 34:28). Juga Nabi Elia (lihat 1 Raja-Raja 19:8). Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lihat Injil Matius 4:2).
Gereja Katolik menerapkan pantang dan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu adalah saat suka-cita memeringati Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari.
Aturan puasa dan pantang Katolik
Banyak orang bukan Katolik penasaran, seperti apa sih aturan puasa dan pantang Katolik? Ini aturan puasa dan pantang yang ditetapkan Konferensi Waligereja Indonesia dengan mengacu pada Kitab Hukum Kanonik yang disetujui Paus:
1. Hari Puasa (wajib) dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung.Â
2. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaska sampai dengan Jumat Agung.
3. Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60.Â
4. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.
5. Puasa (dalam arti hukum) berarti makan kenyang hanya sekali sehari.Â
6. Pantang (dalam arti hukum) berarti memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya.
Catatan tambahan
1. Puasa minimal bagi seorang Katolik "dewasa" dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Akan tetapi, mereka yang dapat melakukan lebih, dapat pula juga berpuasa dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska (atau bahkan setiap hari dalam masa Prapaska).
2. Waktu berpuasa, orang Katolik makan kenyang satu kali, dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Perlu dibedakan makan kenyang dengan makan sekenyang-kenyangnya.Â
Karena maksud berpantang juga adalah untuk melatih pengendalian diri, maka jika berbuka puasa/ pada saat makan kenyang, orang Katolik juga tetap makan tidak berlebihan. Juga makan kenyang satu kali sehari bukan berarti boleh makan cemilan berkali-kali sehari.Â
3. Mereka yang secara kondisi fisik sedang tidak mampu berpuasa dan berpantang, misalnya orang yang sakit (keras) atau mengandung, tidak terikat aturan di atas. Namun, mereka tetap diajak melakukan laku tobat dengan cara-cara lain yang sesuai dengan kondisi mereka.
Maksud aturan yang "ringan"
Sejatinya, pantang dan puasa Katolik dalam arti hukum tergolong "ringan". Maksudnya agar orang-orang Katolik tanpa banyak kesulitan bisa menerapkannya. Puasa wajib hanya dua hari saja. Puasa berarti makan kenyang satu kali saja, tetap boleh minum bila haus.Â
Jika mau memperberat puasa dan pantang, masing-masing orang Katolik dipersilakan mengatur sendiri, tanpa harus takut berdosa bila melanggar pantang dan puasa pribadi tersebut.
Tentu puasa dan pantang disertai juga dengan makin banyak berbuat kasih, menolong kaum miskin, anak yatim-piatu, kaum lansia yang tak diperhatikan keluarga, mengampuni dan mendoakan orang yang telah berbuat salah dan dosa.
Bagi umat Katolik, penting pula mengaku dosa melalui Sakramen Tobat sebagai persiapan sebelum Trihari Suci (lihat keterangan dalam bagian berikut).
Puasa dan pantang, serta introspeksi "Nyepi" di tahun politik
Menariknya, hari pencoblosan Pemilu tahun ini adalah pada tanggal 17 April 2019, sehari sebelum Hari Kamis Putih (18 April), saat umat katolik mengenang Perjamuan Makan Terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Tanggal 17 April nanti adalah satu hari sebelum rangkaian Tiga Hari Suci: Kamis Putih, Jumat Agung (wafat Yesus) yang jatuh pada 19 April dan Minggu Paskah (kebangkitan Yesus) yang diperingati 21 April 2019.
Artinya, umat Katolik di Indonesia yang menjalankan pantang dan puasa juga-secara kebetulan-"menyambut" Pilpres dan Pileg 2019.Â
Pula umat Hindu pada tahun ini merayakan Nyepi jelang Pemilu 2019.Â
Perayaan Hari Suci Nyepi tahun ini bertema, "Melalui Catur Brata Penyepian Kita Sukseskan Pemilu 2019". Tema ini dinilai Menag Lukman Hakim sangat relevan dan kontekstual.
"Mengabdi kepada bangsa dan mendoakan pemilu berjalan lancar, tertib dan damai, adalah bentuk pengamalan dari dharma negara atau kewajiban menjalankan perintah negara," kata dia.
Beberapa permenungan
Saat puasa dan pantang serta introspeksi bagi umat Katolik dan Hindu (dan bagi kita semua) jadi momen berharga untuk merenungkan beberapa hal:
1. Apa peran positif kita dalam menjaga kerukunan bangsa jelang Pemilu 2019? Mari berpantang menyebar hoaks yang berpotensi memecah-belah bangsa.
2. Sudah mampukah kita mengendalikan diri dalam berkata dengan mulut maupun berkomentar di media sosial? Mari setop ujaran kebencian, makian, apalagi yang menyinggung suku, agama, ras, disabilitas serta urusan kehidupan pribadi.
3. Beragama di tanah air Indonesia berarti pula mencintai tumpah-darah Indonesia. Tuhan YME tentu punya kehendak baik dengan "menempatkan" kita di untuk tinggal berdampingan di negeri indah ini.Â
Kita tidak hidup di Jazirah Arab, atau di Vatikan, atau di Israel, Palestina atau India. Kita hidup di rumah kita bersama, Indonesia. Mari kita jaga rumah kita ini dengan amal kasih dan doa kita.
4. Umat Katolik Indonesia sangat diharapkan tetap mencoblos. Memang benar, di wilayah tertentu, ada persiapan besar untuk Trihari Suci. Namun, kiranya dengan perencanaan yang baik, umat Katolik tetap bisa menggunakan hak pilihnya pada hari pencoblosan. Segera urus surat-surat yang diperlukan terkait Pemilu 2019 bila misalnya memang harus bepergian ke luar kota (untuk acara keagamaan, misalnya) agar tetap bisa mencoblos.Â
Saya kurang mengikuti perkembangan di Indonesia Timur terkait hal ini. Rekan-rekan pembaca dan narablog Kompasiana silakan memberi informasi tambahan.
Baca tulisan lain:
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H