Mohon tunggu...
Bob Bimantara Leander
Bob Bimantara Leander Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalau gak di radar ya di sini

Suka menulis yang aku suka

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Satu Tahun seperti Terbang dan Bocah ini Ingin Lebih Tinggi

13 Juni 2020   19:50 Diperbarui: 13 Juni 2020   19:55 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah setahun saya bekerja di sebuah media besar. Besar jika diukur secara lokal ya. Ibaratnya kalau di kota saya, media itu Anda tak perlu menjelaskan semua sudah tahu. Anda punya nama-nama dimana-mana dengan menyandang wartawan media itu.

Tak terasa 18 Juni 2020 besok saya musti mengundurkan diri. Saya harus melanjutkan karir di media selanjutnya.

Saya di artikel tidak akan bercerita mengapa saya keluar dari media itu, tapi saya akan berbagi khususnya ke fresh graduate bagaimana pengalaman saya bisa sampai ke media besar, padahal baru fresh graduate dari suatu kampus Islam negeri. Selain itu, saya juga akan bercertia bagaimana pengalaman saya menjadi fresh graduate di sebuah perusahaan dengan branding besar.

Oke yuk mulai. Disclaimer: ini bukanlah sebuah prestasi saya ya. Saya hanya berbagi pengalaman ada pahitnya ya ada manisnya. Semuanya dicerna dengan baik-baik ya, ambil positif dari pengalaman saya.

Part 1: Bagaimana Saya Diterima?

Oke semua itu hanya kebetulan. Saya hanya mahasiswa kupu-kupu. Kuliah pulang kuliah pulang. Plus, saya juga terbilang rajin tapi setiap tugas saya kerjakan. Tak jarang pula saya menjadi ketua kelas dimanapun mata pelajarannya, tak terkecuali jurnalistik.

Khusus untuk kelas ini saya bertemulah dengan sosok dosen yang sekaligus petinggi dari media besar itu. Saya tak punya ataupun terbesit pikiran untuk kerja sebagai wartawan awalnya. Tapi ketika beliau menjelaskan mata kuliah jurnalistik membuat saya tertarik. Bukan karena teori-teori yang ia jelaskan. Ia bahkan tidak sama sekali menjelaskan teori.

Terus apa? Dua semester kelas itu saya habiskan dengan mendengar dongengnya. Beberapa terlena. Tapi saya fokus saya mendengear cerita beliau dengan seksama. Cerita-ceritanya pun saya ingat sampai sekarang. Bahkan, buku ciptaannya masih saya simpan dan saya beli juga. Jadi inspirasi saya menjadi wartawan.

Untunglah karena rajin mendengar, saya dan beliau berlanjut ke warung kopi. Topik menjadi begitu luas.  Membahas hal-hal tentang apapun. Sering saya bertemu dengan beliau. Akhirnya ya begitu. Mata kuliah ini harus berakhir. Di pertengahan 2018.

Saya dan beliau hanya menyimpan kontak whatsapp masing-masing.

Enam bulan berlalu atau tepat Februari 2019 lalu. Saya sudah melalap berabagi pengalaman unpaid sebagai jurnalis. Magang di Jember, terus jadi digital citizen journalis di sebuah media online, dan juga kerja pernah di media online yang tidak terlalu besar selama sebulan.

Ketik nama saya dan beberapa karya sudah ada lah di google, hehe karya kwkw. Itulah bayaran yang saya terima bukan uang tapi prasasti abadi sebagai wartawan hehe. Saya sesekali juga menulis di laman nasional tentang opini-opini saya atau tulisan tida kjelas, kompasiana.com, atau kumparan pernah saya lahap. IDN Times juga pernah tapi tulisan saya tidak pernah diterima L.

Masuklah masa-masa skripsi. Saya sudah tidak bekerja, fokus skripsi. Kadang-kadang ya main media sosial sih tapi gak sering. Instagram, Whatsapp, Twitter kadang-kadang saya lihat. Kadang juga nonton film bajakan yang saya download pakai wi-fi warung kopi.

Sesekali saya juga melihat lowongan pekerjaan. Gak ada yang menarik tapi sial. Gak menarik karena persyaratannya musti S1 sementara saya masih SMA. How Come?

Untungnya nih, saya caper lah di status WA. Saya buat status tulisan saya di laman Kumparan. Gambar berupa screenshotan itu. Tak dinyana dosen saya membalas. Dosen jurnalistik saya itu.

"Gimana kabar bob?" kata ia tidak formal.

"Baik pak. Bagaimana kabar bapak? Saya alhamdulilah kemarin kerja di media A," jawab saya sopan sambil menyelipkan kata-kata caper itu. Tahu kan capernya yang mana?

"Huwi hebat? Ayok ngopi lagi kapan-kapan. Kamu udah lulus?' tanyanya.

Saya jawab belum dan saya mengiyakan ajakan ngopinya.

Seminggu setelah beliau nge-chat akhirnya kami bertemu. Saya berpakaian rapi seperti ketemu pacar. Sialnya itu juga malam minggu wkwk. Gak papalah. Saya bertemu dengan beliau dengan rapi.

Beliau menawari saya kerja. Seperti yang saya duga. Syaratnya saya harus lulus. Tak butuh waktu lama saya iyakan.

Beliau sepertinya butuh banget. Bahkan beliau meminta saya Senin mulai nulis tentang kampus saya (yang mana kerjasama sama media itu). Bayarannya berapa? Untungnya dibayar. 1 artikel xxxxxx (rahasia ya).

Wow untunglah.

Saya bekerja secara freelance sambil mengerjakan skripsi. Fokus saya terbelah dua? Tidak fokus tetap skripsi. Sampai akhirnya tanggal 21 Mei saya tiba-tiba dipanggil ke kantor media itu dan langsung tanda tangan kontrak.

Wow lagi. Saya belum lulus. Saya masih pakai ijazah SMA. Saya masih belum punya SIM? Terus mengapa saya diterima di media ini?

Mengapa mereka berani menghiring anak yang punya pengalaman se-upil di media yang segede hidung?

Pertama waktu awal. Ini opinii saya ya. Ketika wawancara dengan HRD. Jawaban saya tidak too good to be true tapi juga tidak buruk. Intinya saya jawabnya jujur. Saya fokuskan pada sisi positif saya dulu tapi ketika saya sudah katakan sisi positif saya, saya juga ungkapkan negatifnya. Bagaimana caranya? Belajar nilai diri sendiri. PD tapi jangan too perfect to score yourself. Everyone has positifa and negatife side in their life.

Tapi...

Usut punya usut saat berjalan begitu lama di perusahaan ini. saya tahu jawabannya. Media itu butuh anak baru dan mudah diatur dan tidak mudah menyerah dan berani menerima kritikan (catat nih). Terus tulisan? nomor dua atau empat gak tau terserah pokoknya nomor satu itu pantang menyerah aja. Catat.

Bagaimana jawaban itu saya dapat?

Point Ii: Belajar Kerja Ibadah

Peraturan Pertama jangan sok-sokan. Kerja jangan cepat puas karena pada akhirnya tantangan itu pasti selalu ada. Dan jangan cari libur atau cari enaknya. Kalau ingin lebih dan worth doing ya harus letih lelah dan tumbuhkan semangat lagi. Memang sulit dan desperate tapi itulah salah satu

Oke aku mulai. Dari awal bekerja di sini saya sudah memutuskan untuk tidak terlena dengan branding besar. Saya hanya fokus menulis.

Kenapa? Karena di media ini, khususnya di tiga bulan wartawan itu "dihabisi". Setiap hari suruh ke kantor habis liputan. Setiap sore tepatnya tulisan saya dibombardir dengan kritikan. "Tulisanmu seperti anak SD, Bahkan lebih baik anak SD Bob," kata dosen jurnalistik saya pedas.

Bahkan redaktur lagi juga tak kalah pedasnya. "Kamu ini nulis apa kok gak jelas? Kamu tahu 5W+1H kan? Dulu belajar itu kan? Kok gak kamu terapin? Hadeh," keluhnya melihat tulisan ku yang amburadul. Itu terjadi setiap hari kecuali ketika saya libur. Libur satu hari dalam seminggu.

Terus perasaan saya bagaimana? Ya down banget. Saya kira saya sudah sempurna. pernah menulis di sana-sini. Saya sudah masuk Google. Tulisan saya masuk google betapa bangganya. Tapi di media ini semua means nothing. Tulisan saya sampah.

Memang media ini besar, besar karena tulisan saya yang saya anggap besar hanya sebiji kacang di media ini. Anjrit.

Saya mau menyerah. Saya pingin ngopi lagi setiap hari dan bertemu teman-teman lagi. Gak mau kerja.

Saya bolos sehari nenangin pikiran sendiri. Saya curhat ke semua orang terdekat. Sembari nonton film horror di bioskop.

Saya bolos lagi keesokan hari kurang tenang. Orang kantor sepertinya sudah tahu saya tertekan. Tidak ada chat penugasan atau apapun.  Sepertinya mereka sudah rela saya pergi.

Tapi ya kuncinya memang mental baja dan pantang menyerah. Saya lunturkan semua ego dan kebanggan di diri saya.

Saya memosisikan diri saya bukanlah pekerja tapi saya pelajar. Pelajar yang bertanggung jawab tapi ya.

Saya semangat belajar. Pagi berangkat jam 7 padahal acara mulai jam 8. Di sela-sela waktu saya rajin buka media nasional. Pagi-pagi setiap jam 6 sebelumnya saya gunakan baca koran.

Apakah ada hasil? Tentu saja tidak. Saya tetap kena marah. Typo juga sering. Wawancara 10 menit tapi hasil tipis banget untuk tulisan. Saya tetap dikritik.

Tapi bedanya saya tetap stand-up. Saya tida fokus pada perkataan kritikan itu, saya fokus untuk memperbaiki. Saya kurang detail kalau bertanya, saya besok harus detail.

Dan boom. Hari ke hari saya semakin semangat. Setiap kritikan saya buktikan dengan tulisan keesokan harinya.

Kritikan hari ini buat perbaikan besok. Agak tenang dan sudah lancar.

Tapi apakah sudah selesai masalahnya? Belum dong. Saya punya direktur. Yang sungguh detail dan tulisan sebagus apapun pasti dikritik.

Tulisan saya pun tak luput dari kritikannya. Kuantitas apalagi. Bahkan sialnya tulisan saya yang saat meliput direktur itu membuat manager saya dikatain tak berkompeten memilih wartawan.

Hancur hati? Pasti. Mau resign lagi? Pastinya.

Terus apa yang menguatkan? Ya teman-teman di sekeliling saya termasuk manajer saya.

Padahal saya waktu itu juga sudah apply di beberapa perusahaan lain. Tapi untungnya tidak diterima.

Dan ketika bertemu dengan manajer saya, diurai alasan saya mau resign. In short, ternyata saya hanya mudah merasa down ketika membuat kesalahan.

Padahal dunia ini memang perlu kesalahan supaya ada yang benar. Hitam butuh putih untuk bisa dikatakan hitam.

Tapi saya berpikirnya dunia ini musti berjalan lurus. Pekerjaan harus sempurna dan selesai harus 100% benar sekejap. Padahal orang hebat seperti Nadiem Makarim musti ditolak oleh beberapa investor sebelum Gojek sebesar sekarang. Padahal, RM BTS harus dicerca oleh rapper dan netizen Korea dan fans K-POP sebelum BTS sebesar sekarang.

Mereka merasakan down? Pasti. Tapi bagaimana kita up itu yang penting. Bagaimana saya up? Saya hanya butuh supporting system. Semua orang butuh supporting system dan untungnya supporting system works on me.

Orang tua mendukung saya bertahan. Teman yang jadi pacar saya saat ini juga mendukung dan teman di sekeliling saya juga mendukung. Tuntas sudah.

Tapi keterampilan kerja belum ya. Tulisan tetap harus ada perbaikan dan bahkan sampai sekarang saya masih harus ada yang disempurnakan.

Tapi setidaknya saya punya kekuatan kembali untuk kembali bekerja dan belajar.

Dalam perjalanan hampir menyerah kedua dan kembali bersemangat kembali ternyata terasa anyep. Saya menuntaskan semua pekerjaan dengan baik.

Tapi redaktur bingung mau mengkritik apa? Tapi tulisan saya secara jumlah dan kualitas sudah cukup baik.

Tapi cukup baik bukanlah kata yang cukup untuk media ini saya harus lebih baik lagi.

Keputusan gila dibuat oleh manajer saya, saya dipindahkan dari pos kota ke kabupaten. Sungguh gila, saya wartawan yang masih haus pengalaman ini dilempar ke tempat yang keras.

Kenapa? Wilayahnya luas dan sialnya jauh dari rumah saya.

Saya memberontak tapi tidak bisa. Saya mau menyerah? Sungkan sendiri. Kenapa? Karena menyerah itu lama-lama menjijikan bagi saya. Saya jadi memilik konsep "Menyerah bukanlah jalan yang baik. Buktikan taklukan. Coba dulu baru tentukan nasib kemudian"

Terkutuklah saya di sini akhirnya. Di Kabupaten tempat yang entah berantah dan narasumber yang tidak saya kenal. Saya harus memulai semua dari awal padahal saya sudah membangun "kingdom" di kota.

Tapi apa boleh buat tantangan harus diterima. Kehidupan must go on.

Dari awal berangkat saya tidak punya pikiran mau nulis apa. Untungnya waktu di perbatasan kota dan kabupaten ada solar yang bocor dari sebuah truk.

Saya langsung insting. Berita ini harus aku tulis minimal tiga artikel harus ku dapat. Mukjiazat itu nyata. Masih jam 10 pagi saya sudah menulis 3 artikel kurang empat. Untunglah tidak digupuhi.

Apa imbasnya? Saya bisa berpikir jernih. Jernihnya seperti apa? Isu-isu yang pernah saya bahas di kota saya geret ke Kabupaten. Seperti apa? Seperti isu pembatasan pembangunan toko modern.

Saya ke dinas terkait dan untungnya mudah sekali bertemu dengan kepala dinas. Saya sudah dapat empat berita. Terus saya lihat waktu itu musim panas dan kurang air dimana-mana untuk pertanian saya ke dinas pertanian. Malah dapat dua berita.

Saya tidak tahu mengapa di Kabupaten ini begitu bebas. Memang tidak diarahkan seperti di kota. Di kota semua topik musti diarahkan karena semua topik sexy. Dan sialnya saya harus menulis cepat agar tidak kedahuluan media lain.

Di Kabupaten beda, tidak ada topik yang sexy. Semua bebas. Tidak menjadi attensi redaktur dan media saya.

Tapi jurstru di poin itu lah saya bisa berkembang secara liar. Saya kenal hampir kepala dinas. Saya dikenal beberapa senior karena tulisan saya yang variatif.

Dan seiring berjalannya waktu saya bisa menjadi wartawan yang malah memunculkan isu di Kabupaten.

Pujian ada pastinya dari redaktur. Namun tidak perlu lah saya sebut.

Awalnya yang saya memberontak akhirnya saya bersyukur. Memang tantangan itu seperti dua mata uang kalian bisa menerima dan mendapat hasilnya nanti atau anda menolak dan tidak mendapatkan apa-apa hanya perasaan nyaman. Dan nyaman itulah yang menjadi racun dan btw di paragraph bawah ini saya jelaskan nyaman itu racun dan perlu dihindari.

Saya sudah mulai nyaman bahkan sehari tidak usah ke lapangan saya sudah menulis 6 sampai 7 berita. Lewat telepon saja.

Apalagi pas korona mulai ini rasa nyaman itu ada dan nyata. Perut semakin menggemuk karena saya jarang bergerak dan sudah mulai tumpul otak kreatif saya untuk mencari berita-berita ke lapangan langsung.

Semua sudah digenggaman smartphone saya. Isu dan narasumber tersusun rapi di handphone.

Bahkan dalam satu acara saya sudah bisa mendapat 10 artikel. Tidak usah liputan besokanya ya bisa.

Akhirnya pikiran saya berorientasi ke uang. Saya mulai "nakal" tawaran beberapa media lain saya terima. Saya menulis untuk tiga media. Padahal hal itu adalah haram di media besar.

Tapi uang adalah orientasi saya. Saya sudah mulai kehilangan arah di kerjaan ini. Padahal saya masih muda dan butuh beberapa tantangan lagi.

Uang memang banyak tapi itu semua palsu saya merasa rasa nyaman ini lama-lama mmebunuh. Saya sudah mulai males untuk terjun ke lapangan. Saya bahkan mungkin sudah kehilangan passion saya kepada nulis menulis, yang saya pikirkan hanya uang?

Apa hasilnya? Saya sudah bisa berkeluarga sebenarnya dengan bayaran di tiga media itu belum lagi ceperan dari iklan ini dan itu. Tapi batin saya tersiksa. Saya tidak boleh berhenti di sini. Ini adalah jalan curang.

Saya tidak ingin setiap hari pikiran saya adalah mencari uang bukan mencari berita. Bukan bukan itu.

Apalagi media besar itu telah kehilangan manajer saya yang bertugas ngoprak-ngopraki. Seperti raja memang. Tapi dengan keadaan tetap begini saya merasa tidak produktif lagi.

Saya tinggalkan media besar itu, saya butuh tantangan lagi. Saya ingin menulis hal-hal yang kreatif lagi saya ingin belajar lagi. Saya tidak boleh berhenti dan settle di sini.

Dan saya percaya di media baru ini meskipun belum besar saya akan mendapatkan hal itu.

Mungkin kemungkinan saya gagal adalah 50% tapi kemungkinan saya sukses juga 50%.

Sekarang tinggal saya terapkan saja kunci saya selama ini di media besar itu: Pantang Menyerah dan Ulet.

Kenangan cukup banyak tapi saya ingin kenangan lagi biar saya buat biography suatu hari nanti.

Cheers up!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun