Kenapa? Karena di media ini, khususnya di tiga bulan wartawan itu "dihabisi". Setiap hari suruh ke kantor habis liputan. Setiap sore tepatnya tulisan saya dibombardir dengan kritikan. "Tulisanmu seperti anak SD, Bahkan lebih baik anak SD Bob," kata dosen jurnalistik saya pedas.
Bahkan redaktur lagi juga tak kalah pedasnya. "Kamu ini nulis apa kok gak jelas? Kamu tahu 5W+1H kan? Dulu belajar itu kan? Kok gak kamu terapin? Hadeh," keluhnya melihat tulisan ku yang amburadul. Itu terjadi setiap hari kecuali ketika saya libur. Libur satu hari dalam seminggu.
Terus perasaan saya bagaimana? Ya down banget. Saya kira saya sudah sempurna. pernah menulis di sana-sini. Saya sudah masuk Google. Tulisan saya masuk google betapa bangganya. Tapi di media ini semua means nothing. Tulisan saya sampah.
Memang media ini besar, besar karena tulisan saya yang saya anggap besar hanya sebiji kacang di media ini. Anjrit.
Saya mau menyerah. Saya pingin ngopi lagi setiap hari dan bertemu teman-teman lagi. Gak mau kerja.
Saya bolos sehari nenangin pikiran sendiri. Saya curhat ke semua orang terdekat. Sembari nonton film horror di bioskop.
Saya bolos lagi keesokan hari kurang tenang. Orang kantor sepertinya sudah tahu saya tertekan. Tidak ada chat penugasan atau apapun. Â Sepertinya mereka sudah rela saya pergi.
Tapi ya kuncinya memang mental baja dan pantang menyerah. Saya lunturkan semua ego dan kebanggan di diri saya.
Saya memosisikan diri saya bukanlah pekerja tapi saya pelajar. Pelajar yang bertanggung jawab tapi ya.
Saya semangat belajar. Pagi berangkat jam 7 padahal acara mulai jam 8. Di sela-sela waktu saya rajin buka media nasional. Pagi-pagi setiap jam 6 sebelumnya saya gunakan baca koran.
Apakah ada hasil? Tentu saja tidak. Saya tetap kena marah. Typo juga sering. Wawancara 10 menit tapi hasil tipis banget untuk tulisan. Saya tetap dikritik.