Seharusnya solusinya adalah  memperbaiki infrastruktur Perindustrian sehingga industri dapat tumbuh bukan  mengalihkan ke sektor Jasa yang di harapkan dapat memberikan penguatan ekonomi, karena secara empiris tidak ada sektor jasa dapat mengangkat GDP per capita untuk negara dengan penduduk di atas 100 Juta.
Pertumbuhan Ekonomi bergantung kepada konsumsiÂ
Salah satu kesalahan hampir semua Pemerintahan setelah reformasi adalah mengambil jalan pintas untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi yaitu melalui konsumsi masayarakat dan belanja pemerintah di banding menumbuhkan sektor Industri yang memang lebih sulit tetapi hasillnya jauh lebih sustain dalam jangka panjang di banding konsumsi. Â Menurut data BPS saat ini konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% terhadap pertumbuhan ekonomi [5].
Menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi sebenarnya tidak masalah selama sektor industri masih memberikan kontribusi cukup signifikan tetapi ketika sektor industri juga merosot tajam ini menjadi masalah karena tidak adanya uang baru dalam bentuk investasi atau export masuk kedalam ekonomi, uang hanya berputar dari kantong saya ke anda. Begitu juga belanja Pemerintah yang tidak lain sebagian berasal dari pajak yaitu uang dari kantong masyarakat juga. – Pada akhirnya siklus ini tidak dapat bertahan karena pada akhirnya daya beli masyarakat merosot karena dampak merosotnya industri mulai memberikan dampak kepada inflasi dan pengangguran yang meningkat sehingga daya beli merosot dan pertumbuhan ekonomi menurun.
Sebenarnya Presiden Jokowi sudah menyampaikan hal tersebut pada Rapat Terbatas Kabinet tanggal 9/6/2015 Â tetapi realisasinya justru sektor Jasa, khususnya Pariwisata yang di prioritaskan.Â
"Pertumbuhan ekonomi kita hendaknya lebih menekankan pada produktivitas dan didukung oleh industri kita yang kuat. Jangan sampai berbasis konsumsi karena apa pun nilai tambah itu ada di sisi produksi dan pengembangan industri dalam negeri," (Presiden Joko Widodo) [6]
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh McKinsey, sektor Jasa tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GDP sebelum GDP per capita di atas $7000 - $10,000. Grafik di bawah adalah siklus evolusi pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang sehat evolusi pertumbuhan ekonominya akan mengikuti kurva McKinsey yaitu dimana ketika porsi industri terhadap GDP sudah melebihi 30% - 40% dan GDP per capita di atas $7000 -  $10,000 maka ekonomi mulai bergeser ke arah sektor Jasa. – Middle income trap adalah posisi sebuah negara yang terperangkap dengan GDP di bawah $7000 dan manufacturing tidak dapat tembus 30%. [7]
Seharusnya sudah jelas bahwa untuk dapat keluar dari ancaman negara gagal, industri, khususnya Industri manufacturing (non-migas) yang selama 15 tahun terkakhir merosot terus harus tumbuh dan bergerak naik. – Pada tahun 2015 Pemerintah mengeluarkan Rencanan Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang menjadi PP no 14 tahun 2015.Â
Menurut RIPIN pada tahun 2025 kontribusi manufatur terhadap PDB di targetkan mencapai 23,26% dan pada tahun 2035 sebesar 29,09%.  – Artinya di butuhkan waktu 34 tahun untuk manufacturing kembali ke level 29% setara pada tahun 2001.
Bila terget RIPIN pada tahun 2025, yaitu 23,26% dapat tercapai maka seharusnya Indonesia dapat keluar dari ancaman negara gagal. Â Pertanyaan mendasar adalah dapatkan target tersebut tercapai dalam 9 tahun kedepan ?