Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money

Deindustrialisasi Ancam Indonesia Jadi Negara Gagal

21 November 2016   18:10 Diperbarui: 27 November 2016   09:06 2124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GDP Per Kapita Indonesia yang merosot

GDP Per Kapita Indonesia yang merosot
GDP Per Kapita Indonesia yang merosot
Tidak dapat di sangkal telah terjadi Kontraksi ekonomi di akui apa tidak - waluapun sebagian besar ekonom akan mengatakan bahwa ini adalah efek temporer karena melemahnya rupiah terhadap dollar - untuk saya jawaban tersebut hanyalah justifikasi penyangkalan terhadap apa yang terjadi, karena dengan merosotnya export pastinya rupiah akan melemah. Lalu saya rasa kita harus terus berhenti membandingkan ekonomi Indonesia dengan dunia, Karena sebagian besar negara-negara yang selalu di bandingkan oleh Pemerintah memiliki GDP per capita jauh di atas Indonesia sehingga dampak fluktuasi ekonomi tidak terlalu di rasakan oleh masyarakatnya.

Seharusnya solusinya adalah  memperbaiki infrastruktur Perindustrian sehingga industri dapat tumbuh bukan  mengalihkan ke sektor Jasa yang di harapkan dapat memberikan penguatan ekonomi, karena secara empiris tidak ada sektor jasa dapat mengangkat GDP per capita untuk negara dengan penduduk di atas 100 Juta.

Pertumbuhan Ekonomi bergantung kepada konsumsi 

Salah satu kesalahan hampir semua Pemerintahan setelah reformasi adalah mengambil jalan pintas untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi yaitu melalui konsumsi masayarakat dan belanja pemerintah di banding menumbuhkan sektor Industri yang memang lebih sulit tetapi hasillnya jauh lebih sustain dalam jangka panjang di banding konsumsi.  Menurut data BPS saat ini konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% terhadap pertumbuhan ekonomi [5].

Menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi sebenarnya tidak masalah selama sektor industri masih memberikan kontribusi cukup signifikan tetapi ketika sektor industri juga merosot tajam ini menjadi masalah karena tidak adanya uang baru dalam bentuk investasi atau export masuk kedalam ekonomi, uang hanya berputar dari kantong saya ke anda. Begitu juga belanja Pemerintah yang tidak lain sebagian berasal dari pajak yaitu uang dari kantong masyarakat juga. – Pada akhirnya siklus ini tidak dapat bertahan karena pada akhirnya daya beli masyarakat merosot karena dampak merosotnya industri mulai memberikan dampak kepada inflasi dan pengangguran yang meningkat sehingga daya beli merosot dan pertumbuhan ekonomi menurun.

Sebenarnya Presiden Jokowi sudah menyampaikan hal tersebut pada Rapat Terbatas Kabinet tanggal 9/6/2015  tetapi realisasinya justru sektor Jasa, khususnya Pariwisata yang di prioritaskan. 

"Pertumbuhan ekonomi kita hendaknya lebih menekankan pada produktivitas dan didukung oleh industri kita yang kuat. Jangan sampai berbasis konsumsi karena apa pun nilai tambah itu ada di sisi produksi dan pengembangan industri dalam negeri," (Presiden Joko Widodo) [6]

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh McKinsey, sektor Jasa tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GDP sebelum GDP per capita di atas $7000 - $10,000. Grafik di bawah adalah siklus evolusi pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang sehat evolusi pertumbuhan ekonominya akan mengikuti kurva McKinsey yaitu dimana ketika porsi industri terhadap GDP sudah melebihi 30% - 40% dan GDP per capita di atas $7000 -  $10,000 maka ekonomi mulai bergeser ke arah sektor Jasa. – Middle income trap adalah posisi sebuah negara yang terperangkap dengan GDP di bawah $7000 dan manufacturing tidak dapat tembus 30%. [7]

Manufacturing's share of GDP
Manufacturing's share of GDP
Apakah Manufakturing dapat tumbuh ?

Seharusnya sudah jelas bahwa untuk dapat keluar dari ancaman negara gagal, industri, khususnya Industri manufacturing (non-migas) yang selama 15 tahun terkakhir merosot terus harus tumbuh dan bergerak naik. – Pada tahun 2015 Pemerintah mengeluarkan Rencanan Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang menjadi PP no 14 tahun 2015. 

Menurut RIPIN pada tahun 2025 kontribusi manufatur terhadap PDB di targetkan mencapai 23,26% dan pada tahun 2035 sebesar 29,09%.  – Artinya di butuhkan waktu 34 tahun untuk manufacturing kembali ke level 29% setara pada tahun 2001.

Bila terget RIPIN pada tahun 2025, yaitu 23,26% dapat tercapai maka seharusnya Indonesia dapat keluar dari ancaman negara gagal.  Pertanyaan mendasar adalah dapatkan target tersebut tercapai dalam 9 tahun kedepan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun