Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Energi Murah vs Energi Bersih

14 Februari 2016   13:26 Diperbarui: 25 Mei 2016   20:09 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="energi murah vs energi bersih mana yang lebih penting bagi pembangunan"][/caption]

Energy Murah vs Energi Bersih, mana yang lebih penting bagi pembangunan Nasional ? Inilah permasalahan yang Saya bahas dalam tulisan ini.

Pembahasan Rencana Umum Energi Nasional 2016 – 2050 (RUEN) yang di mulai Desember tahun lalu sampai saat ini belum kunjung rampung. Tentunya ini menunjukan adanya permasalahan, yang dapat di duga persoalannya ada pada energi baru dan terbarukan (EBT), yang terkait nuklir.

Baca : Penetapan Cetak Biru Energi Nasional Terganjal Isu Nuklir

Dalam hal EBT ada 3 persoalannya utama yang muncul : 1) Apakah energi terbarukan dapat memenuhi 25% bauran energi seperti yang di amanatkan dalam PP no 79 tahun 2014; 2) Dengan subsidi Feed-in-Tariff (FIT) yang mahal maka akan mendongkrak harga Listrik menjadi naik 3) Mekanisme subsidi FIT yang sampai saat ini belum jelas dan bahkan beritanya belum di bahas dengan kementrian keuangan.

Artinya dari point 1 dan 2 jelas terlihat dikotomi antara energi murah vs energi bersih ? Energi Murah identik dengan batubara, yang sangat kotor dan merusak lingkungan versus Enegi Bersih yang identik dengan Angin dan Surya yang biayanya sangat mahal.

Kepentingan Nasional atau Kepentingan Global ?  Isu perubahan iklim dengan meningkatkan EBT yang justru akan membuat harga listrik naik dan akan menghambat pembanggunan nasional atau justru sebaliknya, grow first clean up later ??

Apakah Energi Murah harus selalu kotor dan haruskah energi bersih selalu mahal ?

itulah yang seharusnya di menjadi pertanyaan terpenting.

Dari sisi pasokan, banyak yang meragukan bahwa energi terbarukan dapat memenuhi kebutuhan Listrik dalam skala besar, salah satunya anggota DEN, Prof. Dr Tumiran meragukan energi terbarukan non-nuklir dapat di andalkan untuk memasok 25% bauran energi EBT yang disampaikan pada FGD Thorium yang di laksanakan oleh BATAN pada tanggal 4/2/2016.

Beliau juga menyampaikan bahwa bertambah tingginya energi terbarukan (ET) maka Ketahanan Energi tidak akan terjadi, yang faktornya terdiri dari Jaminan Pasokan Suplai (Sustainability), Kehandalan Pasokan Listrik (Reliability) dan Keterjangkauan harga (Affordability)  tidak akan tercapai karena ET memiliki capacity factor di bawah 30% dan biaya produksi listrik yang mahal maka realibility dan affordibility tidak akan tercapai. Lalu bagaimana mau mencapai Kedaulatan Energi.

RUPTL PLN

Dalam rancangan Rencana Umum Pembangkitan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016 – 2025, PLN sudah mengkalkulasi dengan cermat bahwa bila hanya mengandalkan ET tanpa adanya nuklir maka energi terbarukan maksimal hanya tercapai 19%, itupun sudah memasukan semua jenis, termasuk sampah tapi tetap tidak kekejar angka 25%. Menurut PLN hanya mungkin mencapai 25% bila Nuklir masuk dalam bauran energi. -- Tetapi perhitunggan ESDM dan DEN berbeda, menurut mereka tanpa nuklir dapat di capai 25%. -- Siapa yang benar ?

Kalo menurut saya perhitungan DEN hanya di atas kertas karena sebagian besar anggota DEN bukan praktisi tetapi lebih banyak akademisi dan banyak di pengaruhi oleh kelompok anti-nuklir, sehingga sejak awal posisi DEN resisten terhadap nuklir terbukti dengan masuknya "opsi terakhir" pada PP no 79/2014. Pertanyaan sederhana mana yang lebih menguasi permasalahan di lapangan ? praktisi atau perencana/regulator. Jelas jawabannya adalah praktisi - Maka bila perhitungan PLN menyatakan bahwa EBT non-nuklir hanya mampu 19% maka pastinya lebih dapat di percaya di banding perhitungan ESDM.

Saat ini kapasitas terpasang sudah mencapai 51 GW dengan populasi 253 juta maka kapasitas per kapita 200 watt per orang dengan rata-rata 3,5 GW/tahun. ESDM merencanakan penambahan 70 GW sampai 2025, artinya harus meningkatkan kapasitas dari 3,5 GW/tahun manjadi 7 GW/tahun sehingga menjadi 121 GW pada 2025. Dengan populasi 300 Juta pada 2025 maka kapasitas terpasang perkapita 400 watt per orang. Masih jauh dibawah Malaysia 965 Watt/orang, Thailand 1000 watt/orang dan Singapore 2000 watt per orang.

Artinya dalam 10 tahun, dengan hanya 400 watt per orang kapasitas listrik di kota-kota di Indonesia masih jauh di bawah Jakarta saat ini yang sudah 500 watt per orang, apalagi mengejar Kuala Lumpur, Bangkok dan Singapore.

Bila kota-kota di Indonesia dalam 10 tahun kedepan menginginkan listrik minimum setara dengan Jakarta saat ini maka kapasitas terpasang per tahun harus menjadi 10 GW/tahun. -- Apakah dapat tercapai, 7 GW/tahun aja di ragukan banyak orang, dari mana mendapatkan tambahan 3 GW/tahun? Jawabanya Nuklir.

Dengan Nuklir 10 GW/tahun bahkan 15 GW/tahun dengan sangat mudah tercapai. Maka ketertinggalan dengan Malaysia, Thailand dan Singapore dapat di kejar dalam 10 - 15 tahun tidak 40 tahun sebagaimana perencanaan DEN dan ESDM.

Hal inilah yang menjadi keprihatinan Menko Maritim, Rizal Ramli tentang target 7 GW/tahun yang dianggap ambisius yang selama ini tidak pernah terjadi, karena data empiris yang dapat tercapai selama 20 tahun hanya 3,5 GW/tahun maka dalam 5 tahun maksimal 17,500 MW. Itu sebabnya beliau mengatakan dalam 5 tahun maksimal 18 GW.

"... kami evaluasi, ternyata yang betul-betul mungkin dan harus dalam lima tahun itu 16.000 MW-18.000 MW, itupun sangat besar..."(Rizal Ramli, 7/9/15)

Memang apa yang di sampaikan Rizal Ramli ada benarnya bila ESDM dan PLN melakukan nya dengan business-as-usual jelas tidak akan tercapai - Target 7 GW/tahun, hanya dapat terealisasi bila dilakukan sebuah terobosan dan perencanaan yang matang dan sistim yang handal yang dapat di bangun dalam skala besar -- jelas tidak dapat terealisasi bila hanya mengandalkan energi terbarukan tanpa adanya Nuklir. 

Bill Gates, orang terkaya di dunia mengatakan bila ada satu hal yang dapat mengangkat kemiskinan dari muka bumi adalah energi !! tepatnya energi bersih (clean), murah (affordable), skala besar (large scale) dan cepat terpasang (fast deployment) yang ia sebut sebagai mukjizat energi (energy miracle). Gates dengan tegas mengatakan angin dan surya bukanlah solusi, mukjizat tersebut adalah nuklir, khususnya reaktor generasi IV.

Banyak pihak anti-nuklir selalu mengatakan bahwa PLTN di dunia sudah di phase-out, bahwa trend di dunia adalah untuk tidak memakai PLTN. Sayang sekali orang tersebut bicara tanpa data. Kenyataanya berdasarkan data IAEA, yang di publish diPower Reactor Information System, bahwa sejak jan 2005 - jan 2016 di bangun 27,9 GW dan yang di tutup hanya 8,1 GW, bahkan tren ke depan meningkat, jumlah yang di bangun 3x dibanding yang di tutup. Silahkan lihat grafik berikut.

[caption caption="Jumlah PLTN dibangun vs di tutup"]

[/caption]

ESDM Menghambat Pembangunan Nasional

Sebenarnya bila di analisa dalam ESDM sendiri, terjadi perbedaan pandangan antara ditjen kelistrikan dimana targetnya adalah tingkat elektrifikasi skala besar dan listrik murah sementara ditjen EBTKE adalah maksimalkan energi terbarukan minimal 25% pada 2025 yang rata-rata di atas nilai keekonomisan PLN yaitu 9 sen/kwh yang sebagian besar terdari angin (18 – 20 sen/kwh), surya (25 sen/kwh), microhydro (12 sen/kwh) dan geothermal (12 – 15 sen/kwh) yang mahal dan di subisidi yang akan mendongkrak harga Listrik. – Harga Listrik mahal tentunya akan menghambat pembangunan, hal ini sudah menjadi fakta yang tidak dapat di sangkal lagi.

Hal inilah yang selalu di keluhkan oleh Kementrian Perindustrian yang akhirnya berdampak kepada daya saing industri nasional yang merosot di  antara negara2 ASEAN bahkan kontribusi industri terhadap GDP yang terus merosot sejak 15 tahun yang lalu sehingga pada tahun 2015 berada pada kisaran 18%.  Kementrian Perindustrian menyadari betul bahwa tanpa adanya nuklir maka tidak akan tercapai elektrifikasi skala besar dengan biaya murah maka dalam PP No 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), Nuklir di masukan sebagai Industri Andalan Nasional.

Sesungguhnya Nuklir sudah merupakan amanat UU No 17 tahun 2007  tentang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN 2005 - 2025) dan  Perpres No 2 Tahun 2015tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN 2015 - 2019) dimana di jabarkan bahwa PLTN harus di bangun antara 2015 - 2019. Sudah merupakan kewajiban setiap kementrian dalam membuat RENSTRA 2015 - 2019 harus mengacu kepada RPJMN 2015 - 2019.

"Sasaran peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) terdiri atas: (i) bauran EBT sebesar 10-16 Persen; (ii) kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT (PLTP, PLTA, PLTMH, PLTS, dan PLT Biomassa) sebesar 7,5 GW; (iii)pelaksanaan pilot project reaktor daya PLTN dengan kapasitas minimal 10 MW; (iv) pelaksanaan pilot project pembangkit listrik tenaga arus laut minimal 1 MW." (RPJMN 2015 - 2019 | hal 219)

Bila ESDM tidak memasukan Nuklir dalam RUEN, RUKN dan RUPTL bukan saja melanggar UU No 17 tahun 2007 tetapi ESDM menghambat Pembangunan Nasional, karena cetak biru Pembangunan Nasional adalah RPJMN. -- Bahkan Kementrian Ristekdikti dan Perindustrian sudah memasukan Nuklir kedalam RENSTRA mereka, tentunya sudah melalui sebuah proses kajian yang komprehensif.

ESDM juga tidak dapat berlindung di balik PP No 79 tahun 2014, dengan selalu mengatakan "opsi terakhir".  Karena faktanya sudah ada PP dan Perpres terbaru sesudah 2014 yang sudah memasukan nuklir dalam timeline yang jelas yaitu 2015 - 2019 maka seharusnya ESDM mengacu kepada PP yang terbaru bukan PP 79 tahun 2014.

Sangat sulit di nalar mengapa ESDM masih menolak masuknya nuklir dalam RUPTL, payung hukum sudah jelas dan DPR pun sudah melihat pentingnya nuklir guna meningkatkan ketahanan dan kemandirian di sektor energi nasional.

Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W. Yudha ketika  mengadakan Raker dengan Menteri Riset dan Dikti, Muhammad Nasir pada 10 Juni 2015.  -- Bahkan belum lama ini, dalam Raker Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM pada 3 Februari 2016, dengan tegas Kurtubi mengatakan DPR  mendukung pembangunan PLTN.

Baca : DPR Dorong Pembangunan PLTN.

"Oleh karena itu, Komisi VII DPR akan MENDESAK pemerintah untuk membuka peluang pembangunan pembangkit listrik tenaga NUKLIR (PLTN)...Jangan hanya karena satu atau dua orang anggota DEN, negeri besar ini di sandera. Padahal kita butuh listrik secepatnya dan sebanyak-banyaknya untuk mendukung besar ini menjadi negara maju. TANPA NUKLIR SUSAH" (Kurtubi, Komisi VII DPR)

Jelas dari pernyataan Kurtubi di atas, apa permasalahan nuklir sebenarnya. 

Permasalahan Energi Terbarukan

Sebenarnya energi terbarukan menyembunyikan segudang masalah besar, yang saya tulis secara detail dalam tulisan saya "Energi Terbarukan dan Permasalahanya" yang selama ini dikesamping dan tidak dibahas sama sekali. Tetapi premis utama bahwa ET mengurangi emisi gas rumah kaca ternyata dalam prakteknya di negara2 eropa tidak terjadi, justru meningkatkan emisi karena backup gas tubin dan genset diesel karena rendahnya kapasitas ET.

Secara umum beberapa permasalahan energi terbarukan seperti Surya dan Angin adalah :

  • Harga Produksi listrik mahal, butuh subisidi. -- Pada akhirya menaikan tarif listrik ke masyarakat.
  • Capacity Factor rendah, maka harus di backup dengan fossil juga (gas/diesel) -- Emisi CO2 meningkat.
  • Densitas Energi yang kecil, sehingga membutuhkan lahan yang luas sekali. untuk 1000 MW Surya butuh lahan seluas DKI, Angin butuh lahan seluas Bandung sementara Nuklir hanya 30 hektar.
  • Tidak dapat dipakai sebagai baseload.
  • Gampang rusak (khususnya Surya).
  • Skala Kecil, hanya feasible dibawah 50 MW. diatas itu lahan yang di pergunakan hampir mustahil di dapat.

Angin dan Surya lebih tepat dipergunakan untuk pulau ataupun daerah terpencil dan perumahan pribadi bukan untuk pembangkitan listrik skala besar.

Persoalan fundamental energi terbarukan sebenarnya adalah, tidak terkonsentrasi (diffused) dan densitas energi (energi denstity) yang rendah, sehingga tidak menjadikannya ekonomis, yang dapat tergambarkan dalam apa yang disebut Energy Return On Invesment(EROI) bertambah tinggi EROI, maka bertambah ekonomis energi tersebut. Sebagai contoh, untuk biofuel  output (return) 1,3X dari yang di input (investment) -- EROI tertinggi adalah Thorium Molten Salt Reactor (PLTT)

1,3X         Biomass/Biofuel
7X            Solar PV (Surya)
10X          Natural Gas (Gas alam)
18X          Wind (Angin)
80X          Nuclear (PWR)
80X          Coal (batubara)
100X        Hydropower (PLTA)
2000X      Nuclear (Th-MSR/LFTR) --> PLTT

Meningkatkan Subsidi Listrik

Konsumsi Listrik pada 2025 di perkirakan 600 TWh (terra watt hour) dimana sekitar 132 TWh (23%) adalah EBT dengan subsidi EBT diperkirakan Rp200/kwh maka dana yang harus di keluarkan negara  sekitar 26 triliun/tahun belum lagi subsidi listrik daya rendah dibawah 900 VA, yang tidak bisa di hindari Karena bagi masyarakat miskin menjadikan total subsidi dapat mendekati 200 triliun per tahun pada 2025 atau sekitar 10% dari APBN Indonesia.  -- Padahal dalam Nawacita, Presiden Jokowi sudah mencanangkan penurunan subsidi listrik, justru ESDM malah mencoba untuk menaikan subsidi tersebut artinya melanggar Nawacita.

Guru Besar Fisika Nuklir ITB, Prof Dr. Abdul Waris menyampaikan dalam sebuah diskusi :

Beberapa kendala yang cukup berat terkait pengembangan EBT non-nuklir di Indonesia adalah potensi yang kecil dan tersebar, investasi yang tinggi dan letak kebutuhan energi jauh dari lokasi potensi energi, serta kelayakan teknologi yang masih dipertanyakan untuk beberapa sumber. Akibatnya biaya produksi listrik akan besar, dan akan memaksa pemerintah untuk memberikan subsidi agar harga jual listrik sesuai dengan daya beli masyarakat luas.  Oleh karena itu untuk menghasilkan energi listrik yang murah  hanya mungkin direalisasikan dengan memanfaatkan energi nuklir sebagai sumber energi utama dan didukung oleh sumber EBT yang lain

Problem berikutnya adalah belum jelasnya mekanisme pembayaran subisidi EBT ini karena belum di bahas dengan kementrian keuangan. PLN jelas hanya ingin membeli Listrik pada angka keekonomisan yaitu 9 sen/kwh maka bila ESDM memerintahkan untuk membeli ET dengan FIT maka harus ada subsidi yang jelas apakah ke PLN langsung sebagaimana subsidi Listrik daya rendah atau seperti yang di usulkan oleh ESDM melalui sebuah badan khusus yang membeli Listrik ET dan kemudian badan ini menjualnya ke PLN pada nilai keekonomisan. – Jelas usulan ESDM ini akan menambah panjang rantai suplai dan peluang permainan. 

Petunjuk Wakil Presiden

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam Seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi yang di hadiri oleh seluruh stake holder energi di Hotel Borobudur, pada tgl 14 April 2015 memberikan petunjuk yang sangat jelas tentang diversifikasi energi yaitu : Bersih, Murah dan Mudah. -- Jelas dari kriteria ini, Angin dan Surya jelas tidak murah, batubara tidak bersih, Geothermal bersih tapi tidak murah -- secara objektif yang masuk kriteria tersebut hanyalah hydro dan nuklir.

Sebenarnya masih dapat di perdebatkan apakah hydro dapat sustain, karena kita tahu bagaimana hampir 40% waduk di Indonesia mengalami penurunan debit air yang akan berdampak kepada menurunnya produksi listrik. Tapi hal tersebut tidak perlu kita bahas dalam tulisan ini. -- artinya yang benar-benar sustain, Bersih, Murah dan Mudah hanyalah Nuklir.

Dapatkah mengandalkan hydro dan nuklir sebagai bauran energi utama untuk hasilkan energi bersih dan murah ?

Sangat bisa. Perancis, 78% nuklir + 11% hydro dan Swiss 40% nuklir + 54% hydro -- terbukti bahwa kedua negara tersebut di EU yang menghasilkan emisi CO2 terendah di Eropa dengan tarif listrik termurah (dibawah rata-rata EU) sementara jerman dengan bauran angin + surya tertinggi di eropa justru penghasil CO2 tertinggi di negara-negara EU dengan tarif listrik termahal, diatas rata-rata EU.

Bila di lihat di atas maka EROI tertinggi adalah Hydro dan Nuklir (Th-MSR) maka sangat rasional bila kedua sumber tersebut menjadi komponen terbesar dalam bauran energi, seperti kasus Perancis dan Swiss maka secara rata-rata dapat memberikan tarif listrik yang murah bagi masyarakat.

Kesejahteraan Tergantung Kepada Energi.

Keruwetan permasalahan energi ini terjadi karena indonesia terjebak dalam permainan negara maju,  dengan komitmen Indonesia pada COP15 dan di perkuat di COP21 pada Desember 2015 untuk meningkatkan EBT, atau dengan kata lain membeli Listrik di kisaran 15 – 20 sen/kwh tentunya bagi negara2 maju yang GDP per kapitanya sudah di atas USD 10,000 tidak menjadi masalah tetapi bagi Indonesia dengan GDP per kapita masih dikisaran USD 3000 bahkan belum tembus dari perangkap middle income trap (di bawah USD 4000 per capita) akan sangat memberatkan ekonomi dan khususnya masyarakat. – ini akan membuat Listrik “tidak terjangkau” atau gap antara GDP per kapita dan harga Listrik melebar.  Untuk sebuah ekonomi menjadi kuat dan miliki daya saing maka gap antara GDP dan harga Listrik harus kecil, sebagaimana Singapore, Malaysia dan Thailand (lihat gambar bawah)

 

Artinya keinginan Indonesia menjadi good global citizen tetapi mengorbankan pertumbuhan ekonominya sendiri. Cina dan India mengambil posisi lain, yaitu "Grow first then clean up later"sehingga saat ini ketika Cina dan India sudah tumbuh menjadi sebuah kekuatan ekonomi barulah cina dan india mulai melakukan bersih-bersih. Tidak dapat di pungkiri bahwa energi murah adalah komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

Bahkan kekesejahteraan (prosperity) oleh para ahli dapat di ukur dalam kwh per capita yang berada pada minimum 2000 KWh/capita sedangkan Indonesia saat ini masih berada pada kisaran 800 kwh/capita bandingkan dengan Malaysia pada kisaran 4000 kwh/capita dan Singapore 8000 kwh/capita.

Sederhana saja untuk meningkatkan kesejahteraan Indonesia perlu meningkatkan elektrifikasi secepat mungkin dengan harga murah tapi bersih. Sebuah pertanyaan yang juga di tanyakan oleh Bill Gates dan dijawab dengan mukjizat energi -- Gimana ??

 

 

Nuklir sebagai solusi  Energi Murah dan Bersih.

Bila ESDM dan DEN melihat energi bersih bukan hanya Angin, Surya, Panas Bumi, Microhydro yang semuanya subsidi FIT dengan harga mahal tetapi juga Nuklir sebagai komponen Energi Baru, khususnya Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) yang dapat memanfaatkan Thorium yang ketersediannya di Indonesia cukup berlimpah, diduga cukup untuk 1000 tahun. TMSR sekarang menjadi popular sebutan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium).

Bahkan Menteri Perindustrian, Saleh Husin adalah salah satu pendukung pertama pembangunan PLTT yang di anggap dengan biaya produksi listrik murah dan dalam skala besar PLTT dapat menjadi solusi untuk kebutuhan energi bagi industri.

Baca :Menperin Saleh Husin Wacanakan Pembangkit Listrik Pakai Thorium

Salah satu kekuatiran tentang Nuklir sesungguhnya melekat pada desain reaktor dengan pendingin air yaitu tipe PWR (Pressurised Water Reactor) dan BWR (Boiling Water Reactor) yang mana aspek kekuatiran tersebut tidak ada pada reaktor jenis MSR dengan keselamatan melekat (inherently safety).

Kesederhanaan desain TMSR dengan bahan bakar cair membuat capital cost dan operation cost yang sangat murah di banding jenis reaktor manapun, bahkan dapat bersaing dengan PLTU Batubara. Salah satu pengembang TMSR asal Amerika Thorcon Power mengklaim biaya produksi listrik pada kisaran 3 sen/kwh, artinya tanpa harus ada FIT (Feed-in-Tariif) atau bentuk subsidi apapun dan biaya pembangunan sekitar $1/watt, lebih murah dari PLTU. 

Baca : Thorium Energy Report 2015, laporan ringkas tentang pengembang MSR di dunia.

Dengan angka seperti itu maka tidak perlu ada dikotomi antara listrik murah versus listrik bersih, yang identik mahal, tidak perlu ada. PLN di untungkan, ESDM dapat memenuhi target penurunan emisi sesuai kesepakatan COP21 dan yang terpenting kapasitas terpasang dapat di kejar dalam skala 10 - 15 GW/tahun -- everybody happy.

Menurut Dr. Mathias Krause, dari IAEA (Badan Nuklir Dunia) yang menjadi nara sumber pada FGD Thorium di BATAN mengakui keunggulan Thorium sebagai bahan bakar nuklir di banding Uranium dan kepada penulis mengatakan bahwa sudah ada 22 negara mengajukan permohonan kepada IAEA, termasuk perusahaan Nuklir milik Bill Gates, untuk IAEA membuat guidelines untuk membantu proses lisensi TMSR artinya sederhana dalam waktu kurang dari 10 tahun sudah akan beroperasi TMSR di dunia.

Bahkan saat ini, salah satu pengembang MSR asal Canada, Terrestrial Energy, sudah memasukan aplikasi untuk pre-licensing pada regulator nuklir Canada dan di harapkan akan beroperasi pada pertengahan 2020'an.

Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT)

Di Indonesia kerjasama pengembangan dan pembangunan PLTT tersebut sudah di tanda tangani melalui MOU antara konsorsium BUMN, yang di motori oleh PT Industri Nuklir Indonesia (INUKI) dan sebuah perusahaan pengembangan TMSR asal Amerika, Martingale Inc yang di kenal dengan Thorcon Power. -- TMSR adalah sebuah tipe reaktor yang sudah dibangun pada tahun 60'an dan beroperasi selama 20,000 jam tanpa masalah, artinya TMSR adalah teknologi proven.

Bahkan konsorsium BUMN ini telah melakukan kajian kesiapan teknologi, keselamatan dan keekonomisan dari TMSR desain Thorcon yang dianggap sangat siap dan aman dengan tingkat keekonomian yang tinggi sehingga layak untuk di kembangkan di Indonesia untuk dapat memenuhi 20% pertumbuhan kebutuhan listrik Indonesia yang 6 - 7 GW per tahun dan tentunya penghematan uang negara dalam bentuk subsidi EBT Rp106 Triliun/tahun karena PLTT tidak perlu di subsidi.

Menurut rencana tahun ini konsorsium akan memasukan aplikasi untuk memulai proses pre-lisencing ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan bila semua lancar maka pada tahun 2018 sudah akan di bangun prototipe PLTT skala 500 MW. Sehingga pada tahun 2022 sudah dapat beroperasi secara komersial menghasilkan listrik bersih dan murah. --  Bila hal ini terjadi maka merupakan prestasi bagi Indonesia, karena akan menjadi MSR di pertama di dunia yang beroperasi. Setelah 2022 setiap tahun dapat dibangun 1000 MW.

Dan dengan adanya sebuah Undang-undang (UU no 17 tahun 2007), Peraturan Pemerintah (PP No 14 tahun 2015) dan Peraturan Presiden (Perpres No 2 tahun 2015) maka seharusnya Pemerintah tidak perlu ragu-ragu lagi karena sudah memiliki payung hukum yang kuat  untuk mengimplementasikan PLTT sehingga dapat merealisasikan cita-cita Soekarno lebih dari 57 tahun yang lalu ketika mencanangkan program rencana pembangunan reaktor nuklir pertama di Bandung.

"Untuk menjadi negara besar Indonesia harus menguasi teknologi Nuklir dan Antariksa"(Soekarno, 1957)

Point terakhir adalah Kedaulatan & Ketahahanan Energi yang menjadi cita-cita nawacita hanya dapat tercapai dengan pemanfaatan Thorium :  Dengan sumber daya 1000 tahun (sustainability), capacity factor 90% (reliability), harga listrik sangat murah (Affordability) menjadikan Thorium sebagai kandidat utama bagi Kedaulatan dan Ketahananan Energi sebuah cita-cita dari semua bangsa di Dunia.  -- BSE

Bob S. Effendi. February 2016

penulis bersama Dr. Mathias Krause, IAEA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun