ESDM Menghambat Pembangunan Nasional
Sebenarnya bila di analisa dalam ESDM sendiri, terjadi perbedaan pandangan antara ditjen kelistrikan dimana targetnya adalah tingkat elektrifikasi skala besar dan listrik murah sementara ditjen EBTKE adalah maksimalkan energi terbarukan minimal 25% pada 2025 yang rata-rata di atas nilai keekonomisan PLN yaitu 9 sen/kwh yang sebagian besar terdari angin (18 – 20 sen/kwh), surya (25 sen/kwh), microhydro (12 sen/kwh) dan geothermal (12 – 15 sen/kwh) yang mahal dan di subisidi yang akan mendongkrak harga Listrik. – Harga Listrik mahal tentunya akan menghambat pembangunan, hal ini sudah menjadi fakta yang tidak dapat di sangkal lagi.
Hal inilah yang selalu di keluhkan oleh Kementrian Perindustrian yang akhirnya berdampak kepada daya saing industri nasional yang merosot di  antara negara2 ASEAN bahkan kontribusi industri terhadap GDP yang terus merosot sejak 15 tahun yang lalu sehingga pada tahun 2015 berada pada kisaran 18%.  Kementrian Perindustrian menyadari betul bahwa tanpa adanya nuklir maka tidak akan tercapai elektrifikasi skala besar dengan biaya murah maka dalam PP No 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), Nuklir di masukan sebagai Industri Andalan Nasional.
Sesungguhnya Nuklir sudah merupakan amanat UU No 17 tahun 2007  tentang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN 2005 - 2025) dan  Perpres No 2 Tahun 2015tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN 2015 - 2019) dimana di jabarkan bahwa PLTN harus di bangun antara 2015 - 2019. Sudah merupakan kewajiban setiap kementrian dalam membuat RENSTRA 2015 - 2019 harus mengacu kepada RPJMN 2015 - 2019.
"Sasaran peningkatan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) terdiri atas: (i) bauran EBT sebesar 10-16 Persen; (ii) kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT (PLTP, PLTA, PLTMH, PLTS, dan PLT Biomassa) sebesar 7,5 GW; (iii)pelaksanaan pilot project reaktor daya PLTN dengan kapasitas minimal 10 MW; (iv) pelaksanaan pilot project pembangkit listrik tenaga arus laut minimal 1 MW." (RPJMN 2015 - 2019 | hal 219)
Bila ESDM tidak memasukan Nuklir dalam RUEN, RUKN dan RUPTL bukan saja melanggar UU No 17 tahun 2007 tetapi ESDM menghambat Pembangunan Nasional, karena cetak biru Pembangunan Nasional adalah RPJMN. -- Bahkan Kementrian Ristekdikti dan Perindustrian sudah memasukan Nuklir kedalam RENSTRA mereka, tentunya sudah melalui sebuah proses kajian yang komprehensif.
ESDM juga tidak dapat berlindung di balik PP No 79 tahun 2014, dengan selalu mengatakan "opsi terakhir". Â Karena faktanya sudah ada PP dan Perpres terbaru sesudah 2014 yang sudah memasukan nuklir dalam timeline yang jelas yaitu 2015 - 2019 maka seharusnya ESDM mengacu kepada PP yang terbaru bukan PP 79 tahun 2014.
Sangat sulit di nalar mengapa ESDM masih menolak masuknya nuklir dalam RUPTL, payung hukum sudah jelas dan DPR pun sudah melihat pentingnya nuklir guna meningkatkan ketahanan dan kemandirian di sektor energi nasional.
Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W. Yudha ketika  mengadakan Raker dengan Menteri Riset dan Dikti, Muhammad Nasir pada 10 Juni 2015.  -- Bahkan belum lama ini, dalam Raker Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM pada 3 Februari 2016, dengan tegas Kurtubi mengatakan DPR  mendukung pembangunan PLTN.
Baca : DPR Dorong Pembangunan PLTN.
"Oleh karena itu, Komisi VII DPR akan MENDESAK pemerintah untuk membuka peluang pembangunan pembangkit listrik tenaga NUKLIR (PLTN)...Jangan hanya karena satu atau dua orang anggota DEN, negeri besar ini di sandera. Padahal kita butuh listrik secepatnya dan sebanyak-banyaknya untuk mendukung besar ini menjadi negara maju. TANPA NUKLIR SUSAH" (Kurtubi, Komisi VII DPR)
Jelas dari pernyataan Kurtubi di atas, apa permasalahan nuklir sebenarnya.Â
Permasalahan Energi Terbarukan