Mohon tunggu...
boa falakhi
boa falakhi Mohon Tunggu... Administrasi - Cakrawala di atas awan

Analis Kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama sebagai Energi Pembebasan

1 April 2018   17:12 Diperbarui: 1 April 2018   17:50 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan itu agama merasa menjalankan misinya dengan sarana yang sesuai dengan zaman, dan perlu diwaspadai juga bhawa tanpa disadari yang terjadi seringkali persis sebaliknya yaitu emosi religius hanya dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk menggeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka dengan kemeriahan simbol-simbol fisik material keagamaan yang meriap di masyarakat yang mana belum tentu menunjukkan kualitas peran dan pengaruh agama yang sesungguhnya.

Bahaya dari hal semacam ini adalah bahwa penghayatan religius cenderung berhenti pada taraf simbiolisme yang dangkal. Dimana pada awalnya hanya dikira sebagai proses intensifikasi religiusitas, akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah justru proses pendangkalan atau dengan kata lain, orang merasa cukup religius hannya dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan itu, dan agama sebagai institusi/lembaga merasa kokoh dengan melihat betapa meriahnya simbol-simbol keagamaan itu digunakan oleh umatnya. Pada kenyataan seperti ini dapat mengecoh dan melemahkan kepekaan kita terhadap kemungkinan adanya persoalan-persoalan mendasar dan substansial dalam hidup beragama di zaman modern seperti ini.

Sebetulnya memang sangat banyak persoalan yang masih harus diselesaikan oleh kaum agamawan di sekitar hubungan antara penghayatan religius otentik dengan paradigma zaman, bila agama memang mau berperan pada taraf struktural.

Soal memenuhi tuntutan di zaman modernisasi bukan berarti memordenkan model pakaian keagamaan atau menggunakan teknologi media modern dalam berdakwah, melainkan dalam hal mennyesuaikan penghayatan agama dengan pola pikir dan struktur mentalitas modern. Hal ini menjadi suatu keharusan yang tak terelakkan, sebab modernisasi telah demikian jauh meresapi segala sektor kehidupan. Modernisasi telah menjadi relaitas dalam kehidupan sehari-hari. Bersikap anti terhadapnya dan berusaha mengisolasi diri daripadanya adalah sebuah ilusi naif yang mengnaskan.

Kritik Atas Paradigma Modern

Sistem-sistem pada gagasan modernisasi maupun pada tatanan sosial modern yang sebetulnya dilahirkan berdasarkanbasic trust atau kepercayaan dasar atas hal-hal tertentu. Beberapa pilar utama yang dibangun dan dipercaya untuk menopang modernisasi sebagai berikut:

Reflektivitas

Pada zaman modern sekarang ini, manusia menganggap kebenaran hanya bersifat sementara, sebab tiap-tiap kebenaran senantiasa terbuka bagi refleksi ulang dan gugatan kritis.

Pada dasarnya, reflektivitas itu melahirkan informasi dan penemuan-penemuan baru. Sebaliknya, segala informasi dan penemuan baru menentang kembali refleksi kritis atas segala dogma yang sempat dirumuskan. Dengan reflektivitas ini menghasilkan dua akibat penting yaitu tradisi lama yang ada semakin kehilangan otoritas dan keberan semakin kehilangan kepastian.

Semakin hilangnya otoritas dari tradisi dan kepastian atas kebenaran, menyebabkan peradaban modernisasi sangat diwarnaiskeptisisme atau penuh rasa keragu-raguan. Dapat dikatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang tidak punya akar, tidak memiliki visi yang jelas untuk masa depan. Manusia modern adalah manusia yang hidup hanya untuk masa kini, sikap yang penuh rasa curiga dan eksperimental ini memang bagus untuk perkembangan ilmu, namun itu semua tidak memadai untuk menghayati kehidupan itu sendiri.

Pada kenyataannya, segala gejala kekosongan batin dan kehampaan terhadap makna yang meriap di kalangan orang-orang modern. Manusia modern hidup bagaikan daun kering yang melayang-layang seturut terpaan angin, dan juga bagai orang yang senantiasa terus berjalan namun tidak jelas hendak mau kemana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun