Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bidan Nurhasanah (3)

21 April 2024   05:10 Diperbarui: 21 April 2024   06:21 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bu bidan Nurhasanah diolah menggunakan Ai Bing | Dokumen pribadi

Pak Badina, akhirnya pindah ke rumah dinas yang berada disamping puskesmas. Anak dan isterinya menyusul ke kampung transmigrasi tersebut. Pak Badrun, meminjamkan rumah dinas Mantri kepada pak guru baru. 

Pak Mantri Eko, kalau datang kekampung transmigrasi, tidurnya, numpang dirumah Babinsa, yang biasa dipanggil Pakde Gendon. Gendon panggilan anak Babinsa, yang nama sebenarnya Putra. Karena kebiasaan, anak tersebut menggelayut dipunggung Pakde Sadino, bu Bidan memanggil anak tersebut "gendon".

Hingga panggilan, pemberian bu Bidan Nurhasanah, menjadi lengket pada anak tersebut dan juga bapaknya dengan sebutan gendon.

"Kok aneh ya, Pak Babinsa, dipanggil Pakde Gendon, Ibu Gendon, dan Si Gendon?." tanya Pak Rohmat, dengan ekspresi geli.

"Bu Bidan yang kasih gelar Pak guru, anak itukan bulat, kalau turun dari jalan berbukit kecil, sambil menangis tak mengenakan pakaian, berlari mengejar bapaknya, yang menuju sumur, dibelakang tempat bersalin, yang ada didepan kita." Kata Pak Deny menunjuk, sebuah rumah kayu yang berada didepan mereka.

Udara disinikan sangat panas, dan gersang. Gendon, tidak tahan mengenakan baju dan celana. Dimalam hari saja, Pakde Sadino, sambil mengipasi anaknya, sambil mengalunkan tembang jawa. Sampai bocah kecil itu, tertidur dikaki bapaknya.

keduanya asik mengobrol diteras rumah. Sambil menikmati secangkir kopi hitam. Pak Guru Rohmat tinggal sendiri dirumah dinas kopel transmigrasi dan bertetangga dengan Pak Deny penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB).

"Kumaha Pak Guru, betah di dieu?." tanya Pak Deny dengan Sunda. 

"Apa artinya itu Pak Den?."

"Maap Pak Guru, saya lupa, kalau Pak guru, bukan orang Sunda." ucap Pak Deny sambil tertawa kecil.

Sampai larut malam, keduanya mengobrol diteras rumah. Berbagai cerita di kampung tersebut, telah didengar oleh Pak Rohmat, dari Pak Deny. Lelaki kurus itu, datang kekampung transmigrasi, bersama warga dari tanah kelahirannya di Jawa barat.

Boleh dikata, Pak Deny juga warga transmigrasi sekaligus petugas penyuluhan, berstatus pegawai negeri. Cuman, mengapa Isteri dan anaknya tidak mengikuti?. Mungkin saja, kondisi lingkungan kampung ini yang gersang, susah air dan tidak ada listrik, menjadi pertimbangan Pak Deny, tidak memboyong keluarganya ke Kalimantan.

***

Sekitar, satu jam, Pak Rohmat terlelap dalam tidurnya. Terdengar suara, seseorang memanggil namanya dibalik jendela. Suara tersebut setengah berbisik, pelan. Namun, terdengar pula ketukan pelan, di kaca jendela.

"Pak Rohmat..., Pak Rohmat!. Buka pintunya Pak Rohmat!." terdengar suara pelan memanggil namanya.

Pak Rohmat terbangun, matanya menatap jam dinding, menunjukkan pukul 02.oo wita, tengah malam. Bayang-bayang sumbu lampu tembok yang berbahan bakar minyak tanah, meliuk-liuk diatas meja di bilik kamar.

"Siapa.., Siapa ya?."

"Buka pintunya Pak Rohmat, saya bu Bidan."

"Oh, benar bu bidan?." terlihat Pak Rohmat ragu-ragu. Jangan-jangan itu hantu, atau makhluk halus yang ingin mengganggunya. Karena dikiri dan kanan rumah tersebut, dikelilingi oleh hutan lebat. Dan, buat apa juga Ibu Bidan Nurhasanah, malam-malam kerumahnya?.

Pak Rohmat, memberanikan dirinya turun dari dipan, tempat tidurnya. Berjalan pelan, menuju jendela kamar. Dan mencoba mengintip dibalik gorden jendela. 

Terlihat, seorang wanita muda berjilbab, mengenakan jaket panjang, berdiri di depan jendela. Ternyata, wanita tersebut adalah bu Bidan Nurhasanah.

"Sebentar bu, saya bukakan pintu." Pak Rohmat, buru-buru mengarah ke pintu, setelah memastikan kalau itu Ibu bidan. 

***

"Ada apa bu Bidan, Kok malam-malam kerumah?, ada yang bisa saya bantu?." tanya Pak Rohmat penasaran.

"Saya minta tolong sama Pak Rohmat, mengantarkan ke kampung sebelah, ada warga disana melahirkan. Dua orang menjemput saya, dan saat ini ada dirumah, cuman saya takut Pak Rohmat, karena tidak kenal mereka."

"Oh begitu, baik bu bidan, saya siap-siap dulu, cuman pakai motor, siapa kesana bu bidan?."

"Pinjam sama Pak Elfiduan, pakai motor dinas kepala unit pemukiman transmigrasi, Pak Badrun."

Singkat cerita, mereka berangkat berboncengan menggunakan motor Pak Badrun. Motor tersebut, memang digunakan sebagai inventaris kampung, dan sengaja di tinggal oleh Pak badrun.

Pak Rohmat, ditengah kegelapan mengikuti arah motor dua warga kampung sebelah yang menjemput, karena isterinya melahirkan. Arahnya ke luar jalan pemukiman transmigrasi, dan menyusuri jalan besar, yang mengarah ke kampung tua.

Mereka tiba disebuah rumah berbentuk panggung, diujung kampung tua. Terlihat beberapa warga, berjaga di sekitar rumah panggung tersebut. Bu bidan dan Pak Rohmat, bergegas mengikuti warga kampung tersebut, menaiki anak tangga, dan memasuki kamar Ibu yang mau melahirkan.

"Tolong bu, anak saya mau melahirkan!. " seseorang wanita menaymbut bu bidan, penuh harap.

"Baik bu, tolong ibu temani saya, Pak Rohmat dan yang lain, silahkan tunggu di luar." ucap bu Bidan Nurhasanah.

Wanita muda yang mau melahirkan tersebut, berteriak kesakitan. Dari wajahnya, juga tersirat raut muka, ketakutan. Dibalik dinding rumah seperti ada yang mengintai, wanita yang mau melahirkan tersebut.

***

"Bu bidan..tolong saya bu!, saya takut!."

"Iya, yang tenang ya bu, atur napasnya, tidak usah panik." ujar bu bidan menenangkan wanita muda, yang mau melahirkan.

Sementara diluar kamar, Pak Rohmat merasakan suasana yang lain di rumah ini. Aura mistis, terasa kental menyelimuti rumah warga yang isterinya mau melahirkan.

"Kenalkan Pak, saya Pak boko, dan ini saudara saya, Pak Amir." pria yang berada didepan Pak Rohmat, yang duduk diruang tamu mengenalkan dirinya. 

Pria itu juga terlihat gelisah, sesekali dia menuju ke pintu, dan memperhatikan beberapa pria yang berjaga dibawah kolong rumah. Ornammen rumah tersebut memang berbeda, sejenis rumah-rumah yang berada di sulewesi. 

"Brakk!." tiba-tiba, mereka di kagetkan dengan suara yang menabrak dinding kamar, dimana isteri Pak boko mau melahirkan. Sekelebat bayangan hitam, berbentuk seekor kucing telah berada di hadapan mereka.

Pak Boko, dan pak Amir mencabut pisau badik dari pinggangnya. Pak Rohmat, juga ikut berdiri, didekat kedua pria tersebut.

"Siapa kamu!. Jangan ganggu isteri saya, ku bunuh kamu!." teriak Pak Boko.

Kedua pria tersebut, menyerang seekor kucing dihadapan mereka. Anehnya, kucing tersebut bergerak dengan cepat, dan berada tepat diwajah Pak Amir. 

"Crekk!." Kucing hitam tersebut mencakar wajah Pak Amir.

"Aduh!, ah, Parakang sialan!." teriak Pak Amir. 

Keributan dari dalam rumah, membuat warga yang berjaga di bawah kolong rumah berlarian menaiki tangga. Mereka terkejut, melihat Pak boko dan Pak amir tengah berkelahi dengan seekor kucing.

Pak Rohmat, hanya terdiam, melihat kejadian aneh di depan matanya. Kucing hitam itu tak mempunyai ekor, dan matanya hitam bulat, dengan tatapan layaknya seperti manusia. 

"Kucing ini agak laen, pasti ini kucing jadi-jadian." 

Kucing hitam tersebut bergerak dengan gesit. Kedua pria tersebut, tak berhasil menangkap, bahkan melukainya. Bahkan, beberapa kali kucing tersebut, mencakar dan ingin melukai Pak Boko. 

Ketika warga ingin membantu kedua pria tersebut, kucing hitam tersebut melompat keatas lubang yang berada di sela-sela atap rumah, kemudian meloncat dan menghilang di kegelapan malam.

" Pak Amir, tidak apa-apa?." tanya warga yang berada di ruang tamu rumah panggung. Mereka melihat dari cakaran kucing hitam tersebut, darah masih keluar dari wajah Pak Amir.

Sesaat kemudian, terdengar tangisan bayi dari balik dinding kamar. 

"Alhamdulillah, isterimu melahirkan Daeng!."

"Iye."

"Selamat Daeng."

"Iye."

Warga yang berada dirumah tersebut, menarik napas lega. Isterinya, Pak Boko, akhirnya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan sehat.

***

Setelah bu bidan Nurhasanah selesai membersihkan bayi yang baru melahirkan, dan mengobati luka di wajah Pak Amir, akibat cakaran kucing jadi-jadian, mereka berpamitan.

"Terimakasih bu bidan, atas pertolongannya."

"Sama-sama pak, nanti anaknya, jangan lupa di vaksin, dan dibawa ke puskesmas."

"Iye bu bidan, iye.." jawab Pak boko, sambil membungkukkan badannya, memberi hormat pada bu bidan.

Sebelum mereka meninggalkan rumah tersebut, Pak Rohmat masih penasaran, dan bertanya tentang kejadian yang baru dilihatnya.

"Mohon maap, Pak Boko, tadi yang bapak sebut Parakang itu apa?."

"Itu makhluk jadi-jadian Pak Guru, akibat orang menuntut ilmu yang salah."

"Maksudnya?."

"Parakang itu, orang yang mengkaji ilmu buat kesaktian, bahkan juga bisa buat kekayaan. Dan supaya ilmunya tambah sakti, penganut ilmu parakang mengincar orang yang melahirkan atau baru melahirkan, orang sakit, dan juga wanita yang tengah haid. Jadi begitu Pak guru."

"Oh ia, kalau dikampung saya namanya Kuyang, Pak."

"Mungkin sejenis itu Pak, cuman ilmu parakang ini agak beda Pak."

Bu Bidan Nurhasanah, memberi isyarat mata ke pada Pak Rohmat, untuk mengakhiri pertanyaannya. Sejurus kemudian, ia tersenyum kepada para warga. Pak Rohmat, tak kuasa menolak tatapan mata bu bidan yang mengajaknya berpamitan dengan penghuni rumah dan warga yang berjaga disekitar rumah Pak Boko.

Pak Boko, memberikan uang, sebagai tanda terimakasih. Dan hasil kebun yang dipetiknya siang tadi, dan telah dipersiapkan, buat ibu bidan yang membantu persalinan isterinya. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun