Mohon tunggu...
Black Diamond
Black Diamond Mohon Tunggu... -

Warga biasa yang ingin berpartisipasi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Islam Intoleran vs Islam Toleran di Pilkada DKI Jakarta 2017

29 Maret 2017   10:49 Diperbarui: 29 Maret 2017   10:57 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sungguh miris melihat perkembangan umat Islam di Pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Umat Islam seakan terbelah menjadi 2 kelompok.

Kelompok pertama, sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kelompok Islam Intoleran, ada juga yang menyebutnya sebagai kelompok Islam Radikal.

Kelompok ini seakan adalah kelompok pemilik surga yang sangat yakin saat meninggal akan masuk surga. Mereka menganggap diluar kelompok mereka adalah penghuni neraka.  Orang yang berbeda agama dengan mereka, akan  mereka katai dengan sebutan kafir. Yang  sama-sama muslim pun jika berbeda pandangan politik dengan mereka akan disebut sebagai kaum munafik yang jenazahnya tidak boleh disholatkan.  Tidak hanya itu, ulama ataupun ustadz yang berbeda pandangan dengan mereka, tak segan-segan  dikatai sebagai ulama/ustadz sesat atau juga ulama/ustadz bayaran.  Bahasa yang digunakan cenderung provokatif.

Adapun kelompok kedua, sebagaian masyarakat menyebutnya Islam Toleran. Kelompok ini menghargai perbedaan agama, pendapat ataupun pandangan politik orang lain. Mereka menghargai kebhinekaan dan cenderung menjaga persatuan, terutama NKRI. Kata-katanya biasanya meneduhkan dan tidak provokatif, serta selalu menjaga kedamaian.

Termasuk kelompok manakah anda?

Berkacalah pada diri anda sendiri. Jika anda menganggap sebagai kelompok toleran, namun perkataan anda keras dan cenderung provokatif saat ada perbedaan pandangan dengan orang  lain, maka tanpa sadar anda pun termasuk ke dalam kelompok Islam Intoleran.

Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok

Terjadinya dua  kelompok Islam radikal dan toleran ini awalnya terjadi akibat kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. 

Satu kelompok menganggap Ahok melakukan penistaan agama Islam. Sedangkan kelompok yang lainnya menganggap Ahok tidak menista agama Islam.

Sebenarnya kasus ini, jika kita berada diposisi netral amatlah mudah. Kita akan tahu apakah Ahok menistakan agama ataukah tidak.  Dan siapa yang dianggap menistakan agama.

Saya akan buatkan satu contoh.

Kita buat surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum sebagai pertanyaan untuk  anak sekolah setingkat SD ataupun SLTP. Saya memilih siswa SD dan SLTP karena saya anggap mereka masih polos dan belum tercemar urusan politik.

Kata-kata Ahok yang ada dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut :

"Ini pemilihan kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalankan dengan baik pun, bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur, jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi enggak usah pikiran ah nanti kalau enggak kepilih pasti Ahok programnya bubar. Enggak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, ya kan, dibohongi pakai surah Al-Maidah 51, macam-macam itu, itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka, karena dibodohin gitu, ya enggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa milih ahok, enggak suka sama Ahok nih, tapi programnya gw kalau terima enggak enak dong, jadi utang budi, jangan bapak ibu punya perasaan enggak enak, nanti mati pelan-pelan loh, kena stroke".

(Baca :Ini Surat Dakwaan Lengkap Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok)

Kita buat pertanyaan dan tanyakan kepada siswa SD ataupun SLTP .Pertanyaannya adalah :

Siapakah yang dianggap melakukan pembohongan pakai surat Almaidah 51 pada kata-kata Ahok tersebut?

a. Ahok

b. Orang lain

c. Bapak dan Ibu yang ikut program Ahok

Jika siswa SD dan SLTP saja bisa menjawab dengan benar, maka untuk sekelas Anies Baswedan yang berprofesi sebagai dosen dan juga mantan Menteri Pendidikan, seharusnya lebih mengetahui siapakah yang dianggap melakukan pembohongan dengan memakai surat Almaidah 51. 

Seharusnya Anies mampu menengahi persoalan tersebut dengan baik dan bukannya seolah-olah justru terlihat memanfaatkan kasus tersebut agar bisa menjadi gubernur.  Jika Anies mampu menengahi, justru akan menjadi langkah yang sangat elegan bagi Anies Baswedan. Mungkin tidak hanya mendapat simpati dari masyarakat, tetapi jg akan mendapat simpati dari Ahok.

Agar Tidak Mudah Dibohongi.

Jika kita tambahkan pertanyaan lainnya pada kasus tersebut, misalnya : Bagaimana caranya agar kita tidak dibohongi ? Maka jawabannya adalah  kita harus mempelajari kandungan dan isi surat Almaidah 51 tersebut.

Jujur saja, bagi saya, pernyataan Ahok sama sekali tidak menistakan agama Islam. Justru saya sangat berterima kasih, karena dengan pernyataan Ahok tersebut saya jadi lebih mempelajari surat Al Maidah 51 tersebut. Selain agar dapat mengerti, memahami dan mengamalkannya, juga supaya saya tidak dibohongi oleh orang yang menggunakan surat Al Maidah 51 demi kepentingan dirinya maupun kelompoknya saja.

Polemik surat Al Maidah selalu berulang pada saat Pilkada, terutama saat ada calon yang beragama non Islam.  Salah satu kelompok Islam selalu mengatakan bahwa surat Al Maidah 51 adalah berisi tentang larangan memilih pemimpin non Islam. Sedangkan kelompok Islam lainnya mengatakan bahwa surat Al Maidah tidak ada hubungannya dengan pemilihan pemimpin.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini masyarakat bisa melihat bahwa ada kelompok Islam yang menggunakan surat Al Maidah : 51 sebagai dasar melarang memilih pemimpin non Islam.  Mereka menganggap bahwa surat Al Maidah 51 berisi larangan dari Allah SWT yang melarang memilih pemimpin non Islam.

Anggapan terhadap surat Al Maidah:51 ini pula yang selalu menjadi dasar bagi mereka untuk mengkafirkan pengikut agama lain dan mencap umat muslim lainnya sebagai kaum munafik yang jika meninggal jasadnya tidak boleh dishalatkan.

Benarkah Surat Al Maidah berisi tentang perintah Allah SWT mengenai larangan memilih pemimpin kafir?

Saya pernah membuat tulisan mengenai benarkah surat Al Maidah 51 tentang pemilihan pemimpin?. (baca :Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Ahok Bukan Fatwa, Benarkah Surat Al Maidah Ayat 51 tentang Pemilihan Pemimpin?)

Pada tafsir Ibnu Katsir, kata awliya diartikan sebagai wali dan pada terjemahan Kementrian Agama RI Indonesia edisi terbaru terbitan tahun 2002 awliya diartikan sebagai teman setia. Pada tafsir terbitan kerajaan Arab Saudi, Madinah Al Munawarah (The Noble Quran) kata awliya diartikan teman, pelindung, penolong (friends. protector, helpers). Tafsir terbitan lainnya (The Glorius Koran) mengatakan bahwa awlia adalah teman (friends). (baca :Terjemahan Surat Al Maidah 51 menurut tafsir Jalalain dan Departemen Agama)

Memang Departemen Agama RI pada tahun 1967 pernah mengartikan awliya pada surat Al Maidah 51 sebagi pemimpin.

Namun arti awliya sebagai “pemimpin” diterbitan tahun 1967 inipun sudah direvisi (dilakukan penyempurnaan dan perbaikan) oleh Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2002 menjadi “teman setia”.

Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator. (baca :Soal Terjemahan Awliyâ Sebagai ‘Teman Setia’, Ini Penjelasan Kemenag)

Ini berarti para ulama dan para ahli dibidangnya menganggap kata "pemimpin" dianggap kurang cocok, sehingga dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dengan mengganti kata pemimpin dengan teman setia.

Artinya terjemahan Al Quran Departemen Agama pun sudah tidak lagi mengartikan awliya sebagai pemimpin.

Saksi ahli KH Ahmad Ishomuddin : Menurut tafsir saya, dari ratusan kitab tafsir, tidak satupun memiliki makna pemimpin

Kutipan berita kompas.com :

Saksi ahli yang memberi keterangan pada sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama, KH Ahmad Ishomuddin, menyatakan bahwa kata "aulia" dalam Surat Al Maidah ayat 51 lebih banyak ditafsirkan sebagai teman setia.

Ahmad Ishomudin merupakan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta sekaligus dosen Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan, Lampung, yang dihadirkan tim kuasa hukum terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam sidang, Selasa (21/3/2017).

"Berdasarkan tafsir yang saya tahu, aulia itu teman setia. Kalau ada yang menerjemahkan sebagai pemimpin, silakan.Tetapi, menurut tafsir saya, dari ratusan kitab tafsir, tidak satupun memiliki makna pemimpin," kata Ahmad, dalam sidang yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017) siang. (baca :Saksi Ahli Jelaskan Tafsir Al Maidah Ayat 51 dalam Sidang Ahok)

Tafsir apa yang mereka gunakan sebagai landasan bahwa surat Al Maidah 51 berisi tentang larangan memilih pemimpin non Islam?

Saya telah membaca beberapa tafsir, dan juga membaca kesaksian KH Ahmad Ishomuddin yang mengatakan bahwa, “, dari ratusan kitab tafsir, tidak satupun memiliki makna pemimpin”.

Untuk itu saya mencoba mencari tahu tafsir apa yang mereka gunakan sebagai landasan bahwa surat Al Maidah 51 berisi larangan dari Allah SWT untuk memilih pemimpin kafir.

Kesaksian Irene Handono

Pada saat ditanya hakim di sidang kasus dugaan penistaan agama, Irene Handono (saksi pelapor) menjawab bahwa terjemahan (tafsir) yang ia gunakan adalah terjemahan Al Quran Cordoba dan Departemen Agama.(baca :Tunjuk-tunjuk Ahok, Irene Handono Diperingatkan Hakim)

Padahal terjemahan terbaru Al Quran Cordoba dan Departemen Agama arti awliya di surat Al Maidah : 51 adalah teman setia. 

Apakah Irene Handono dan yang lainnya tidak mengetahui bahwa terjemahan terbaru Al Quran Cordoba dan Departemen Agama mengartikan awliya sebagai teman setia dan bukanlah pemimpin?

Bahkan di laman qurancordoba.com pada tanggal 25 Desember 2016 terpampang jelas tentang Siaran Pers Kementerian Agama : Terkait Terjemahan ‘Awliya’ Sebagai ‘Teman Setia’. (baca :Siaran Pers Kementerian Agama : Terkait Terjemahan ‘Awliya’ Sebagai ‘Teman Setia’Ini Penjelasan Kemenag)

Saya berfikir pastilah mereka tahu bahwa kata awliya pada terjemahan Al Quran Cordoba dan Departemen Agama sudah bukan lagi berarti pemimpin.  Namun mereka tetap bersikeras bahwa arti awliya adalah pemimpin dan bukanlah teman setia..(baca : Ubah Tafsir Al Maidah 51, Menag Didesak Tarik Alquran Cordoba)

Ini membuktikan bahwa terjemahan Al Quran yang digunakan oleh Irene Handono pun tidak mengartikan awliya sebagai pemimpin.Tetapi mengartikan awliya sebagai teman setia.

Kesaksian Habib Rizieq

Kutipan berita di detik.com :

Imam besar FPI Habib Rizieq Syihab, yang dihadirkan sebagai saksi ahli agama dalam sidang dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjelaskan maksud kata 'aulia' dalam Surat Al-Maidah ayat 51. Menurut Rizieq, ahli tafsir salaf sepakat bahwa kata 'aulia' setidaknya memiliki lima pengertian.

Hal tersebut disampaikan Rizieq saat bersaksi di auditorium Kementerian Pertanian, Jl RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2017). Lima pengertian tersebut adalah 'teman setia', 'orang kepercayaan', 'penolong', 'pelindung', dan 'pemimpin'.

"Kenapa mereka tidak berbeda pendapat, pertama, kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin. Kenapa, setiap teman setia belum tentu jadi pemimpin, tapi setiap pemimpin wajib jadi teman setia orang yang dipimpinnya," ujar Rizieq.

"Pemimpin harus jadi teman setia rakyatnya.Begitu pun dalam konteks orang kepercayaan.Jadi pemimpin ini artinya lebih tinggi. Kalau jadi pelindung dan penolong umat Islam saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin," jelasnya.(baca : Di Sidang Ahok, Habib Rizieq Jelaskan Arti Aulia di Al-Maidah 51)

Saya akan mencoba membahas perkataan Habib Rizieq,  “kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin” Namun sebelumnya kita akan membahas surat Al Maidah ; 51 terlebih dahulu.

Kenapa Al Maidah 51 melarang umat Muslim menjadikan Nasrani dan Yahudi menjadi teman setia?

Jika kata awliya diartikan sebagaimana kisah penyebab turunnya surat Al Maidah ayat 51, yaitu :

Sebagai teman setia (tafsir Departemen Agama) untuk melindungi atau menolong mereka (friends/protector/helper – Tafsir The Noble Quran) dengan cara berpindah agama (melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan.-Tafsir Al Misbah)”. Jelaslah bahwa yang terlarang adalah menjadikan mereka sebagai teman setia (yang sangat dekat sekali sampai tidak ada perbedaan dan keyakinan atau sampai membuat kita berpindah agama dan meyakini agama mereka). Hal itulah yang terlarang.

Sedangkan jika hanya menjadikan teman saja tanpa meyakini keyakinan mereka (berpindah agama) maka itu tidaklah terlarang. (baca :Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Ahok Bukan Fatwa, Benarkah Surat Al Maidah Ayat 51 tentang Pemilihan Pemimpin?)

Disini sebenarnya jelaslah bahwa umat Islam hanya dilarang menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai teman setia karena dikhawatirkan karena kesetiaan kita, maka kita akan meyakini keyakinan dari teman setia kita tersebut dan kemudian berpindah ke agama teman kita itu.  Sedangkan jika kita hanya berteman saja dan tidak meyakini keyakinan agama teman kita tersebut maka tidaklah dilarang.

Jadi ayat ini tentang pertemanan dan batasan-batasan pertemanan dalam keyakinan beragama. Bukan tentang pemilihan pemimpin.

Perkataan Habib Rizieq; “kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin.” Mengandung pengertian bahwa dia sebenarnya juga mengakui bahwa kata awliya pada surat Al Maidah 51 artinya adalah  teman setia dan bukanlah pemimpin.

Namun dia menekankan bahwa  “kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin.” 

Perkataan “kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin.” Jelas adalah pengertian yang salah jika didasarkan pada surat Al Maidah 51.

Jika kita mendasari pada Al Maidah 51, teman setia tingkatannya lebih tinggi dari pemimpin. Karena jelas teman setia dapat lebih mempengaruhi keyakinan kita dibandingkan dengan pemimpin.

Pemimpin yang beragama Nasrani ataupun Yahudi, baik itu pemimpin dalam kenegaraan ataupun pekerjaan sangat jarang membuat kita menjadi berpindah keyakinan.  Tetapi teman setia kita akan sangat mudah mempengaruhi keyakinan kita.  Dan kesetiaan kita tersebut bisa lebih mudah mengubah pandangan keyakinan agama kita dan meyakini keyakinan mereka.

Kelompok yang mengatakan bahwa surat Al Maidah 51 adalah berisi larangan Allah SWT untuk memilih pemimpin kafir harus dapat membuktikan dengan dalil yang benar. Yang bersumber dari Al Quran dan Hadist.  Bukan hanya bersumber dari perkataan seorang manusia saja.

Sayangnya orang-orang yang dianggap yakin dan mampu menjelaskan bahwa surat Al Maidah 51 tentang larangan memilih pemimpin non Islam, justru di persidangan malah makin membuktikan bahwa surat Al Maidah bukanlah tentang pemilihan pemimpin.

Perkataan “kalau menjadi orang setia atau orang kepercayaan saja tidak boleh, apalagi jadi pemimpin.” Jelas hanya perkataan dari Habib Rizieq dan bukan dari Allah SWT yang tercantum dalam surat Al Maidah 51.

Larangan menjadikan orang orang Alim sebagai tuhan selain Allah.

Ada kisah menarik yang pernah saya baca yang ada hubungannya dengan tulisan ini, yaitu tentang larangan menjadikan orang  - orang Alim sebagai tuhan selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat At Taubah ayat 31 :

(اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31).

Dan ketika Adi bin Hatim radhiallahu’anhu mendengarkan ayat ini, ia berkata: “wahai Rasulullah, sebenarnya kami tidak menyembah mereka”. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

(أليسوا يحلّون ما حرَّم الله فتحلّونه ويحرِّمون ما أحلَّ الله فتحرِّمونه قال: بلى. قال فتلك عبادتهم)

bukanlah para rahib itu menghalalkan yang Allah haramkan dan pengikutnya ikut menghalalkannya, lalu para rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu para pengikutnya mengharamkannya?”. Hatim menjawab: “Ya”. Rasulullah bersabda: “Maka itulah bentuk penyembahan mereka“.

(Baca :Kembali kepada dalil ketikaberselisihpendapat)

Penjelasan dari kisah tersebut adalah,

jika ada orang-orang alim (Ulama, Habib, Rahib, dll)  yang menghalalkan sesuatu padahal Allah mengharamkannya dan pengikutnya ikut menghalalkannya atau sebaliknya jika orang-orang alim itu mengharamkan sesuatu padahal Allah menghalalkannya dan pengikutnya ikut mengharamkannya, maka oleh Rasulullah dianggap bahwa pengikutnya itu menyembah orang orang Alim tersebut dan bukan menyembah Allah.

Dan Allah menganggap mereka telah mempersekutukan Allah seperti yang dikatakanpadasurat At Taubah : 31

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhakdisembah) selain Dia.Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31).

Untuk itu, orang-orang yang menganggap haram memilih pemimpin non Islam harus dapat membuktikan dengan dalil Al Quran dan Hadis yang jelas dan benar.

Setelah kematian datang kepadamu.

Kembali ke masalah Islam Intoleran dan Islam Toleran. Di masyarakat khususnya di DKI Jakarta telah banyak terlihat spanduk penolakan untuk mensholatkan jenazah bagi  umat Islam yang mendukung calon gubernur yang beragama non Islam (Ahok)

Mereka juga menggunakan surat Al Maidah : 51 sebagai alasan menolak mensholatkan jenazah tersebut. Umat Islam yang mendukung Ahok mereka anggap sebagai kaum munafik karena memilih pemimpin kafir (non Islam).

Mereka  menganggap bahwa orang Islam yang tidak ikut melaksanakan “perintah” larangan memilih pemimpin kafir akan masuk neraka.

Jika kita menyimak firman Allah SWT pada surat At Taubah : 31 tersebut dan juga penjelasan dari Rasulullah tentang surat tersebut, yakinkah bahwa kamulah yang akan masuk surga? Ataukah malah kamu yang masuk neraka sedangkan orang yang tidak kamu shalatkan malah masuk surga?

Yakinkah bahwa kamu akan melihat Allah SWT yang tersenyum kepadamu. Ataukah kamu malah akan melihat betapa murkanya Allah kepadamu karena dianggap telah mempersekutukanNya?

Yakinkah bahwa bukan kamu yang disebut oleh Allah dalam surat At Taubah : 31 tersebut?  Ataukah sebenarnya Allah sedang membicarakan dirimu,  orang yang mempertuhankan orang-orang alim (Ulama, Habib, dll) karena telah ikut mengharamkan yang Allah halalkan dan menghalalkan yang Allah haramkan.

Jika jasadmu terbaring di liang lahat nanti. Dan kamu ditanya oleh malaikat tentang siapakah tuhan mu?  Apakah kamu yakin mulut, dan anggota tubuhmu yang lain akan mampu menjawab bahwa Allah adalah tuhanku.

BLACK DIAMOND

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun