Mohon tunggu...
Bambang Kuncoro
Bambang Kuncoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Wisdom. URL https://www.kompasiana.com/bkuncoro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Anggota Dewan Yang Terhormat

20 September 2019   13:52 Diperbarui: 20 September 2019   13:58 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshoot Apps GRATis milik KPK

@karniilyas : "Politisi itu seorang akrobat, Dia menjaga keseimbangan dg mengatakan yg berlawanan dg perbuatannya" A.M. Bares, jurnalis & politisi Prancis
 "Pagi Pak," senyumku kepada Bapak Satpam, sesaat setelah motor aku rem, sambil membuka kaca helm dan menurunkan penutup hidung.
 Dia membalas ku, "Mau kemana Mba?"
Aku pun pura-pura akrab & merajuk manja sambil menyebut tag nama di didadanya, "Aduh Pak Samsudin, masak saya sudah satu minggu tiap hari kesini belum apal juga," sambil sedikit menambah volume senyuman.
"Maaf Mba, mungkin yang bertugas disini berganti-ganti dan yang masuk kan banyak, kami tidak hapal."
Aku pun kembali menjawab, "Ini mau ke Media Centre."
"Mohon Identitas nya Mba."
Aku pun menunjukkan kartu tanda pengenal pers.  Kali ini aku tunjukkan kartu yang ku buat sendiri.  Di bawah foto ku tertulis "Citizen Pers, Journalist".  Sementara kartu pers dari media tempat aku kini bekerja sengaja ku simpan dulu.  Nanti kalau Pak Satpam sampai meragukan yang itu baru aku akan tunjukkan.  Memang sejak Presiden ke 3, B.J. Habibie melakukan reformasi pers secara radikal, kartu tanda pengenal pers sudah tidak terlampau sakti seperti dahulu.  Jika dahulu, seorang narsum (nara sumber) cukup jerih bila ditunjukkan kartu tanda pengenal pers, saat ini tidak demikian halnya.

Sebentar dia memeriksa.  Kemudian dia bertanya dengan nada pertanyaan basa basi saja bukannya curiga atau apa, "Jurnalist itu apa tho Mba?"  Aku sedikit lega karena aku pikir dia mau bertanya tentang Citizen Pers.  Lalu kujelaskan, "Ooh, Journalist itu wartawan Pak".  Kemudian dia mempersilahkan lanjut.

Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat ini sangat luas.  Untuk mencapai tempat parkir motor di belakang dibutuhkan waktu lumayan panjang.  Sambil ku naikkan kecepatan sampai tingkat yang masih wajar, aku bergumam dalam hati, "Ayo cepet, cepet, sudah terlambat nih."

Setelah aku lepas semua atribut berkendara motor, termasuk helm, pentup hidung, jaket, sarung tangan, dan kuletakkan di tempat masing-masing, maka aku bergegas sambil berlari kecil ke arah gedung timur.

Dengan bermanuver melewati orang-orang, aku sekelebat melihat beberapa anggota dewan penting.  Salah satunya aku melihat Bapak Alengka Sengkuni Udawa (untuk memudahkan dipendekkan dengan inisial, Bapak A), anggota dewan dari Partai Mangga Harum Manis.  Minggu-minggu ini Bapak A, berkali-kali menjadi narsum wartawan, karena pernyataannya sering kontroversial dan berbeda pendapat cukup tajam dengan Bapak Kumbakarna Indrajit Rahwana Indraprasta Kresna (untuk memudahkan dipendekkan dengan inisial, Bapak K), anggota dewan dari Partai Apel Fuji.  Kedua partai ini memang mempunyai platform yang berbeda cukup jauh.  Karena kehebohan yang diciptakan oleh anggota dewan A dan  K, aku menduga bahwa mereka akan masuk dalam salah satu topik rapat redaksi mini nanti.  

Pagi ini, kami enam wartawan dari media 'Itu Online' yang bertugas di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat memang akan mengadakan semacam rapat redaksi mini.  Biasanya dalam rapat redaksi akan ditentukan berita apa yang akan jadi fokus serta narsum yang mesti diwawancarai.  Aku berharap jika memang topik pilihannya para anggota dewan itu, aku yang akan ditunjuk untuk mewawancarai mereka berdua.  Paling tidak nanti aku coba ajukan diri.  

Oleh karena itu aku sempat mengikuti dengan ujung mataku arah perginya Bapak A, agar nanti aku tahu dimana mencarinya.  Karena pandanganku masih mencoba mengikuti kemana Bapak A menuju, tiba-tiba badanku terasa menabrak seseorang "Brak."  

Aku kaget, dan reflek meminta maaf sambil menundukkan kepala, karena sudah tentu aku yang salah dalam hal ini.  Dalam hatiku aku berkata jangan-jangan nanti dia bilang "Matamu dimana".  Tapi ternyata orang itu malah menyapa ku, "Lho Mbak Stefani lagi, toh..."  Aku pun mendongak dan melihat wajah seorang tua yang minggu lalu juga bertabrakan dengan ku "Eh...Pak..Pak.."

"Pak Tarno," sambarnya, "Ko sudah lupa toh"

"Eh iya Pak Tarno" jawabku ragu bercampur malu.

Minggu lalu saat aku pertama kali bertugas di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat aku sempet tabrakan dengan Pak Tarno, karena aku celingukan mencari Media Centre di lokasi baru ini.  Bawaan ku sempat berantakan dan Pak Tarno mambantu mengumpulkannya.  Setelah itu memang kami bertukar nama dan sedikit informasi.  Pak Tarno mengatakan bahwa dia adalah supir dari salah seorang anggota dewan.

"Mbak Stefani apa nyasar lagi," goda Pak Tarno.  

"Maaf Pak Tarno, bukan, itu tadi ada orang yang saya perhatikan," alasan ku.  

"Waduh, waduh Mba Stefani, pasti liat orang ganteng ya," canda Pak Tarno.

"Hi, hi, hi, Pak Tarno bisa aja, gantengan juga Pak Tarno" candaku membalasnya, mencoba mencairkan suasana hatiku sendiri.  "Oh iya Pak Tarno mau kemana" Kataku mencoba berbasa-basi.

"Biasa, kembali ke ruangan tunggu supir, habis beli biskuit untuk ganjel-ganjel kalau laper," jawabnya sambil menunjukkan sebungkus oreo yang di pegang.

"Baik Pak Tarno saya dulu ya" kataku untuk berpisah.

"Baik Mba, hati-hati, lihat jalan, he he he" balas Pak Tarno.

 "Hadueh, ada ada aja, mana udah telat lagi," gumamkku seraya kembali bergegas, karena Media Centre tinggal beberapa meter lagi.  Saat memasuki Media Centre ku lihat ada beberapa wartawan dari media lain sedang asik ngobrol di salah satu bangku.  

Media centre ini relatif nyaman di bandingkan media centre di tempat lain.  Suasana dan interiornya di disain seperti caf, dengan konsep co working space seperti yang lagi hits saat ini.  Penerangan yang pas, disemburkan oleh beberapa lampu model downlight yang cukup elegan.  Setiap meja dan di beberapa titik juga dipenuhi dengan banyak colokan listrik.  Katanya ini baru direnovasi dengan memakan banyak biaya.

Di ujung kanan Media Centre, setelah ruang konpers (konfrensi pers),  ada ruang diskusi yang telah kami booking untuk kami mengadakan semacam rapat redaksi mini.  Kini ruang diskusi itu sudah dihadapanku.  Aku berhenti sebentar sebelum mengetuk pintu sambil mengatur mental dan alasan.  Aku agak deg-degan karena keterlambatan ini merupakan kesalahan yang tentu bisa mengganggu kondite ku sebagai wartawan baru.  Sambil berharap mudah-mudahan tidak hanya aku saja yang terlambat, perlahan lahan ku ketuk pintu dan lalu ku buka gagang nya dengan hati-hati.  "Selamat Pagi" aku menyapa dengan nada rendah.  Kulihat di ruangan Pak Ontoseno lagi memberikan arahan, sedangkan Kusni, Airlangga dan Abigail memegang bolpoin dan buku.  Bram belum kulihat batang hidungnya.  Berarti dia lebih terlambat dari pada ku.  Aku bersyukur dalam hatiku, ada yg lebih terlambat.

"Masuk Stef, kita baru hanya membahas kembali tata tertib team kita di sini" kata Pak Ontoseno seperti nadanya di buat agak menyindir ku dengan pandangan mata agak kesal.  "Sambil menanti yang lain hadir lengkap,"  lanjutnya.  Aku berpikir dalam hati, maksutnya tinggal menanti si wartawan paling senior, Bram.  

Jika Pak Ontoseno tidak langsung menegur keterlambatan ku, bukan berarti aku harus bersyukur.  Justru aku harus curiga, Dia akan gunakan sebagai peluru dimana nantinya...

Energi dan antusiasme di ruangan itu terasa agak rendah.  Apakah karena efek kemacetan parah pagi ini atau karena teman-teman wartawan sudah cukup lama bertugas disini? Atau apakah karena faktor leadership? Entahlah, Aku perlu waktu untuk observasi lebih jauh nanti.  Mungkin yang level energi nya masih agak tinggi hanya aku, karena baru satu minggu disini.

Tidak beberapa lama kemudian kembali terdengar ketukan di pintu dan ketika pintu dibuka, si Bram muncul.  Setelah lengkap semua, kembali Pak Ontoseno, mengulang kembali pentingnya datang tepat waktu, sambil melihat ke kami berdua.  

Aku lirik wajah Abigail dibawah rambutnya yang di highlight bule terlihat kesal.  Aku rasa kekesalannya tertumpah kepada Aku dan Bram.  Mungkin Ia jengkel karena gara-gara kami berdua, dia harus mendengar pesan yang sama diulang-ulang.   Sedangkan Kusni dan Airlangga kulihat datar saja mukanya.  Masih ngantuk keliatannya.  

Setelah pesan tentang disiplin, selanjutnya pembahasan mengenai topik pilihan yang akan diliput dalam minggu itu.  Ternyata dugaan ku benar, yang menjadi topik utama adalah perseteruan antara anggota dewan Bapak A & Bapak K.  Pak Ontoseno menegaskan, "Contohnya wacana pemindahan Ibukota dan beberapa kontroversi lain."

Seperti biasa, yang lain tidak menunjukkan antusiasme, mereka hanya mendengar dari kuping kiri keluar kuping kanan.  Untuk itu aku mencoba menawarkan diri dalam hal peliputnya.

Namun Pak Ontoseno berkata lain. "Stefani kamu kan kurang disiplin dan masih baru, saya sih tidak menyarankan kamu untuk meliput topik ini.  Kamu kan dalam seminggu sudah 2 kali terlambat toh, untuk sementara sebagai masa percobaan kamu coba meliput tentang topik humanis saja."  

Aku berkata dalam hati, mending aku dimarahin saat masuk tadi dari pada kesalahan itu di bahas dan dikait-kaitkan dengan topik diskusi.  Tapi Aku hanya bisa diam saja. Akhirnya Bram & Kusni lah yang mendapat liputan itu. 

Masing-masing akan mewawancarai Bapak A dan K, supaya cepat terkumpul materinya.  Kemudian, Pak Ontoseno yang akan menggabungkannya.  Kecepatan dalam menyajikan berita sangat penting dalam bisnis kami.  Jika media lain yang lebih dahulu menyajikannya maka berita itu sudah menjadi basi.  

Sedangkan Abigail meliput tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perlindungan Anak.  Dan Airlangga meliput RUU KPK.  Semuanya, selain Aku, mendapat liputan yang sedang jadi topik hangat di masyarakat.

Hasil meeting membuyarkan rencanakku. Tadinya, jika aku yang mendapat tugas sebagai peliput topik utama ini, bisa dipastikan namaku akan semakin di kenal oleh rekan-rekan wartawan senior.  

Dengan masih agak kesal, aku menyingkir ke salah satu meja.  Baru sekarang aku merasa lapar.  Di meja kulihat sebungkus oreo dengan warna dan disain khasnya, biru muda, biru tua dan putih.  Tanpa bertanya-tanya lagi milik siapa, aku ambil saja satu dan segera kulahap.  Rasa biskuit kesukaan ku sejak kecil sedikit menenangkan suasana.  Lalu aku berpikir mencari siapa narsum untuk liputan humanis ini.  

Sambil terus berpikir, bungkusan biskuit yang aku mainkan di tangan mau tidak mau aku lihat secara teliti.  Ternyata mereknya bukan oreo, melainkan borneo.  Tiba tiba rasa biskuit yang tadinya enak jadi terasa aneh.  Bersamaan munculnya rasa aneh itu memicu munculnya ide narsum.  Aha, untuk liputan humanis ini narsum ku tidak lain Pak Tarno.  Maka aku segera berdiri, mencari air minum sebentar dan selanjutnya ke ruang tunggu supir.

Tidak berapa lama setelah bertanya kesana kesini, aku menemukan Pak Tarno di ruang tunggu supir.  Kemudian aku ceritakan tujuan ku untuk mewawancarainya.  Ia pun mengiyakan.  

Dari hasil wawancara itu, aku pun tahu cukup banyak kehidupan Pak Tarno.  Pak Tarno ternyata adalah supir anggota dewan Bapak A.  Sungguh sebuah kebetulan.  Pak Tarno mempunyai 7 orang anak, 6 perempuan dan yang paling kecil laki-laki.  Pada saat anak nya baru dua dan istrinya ingin berhenti melahirkan, Pak Tarno meminta ijin untuk kawin lagi dengan alasan igin memperoleh anak laki-laki.  Tetapi karena akhirnya sang istri menyetujui akan melahirkan terus sampai memperoleh anak laki-laki, sehingga Pak Tarno tidak jadi kawin lagi.  

Anak yang pertama lulusan STM Mesin dan kini menjadi pengemudi ojek online.  Jika ada kelebihan pendapatan seperti dahulu di awal-awal booming ojek online, dia bisa menyisihkannya untuk membantu keuangan keluarga.  Tapi kini lebih sering tekor karena motor tua nya sering ngadat.  Alhamdulillah Ilmu di STM terpakai untuk otak-atik mesin motor.  Anak nomor 2 & 3 saat ini masih kuliah di perguruan tinggi.  Pak Tarno harus menghadapi kenyataan tingginya biaya SPP semesteran di Universitas.  Dan ini membuat Ia pusing tujuh keliling.  Anak nomor 4 duduk di SMA, dan yang nomor 5 masih di bangku SMP.  Sedangkan 2 anak terakhir masih balita.  Dengan kondisi 2 anak kuliah dan 2 anak lainnya masih sekolah, keuangan keluarga sangat berat.  Belum lagi 2 anak yang paling kecil masih membutuhkan banyak susu.  Sehingga istrinya pun ikut mencari uang dengan kerja serabutan, kadang menjadi pembantu online atau menjadi makelar ayam di pasar, bahkan bila kondisi dapur memaksa ia juga ikut angkat karung beras.  

Pak Tarno setiap pagi sekali berangkat menggunakan motor butut dari kontrakannya di pinggiran kota.   Dan sering kali pulangnya larut malam, karena memang tuntutan pekerjaan.  Orang rumah sudah memakluminya.  Apalagi jika kadang-kadang membawa tambahan uang.  Seperti beberapa waktu lalu di batas-batas akhir pembayaran SPP kuliah 2 anaknya, Pak Tarno berhasil membawa sejumlah uang.  Bapak Anggota Dewan A menjadi seorang pahlawan bak dewa penyelamat.  

Aku pun salut dengan Pak Tarno, ditengah himpitan ekonomi yang berat, dia tetap tabah dan tetap memilih untuk suka bercanda.  

Setelah aku merasa banyak info yang sudah tergali, meskipun belum tahu dari sudut mana nanti  ulasannya, aku pun sedikit berbenah.  Tiba-tiba Pak Tarno badannya menggeser mendekat.   Menyadari bahwa aku agak menunjukkan sedikit bahasa tubuh agak risih, lalu ia cepat-cepat menjulurkan tangannya yang memegang smartphone dalam posisi menunjukkan sambil bertanya, "Mbak Stefani, facebooknya apa?".  
Dalam hatiku berkata, "ini Pak Tarno ko mulai aneh-aneh?" Melihat aku agak ragu-ragu membagi facebook ku, ia segera membuka diri dengan menunjukkan isi facebook nya sambil berkata, "Bukan apa-apa Mbak Stef, saya kalau nunggu Bapak A, hiburannya salah satunya yang main facebook Mbak."  Kemudian dia memperlihatkan satu-persatu isi facebooknya, mungkin masksutnya supaya menunjukkan bahwa isinya tidak ada yang aneh-aneh.  Lalu mataku tertarik pada beberapa foto yang jumlahnya cukup banyak dimana Pak Tarno berpose dengan temannya. 

Dengan insting jurnalisme ku yang mulai terasah, Lalu aku mencoba bertanya "ini siapa Pak Tarno?"  Dengan tersenyum Pak Tarno berkata, "Ini si Bejo, supir Bapak K".  Seakan-akan insting jurnalisme ku mendapat bahan bakar, maka aku pun  mulai mengejarnya, "Ko banyak sekali foto-foto dengan Pak Bejo?" tanyaku mencoba mamancingnya.
"Bener Mba, Bejo ini sesama supir yang paling dekat dengan saya karena sering ketemu saat menunggu tuan kami," jelas Pak Tarno.  

Keingintahuannku semakin dalam.  "Sering ketemu gimana Pak?" desakku.  

Dengan polos Pak Tarno lalu menceritakan semuanya.  
Jadi meskipun di latar depan panggung mereka sangat tajam berseteru, namun ternyata sebenarnya mereka berdua adalah sahabat dekat.  Mereka sering beraktifitas bersama dengan tema 'fun & naughty', seperti main golf, pergi ke Spa, berkaraoke, bahkan nonton konser di Singapore PP semalam.  Agar tidak menimbulkan curiga publik, di awal mereka beraktifitas penuh sibuk di tempat yang berbeda.  Akan tetapi nanti mereka janjian ketemu bareng seperti main golf contohnya.

"Kalau minggu lalu apakah mereka ada kegiatan bareng?" selidikku.
"Bener Mba, mereka main golf bareng di Bukit Royal dan malam nya mereka lanjut ke Spa Lesus."  Pak Tarno menyebutkan Dua buah tempat yang sangat eksklusif.  Kembali Pak Tarno melanjutkan, "Bahkan saya di kasi duit banyak waktu minggu kemaren itu.  Kata beliau, habis menang banyak taruhan dengan Bapak K dan cukong-cukong yang lain.  Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya menceritakan kebutuhan SPP kuliah dan susu anak saya."
"Oh jadi yang tadi sebelumnya Pak Tarno cerita uang SPP dibantu oleh Bapak A, itu ternyata merupakan uang hasil menang taruhan toh," aku  mencoba menegaskan.
"Iya.  Waktu itu beliau berkata, ini kan istilah uang taruhan itu apa..., istilahnya uang setan dimakan jin, dari pada habis ga jelas juga mending dikasikan ke saya yang lagi membutuhkan, gitu katanya Mba."
"Waduh" selaku.  
"Iya Mba, saya denger uang panas seperti ini kalau dipakai untuk keperluan anak sekolah, jatoh-jatohnya, anak kita nanti bisa kena negatifnya, ya narkoba lah, ya kenakalan remaja lah.  Tapi gimana lagi kan saya memang bener-bener lagi butuh" gumam Pak Tarno.
"Mudah-mudahan ga ada efeknya Pak" kataku mencoba menenangkan
"Iya, Mba, ada hikmahnya juga, soalnya setelah itu saya lebih sering solat malam dan memohon agar tidak ada efek negatifnya ke keluarga saya" Paparnya.
Aku pun melongo mendengar cerita Pak Tarno.  Tiba-tiba lamunanku buyar ketika terdengar suara merdu mbak announcer di loudspeaker : "Kepada Bapak Tarno, supir dari Yang Terhormat Anggota Dewan A, harap segera kedepan"

Segera suara merdu mbak announcer itu mengirimku ke lamunan yang lain. Aku membayangkan belasan escort girl berpakaian sexy bak model 'Victoria Secrets' berbaris membentuk formasi rapi dipimpin oleh Satpam Spa Lesus yang gendut, mereka melakukan gesture hormat militer ketika Anggota Dewan A dan K memasuki ruangan lobi Spa : "HORMAT GERAK."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun