Mohon tunggu...
Ebit Frista
Ebit Frista Mohon Tunggu... Pegawai swasta -

ebitfrista.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sakitnya tuh di Sini (Kwetiau Series)

8 Desember 2015   11:23 Diperbarui: 8 Desember 2015   12:04 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai sekarang Gentur masih ingat benar rasa sakit yang dibawa pulang setelah menghabiskan senja bersama Ningsih. Agak aneh, meski rasa sakitnya waktu itu terasa seakan sedang terhunus pedang, tidak ada sedikit pun darah yang keluar mengalir.

Di sini sakit” kata Gentur, sambil menunjuk ke daerah yang dirasa sakit. “Ya, meski tak sampai mengeluarkan darah.” Timpal Gentur lagi, sambil sedikit meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. “terima kasih.” Itu kata terakhir yang Gentur ucapkan di hadapan Ningsih sore itu.

***

Besok pagi setelah senja kemarin yang Gentur habiskan bersama Ningsih, di sebuah klinik kesehatan seorang dokter membulak-balikan tubuh Gentur sembari menempelkan dan memindahkan stetoskop ke beberapa titik di dadanya. Sepertinya dokter ingin mendengarkan seluruh irama yang dihasilkan dari setiap apa yang bisa menimbulkan suara dari tubuh Gentur.

Dokter menyuruh Gentur untuk membuka mata lebar-lebar, lalu menarik kelopak matanya ke atas. Dokter mengarahkan cahaya dari senter kecilnya ke sana. Selanjutnya dokter menyuruh Gentur untuk membuka mulut lebar-lebar. Lalu cahaya senter dia arahkan ke sana, ke dalam mulut yang sudah lebar menganga.

“Hmm, beruntung luka mu tidak terlalu parah” Kata dokter, sambil memadamkan lampu senter dan memasukkanya ke dalam saku baju. “Tahan sedikit rasa sakitmu. Dua, atau tiga hari lagi pasti akan membaik” Katanya lagi, sebelum duduk di kursinya.

***

Rasa sakit yang diterima Gentur kemarin senja adalah yang terparah yang pernah Ia rasakan. Ningsih seakan ingin mencoba membunuhnya.

“Ya, aku pernah makan malam berdua bersama dia.” Ningsih berkata dengan tenang dan santai.

Jawaban itu adalah jawaban yang tak pernah Gentur harapakan keluar dari mulut Ningsih. Ketika Gentur ingin menanyakan apakah Ningsih pernah berdua-duaan dengan teman baiknya.

Setelah jawaban itu Gentur membisu. Tak ada lagi gurau dan canda yang biasa keluar dari mulutnya. Gentur terdiam beberapa menit. Ningsih pun begitu. Sampai akhirnya Ningsih kembali membuka pembicaraan.

“Apakah kamu menyesal?” Tanya Ningsih dengan wajah yang begitu tenang seakan-akan maut masih teramat jauh dari urat lehernya.

Gentur tidak menjawab. Gentur sudah terlanjur kesal dengan jawaban Ningsih tadi.

“Kenapa kamu tidak menjawab?” Ningsih bertanya lagi. Ningsih sudah tahu Gentur tidak akan mau menjawab pertanyaan yang dia ajukan sebelumnya.

Gentur menatap mata Ningsih sebentar, lalu menghela nafas agak panjang.

“Sesal?” Gentur mengulang sepotong kalimat dari pertanyaan Ningsih tadi. “Kau tahu, Sesal memang selalu terjadi di belakang setelah semua terjadi. Kecuali,” Gentur mengambil jeda beberapa detik sebelum melanjutkan kata-katanya. “Kecuali karena aku yang datang lebih dulu ke tempat ini daripada kamu. Aku menjadi menyesal karena datang duluan.” Gentur tersenyum kecut, lalu kembali melanjutkan kata-katanya sambil memainkan Garpu yang dia pegang menggunakan tangan kiri. “Ternyata ada juga yah sesal yang datangnya duluan, hahaha” Tiba-tiba Gentur tertawa agak getir.

Bisa-bisanya Gentur memberikan lelucon di saat penting seperti ini. Gentur sebenarnya sudah lama menantikan saat-saat sepeti ini. Di mana akhirnya dia memiliki kesempatan menghabiskan senja berdua bersama Ningsih. Tapi jawaban Ningsih sudah terlanjur membuat Gentur sangat kecewa. Maka dia menutupi kekecewaannya dengan gurauan-gurauannya yang sama sekali tidak lucu. Meski pun Gentur tertawa puas, bukan berarti Gentur sedang bahagia. Sebagaimana Ningsih pun hanya terdiam melihat Gentur tertawa dengan agak getir.

Ningsih tidak peduli lagi dengan tawa Gentur. Ningsih cepat-cepat memesan makanan, mungkin dia ingin semua cepat berlalu. Ningsih tahu, jawaban dia mungkin sudah membuat Gentur kecewa. Ningsih tidak ingin berlama-lama bersama orang yang bisa dengan tidak sengaja terus dia sakiti.

“Kamu suka pedas?” Tanya Ningsih pada Gentur.

“Hmm, ya, tapi tidak terlalu.”

“Aku memesan kwetiau dengan tingkat kepedasan level dua. Kamu mau pesan apa?”

“Aku?” Gentur terlihat bingung. “Aku pesan yang sama denganmu saja” Gentur sudah tidak ingin memikirkan apa yang akan dia makan. Karena sebetulnya di dalam benaknya hanya ada rasa kecewa, namun tidak ingin dia tunjukan di hadapan Ningsih.

“Andai Ningsih bisa mengubah dunia sekali pun, saya bersumpah Ningsih tidak akan pernah bisa merubah saya, ‘GENTUR’” Gentur berkata dalam hatinya, dan menegaskan bahwa seorang Gentur tidak akan merubah sikap hanya karena kalah oleh wanita.

***

Makanan akhirnya datang di hadapan mereka. Aroma pedas cabe merahnya menusuk hidung. Asap yang masih mengepul di atasnya menunjukan suhu kuah mie yang masih panas.

Gentur menelan ludah. Gentur baru ingat bahwa dirinya memiliki masalah dengan lambungnya. Meski hanya level dua, kwetiau pedas bisa membunuhnya.

Gentur tidak serta mundur dari pertaruhan. Dalam benaknya “Aku adalah laki-laki. Aku tidak boleh mundur sebagai pecundang”. “Hidup yang tak dipertaruhkan tak kan pernah dimenangkan.”

Gentur tidak ingin terlihat lemah. Gentur tidak ingin terlihat sebagai laki-laki yang “kalah” untuk menaklukan makanan pedas.

Satu sendok kuah dia seruput habis. Tidak ada masalah serius yang terjadi. Meski keringat dan sejenis cairan dari hidungnya mulai bercucuran, semua masih baik-baik saja. Hal Itu membuat percaya diri Gentur untuk menghabiskan semangkuk kwetiau pedas level dua makin tinggi.

Sedangkan Ningsih dengan teramat tenang menelan kwetiau-nya. Huap demi huap kwetiu terus masuk ke dalam mulutnya.

***

Akhirnya Gentur sanggup menghabiskan semangkuk kwetiau yang seharusnya tidak Ia pesan. Sedangkan Ningsih tidak menghabiskan kwetiau miliknya. Ningsih seperti kebanyakan wanita yang tidak ingin terlihat rakus.

Setelah semua beres mereka berdua berlalu. Tentu karena sudah bayar dan berpamitan.

Gentur dan Ningsih memiliki jalan pulang yang berbeda. Gentur ke barat dan Ningsih ke timur. Maka perpisahan dimulai di situ. Ningsih mungkin sedikit bingung harus melakukan apa kepada Gentur setelah pertemuan yang akan membuatnya kecewa. Ningsih sebetulnya tidak ada niatan menyakiti hati Gentur.

Sedangkan Gentur di arah pulang yang sebaliknya, sudah tidak ingin memikirkan Ningsih lagi. Ningsih sudah terlanjur membuatnya kecewa karena ternyata dia juga membuka kesempatan untuk orang lain selain dirinya untuk dekat dengannya. “Tapi itu hak Ningsih” dalam benak Gentur. Tidak ada jalan lain selain merelakannya.

Gentur bernyanyi dengan suara pelan setelah beberapa langkah terpisah dengan Ningsih yang pulang beda arah. “Aku lelaki tak mungkin, menerimamu bila ternyata kau mendua membuatku terluka, tinggalkan saja diriku yang tak mungkin menunggu, jangan pernah memilih, aku bukan pilihan… dududu lalala”

Langkah Gentur melambat. Tiba-tiba seperti ada adu panco di antara otot-otot pencernaannya. Nafas Gentur pun terasa semakin sesak. Gentur lalu memegangi perutnya yang terasa semakin penuh. Gentur pun lalu ambruk di sisi trotoar.

Ningsih yang menyadari ada sesuatu yang salah terjadi pada Gentur berbalik lalu berlari menghampri Gentur. Ningsih menyetop mobil angkot yang kebetulan melintas sambil menjepit hidungnya menggunakan dua jari dan meminta tolong kepada para penumpang untuk mengangkat Gentur. Tak lupa Ningsih pun menitipkan Gentur pada sopir angkot untuk di antarkan ke rumahnya. Ningsih tidak bisa ikut mengantar Gentur sampai ke rumah. Ningsih bilang malam ini ada janji dengan sesorang. Seseorang yang entah.

Sebelum pergi berlalu Gentur sempat menegur Ningsih dan memintanya untuk mendekat kembali.

Lalu terdengar suara duuuut panjang keluar dari entah. Entah apa, entah apa, mungkin itu bau, bau perpisahan antara Gentur dan Ningsih

Di sini sakit” kata Gentur, sambil menunjuk ke daerah yang dirasa sakit. “Ya, meski tak sampai mengeluarkan darah.” Timpal Gentur lagi, sambil sedikit meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. “terima kasih.” Itu kata terakhir yang Gentur ucapkan kepada Ningsih senja itu.

 

*Sebetulnya namanya bukan Ningsih sih, tapi "Ningrum" bruakakak xD 

 

https://ebitfrista.wordpress.com/2015/11/24/terhunus-kwetiau/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun