Mohon tunggu...
bima iskandar
bima iskandar Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Buku

Profesi : Dosen Luar di beberapa kampus di Lampung, Pengelola LPSDM GPI, Penulis Buku, Trainer dan Motivator.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Diganggu Nyi Roro Kidul Seksi Part 1

16 Januari 2024   21:17 Diperbarui: 17 Januari 2024   20:31 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia adalah makhluk social karena dia diciptakan tidak sendirian, ada banyak manusia dan makhluk lain yang ikut tinggal di muka bumi ini.

Namun demikian, ego dan kebodohanya membuat mereka enggan menganggap penting keberadaan manusia atau makhluk lain yang ada di sekitarnya.

Bimo Panduwijoyo, seorang pemuda berusia 19 tahun.

Memiliki tinggi badan yang lebih tinggi dari kawan-kawan sebayanya yaitu 185 cm, dengan berat badan 85 kg, memiliki kulit kuning bersih dengan wajah sedikit lonjong, kedua rahang terlihat kokoh, dan berbadan tegap.

Kedua lengannya terlihat dempal dengan otot massa yang besar, dada bidang, perut six pack dan kedua kaki yang terlihat kokoh dan kuat.

Sore itu dia pulang ke rumah dengan wajah letih setelah gagal mengikuti tes masuk menjadi tentara.

Dia temui ibunya dan menyampaikan apa yang baru saja terjadi padanya.

"Gagal bu," jawabnya singkat dengan wajah lesu lalu beranjak menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas.

Ibunya yang tengah masak sempat menghentikan aktivitasnya lalu mengejar putera keduanya itu.

"Le Bim, sini bentar to," ucap ibunya.

Bimo menoleh sebentar ke arah ibunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kamu itu kenapa kok gagal lolos?" tanya ibunya.

Bimo mengangkat kedua pundaknya ke atas memberi tanda kalau dirinya tidak tahu apa hal yang membuatnya gagal lolos menjadi tentara.

"Ini sudah dua kali lho le kamu gagal lolos?" tambah ibunya sekali lagi.

Bimo tidak menanggapi ucapan ibunya.

Dia hanya terus berjalan menuju ke kamarnya.

Kali ini dia pasrah bongkokan apakah hidupnya bakalan terusir dari rumah bapaknya sekarang atau tidak.

Namun dia segera mempersiapkan dirinya untuk pergi dari rumah.

***

Keesokan paginya, di saat dia sedang berada di kamar mandi.

"Brakkk!"

Terdengar ada barang yang jatuh ke lantai dengan kuat.

Bimo buru-buru keluar dari dalam kamar mandi untuk melihat apa yang baru saja jatuh ke lantai.

Dia lihat ternyata laptopnya sudah berada di lantai dalam keadaan terbuka bagian atasnya, dan bapaknya yang bernama Pandu tengah menginjak-injak laptop tersebut dengan arogan.

Bimo pun kaget dan mendelik kedua matanya, dia merasa kaget karena laptop itu merupakan barang yang dia beli dari hasil jerih payahnya sendiri dari mengikuti lomba desain dari berbagai website luar negeri.

"Bapaaakk!" teriaknya yang langsung mendorong tubuh bapaknya dengan kuat.

Tubuh Pandu pun sempat terhuyung ke belakang usai mendapat dorongan dari tangan anaknya.

Setelah bapaknya mundur menjauh, Bimo segera mengambil laptopnya yang sudah pecah di bagian layar LCD atas.

"Bapak ne apa-apaan sih!" maki Bimo dengan kedua mata mendelik lebar.

Pandu berkecak pinggang sambil menatap wajah putera keduanya tersebut.

"Gara-gara laptop itu, mata mu jadi minus dan gagal masuk tentara! Itu yang bapak nggak suka!" maki Pandu dengan kuat.

Bimo menatap bapaknya dengan tatapan tajam.

"Pak, aku sudah berusaha menuruti semua perintah bapak. Kalau sampai gagal, bukan berarti bapak bisa seenaknya merusak barang-barang ku," ucap Bimo dengan geram.

Pandu melihat kemarahan di wajah puteranya.

"Mau apa kamu? Mau nantang bapak?" tanya Pandu yang masih berkecak pinggang di depan puteranya.

Pandu nampak terlihat gagah dengan baju perwira tentara di depan puteranya.

"Jika bukan karena bapak adalah ayah ku, bapak pasti aku lemparkan ke lantai bawah," ucap Bimo lalu memasukkan laptopnya ke dalam tas.

Pandu terhenyak kaget mendengar ucapan puteranya.

"Apa kamu bilang! Kamu mau lempar bapak ke lantai bawah!" bentak Pandu dengan tatapan tajam ke arah puteranya.

Bimo terdiam dan tetap membelakangi bapaknya.

Dia merasa tidak perlu menanggapi ucapan bapaknya yang saat ini sedang marah kepadanya.

Tiba-tiba Dewi masuk ke dalam kamar puteranya dan kaget melihat keributan tersebut.

"Pak sudah paaakk, jangan ribut terus sama anak mu," sergah Dewi sembari menarik tangan suaminya agar keluar dari dalam kamar puteranya.

"Bentar bu, dia sudah tahu konsekuensinya kalau gagal dalam tes ini," ucap Pandu dengan nada kuat.

Bimo masih terdiam tidak menanggapi ucapan bapaknya, dan Dewi pun memperlihatkan wajah penuh rasa khawatirnya.

"Sudah pak, jangan desak terus anak mu seperti itu. Ibu lihat sendiri dia sudah berusaha tiga bulan ini," ucap Dewi coba membela puteranya.

"Tidak bisa bu! Dia sudah tahu konsekuensinya," ucap Pandu yang masih berbicara dengan nada kuat.

Dewi tidak menanggapi ucapan suaminya, dia terus menarik tangan Pandu dan mengajaknya keluar dari kamar putera keduanya.

Terlihat bagaimana ketiga puteranya yang lain yaitu Arjuna, Nakula dan Sadewa ikut menonton keributan di pagi itu.

Dewi tidak ingin keributan tersebut jadi tontonan ketiga puteranya.

"Kalian bertiga, segera siap-siap berangkat sekolah," ucap Dewi dengan tegas.

Ketiganya menganggukkan kepala dan segera membubarkan diri, namun kedua mata mereka bertiga masih berusaha melihat apa yang sedang dilakukan kakaknya Bimo.

"Mas Arjun, mas Bimo mau kemana itu?" tanya Nakula yang melihat kakaknya Bimo tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas.

Arjuna pun menggelengkan kepala karena tidak tahu apa yang sedang dilakukan kakaknya.

Saat melihat bapak dan ibunya sudah menuruni anak tangga, Arjuna tiba-tiba berjalan mendekati kakak keduanya itu.

"Mas jangan pergi, nanti siapa yang belain aku kalau ada yang ganggu di sekolah?" tanya Arjuna dengan nada pelan.

Bimo terus menata barang-barangnya di dalam tas ransel hitamnya.

Tidak lama kemudian Nakula dan Sadewa juga ikut mendatangi Bimo.

"Mas Bim, jangan pergi mas. Nanti kalau kita diganggu sama anak-anak gang kelinci gimana?" rengek mereka berdua.

"Nggak usah khawatir, kalian buruan bersiap. Nanti kita ngobrol lagi di mobil," ucap Bimo sambil mendorong ketiga adiknya untuk keluar dari dalam kamarnya.

Arjuna lalu mengajak kedua adiknya untuk segera bersiap berangkat ke sekolah.

Sementara Dewi yang masih menarik tangan suaminya untuk turun ke lantai bawah segera meminta Pandu untuk tidak mengganggu putera kedua mereka.

Namun Pandu terus bersikeras meminta istrinya untuk mengusir Bimo dari rumah.

"Pokoknya dia harus pergi dari rumah ini bu! Bapak ingin lihat! Bisa apa dia tanpa kita!" teriak Pandu dengan kuat.

"Pergi kemana pak! Dia itu anak mu! Masak bapak tega ngusir anak kita dari rumah?" tanggap Dewi dengan nada tak kalah kuat dari suaminya.

Pandu tidak menjawab tanggapan istrinya, namun sikapnya tetap sama.

Putera keduanya harus pergi dari rumah.

Dewi menarik tangan suaminya menuju ke ruang depan lalu memengambilkan tas kerja dan tongkat komando yang biasa dibawa suaminya saat menuju ke kantor.

"Sudah jangan banyak bicara, ini sudah siang. Bapak buruan berangkat," ucap Dewi lalu memberikan tas dan tongkat komando ke tangan suaminya.

Pandu menerimanya dan menjulurkan tangan kanannya kepada Dewi.

"Bapak tidak mau dia masih ada di rumah ini," ucap Pandu dengan nada datar.

Usai mencium tangan suaminya, Dewi diam saja lalu mendorong tubuh suaminya untuk berjalan menuju ke mobil dinas yang sudah menunggu.

Telah berdiri satu ajudan di samping pintu mobil dengan badan tegap tengah membukakan pintu untuk Pandu.

Pandu pun berjalan menuju ke dalam mobil yang kemudian pintunya ditutup lagi oleh ajudannya.

Ajudan pun kembali menuju ke jok depan dan tak lama kemudian mobil pun berjalan meninggalkan rumah.

Rita keponakan Dewi terlihat berjalan menuju ke mobil yang digunakan untuk mengantar ketiga putera Dewi.

"Mbak Ritaaa! Tunggu bentaarrr!" teriak Bimo dengan kuat.

Dewi dan Rita menoleh ke arah lantai atas.

Terlihat Bimo yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Dewi terhenyak kaget mendengar teriakan Bimo.

"Mau kemana dia Rit?"

"Nggak tahu bulek," jawab Rita dengan wajah tak kalah kaget.

Dewi berjalan menuju ke dalam rumah, dan menaiki anak tangga ke kamar puteranya.

Dia lihat Bimo keluar dari dalam tas dengan membawa tas ransel dan tas koper besar yang biasa dia bawa saat akan keluar kota.

"Le, kamu mau kemana?" tanya Dewi dengan wajah kaget.

"Minggat!" jawab Bimo dengan penuh emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun