"Ini sangat luar biasa dan kami sangat mengapresiasi. Sesuai amanah Rayhana, kami akan belikan APD (Alat Pelindung Diri) untuk tenaga medis," ungkap Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Tim Gugus Tugas Covid 19 setelah menerima sumbangan dari Rayhana, bocah kelas 3 SD. Uang yang disumbangkan Rayhana sebesar Rp 1.030.000 dari tabunganya. Di Bandung Moch. Hafid (9 tahun) memberi uang dari celengannya untuk membeli APD bagi tenaga medis.
Hal yang dilakukan Rayhana dan Moch. Hafid sangat inspiratif di tengah masyarakat yang serba kesulitan ekonomi karena dampak pandemi. Kedua bocah sekolah dasar ini menjadi gambaran bagi masyarakat bahwa berbagi kepada orang lain adalah bentuk kepedulian yang harus terus dipupuk. Sikap peduli seperti itu merupakan perwujudan dari nilai luhur bangsa kita, yaitu "Berat sama dipikul ringan sama dijinjing"
Berbagi, Memberi dan Menyantuni adalah Kodrat Manusia
Kadang saya berpikir, "Koq sampai-sampainya ya, anak seperti Rayhana dan Moch. Hafid memikirkan untuk menyumbangkan uang dari celengannya. Itu ide dari mana ya?" Terlepas itu ide dari mana, yang jelas tindakan mereka sangat mengagumkan dan menginspirasi banyak orang. Paling tidak saya punya 4 alasan mendasar mengapa tindakan ini sangat penting.
Pertama, semua agama mengajarkan umatnya memiliki semangat berbagi, memberi dan menyantuni. Misalnya dalam agama Kristen dan Katolik. Yesus memuji janda miskin yang memberi sedekah. "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."Â
Di dalam agama Buddha memberi derma atau memberi sedekah malah menjadi sebuah ritual yang dirayakan menjelang hari raya Waisak, yang disebut ritual pindapata.Â
Di dalam agama Islam, nabi Muhammad mengajarkan soal derma sebagai berikut: "Bila engkau ingin hati menjadi lembut dan damai serta keinginan (yang baik) tercapai, maka sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah dia makanan yang seperti engkau makan. Bila itu engkau lakukan, hatimu akan tenang, lembut, serta keinginanmu (yang baik) akan tercapai" (HR Thabrani)
Kedua, manusia berada bersama dengan orang lain, dan untuk orang lain. Di dalam ilmu sosial kita mengenal istilah "Homosacra Res Homonim" yang artinya manusia suci bagi orang lain, dan "Tat Twan Asi" yang artinya engkau adalah aku. Makna yang tekandung sangat hakiki. Keberadaan kita sejatinya bagi orang lain atau orang lain itu adalah aku.Â
Dalam konsep ini mau dikatakan jika engkau ingin bahagia maka bahagiakan orang lain. Itulah kenapa banyak orang berbuat baik bagi orang lain yang menderita. Semangat filantropi lahir dari keyakinan ini. Ada sebuah kisah menarik di zaman Yahudi kuno. Seorang penarik pajak namanya Zakeus.Â
Ia dikenal sangat kejam. Ia menarik pajak melebihi yang seharusnya. Karena itu ia dibenci masyarakatnya. Suatu hari ia berjumpa dengan orang bijak. Perjumpaan itu membuat Zakeus merasa bahagia. Kemudian Zakeus mengembalikan harta kepada orang yang pernah dirugikan empat kali lipat. Kisah ini menggambarkan bahwa berbuat baik kepada orang lain sesungguhnya jalan menuju pada kebahagiaan. Berbagi kebahagiaan berati melakukan sesuatu yang membuat orang lain bahagia agar kita bahagia.
Ketiga, berbagi, memberi dan menyantuni itu mengurangi dosa
Saya melihat perbuatan baik dalam bentuk berbagi, memberi dan menyantuni merupakan tindakan kebaikan yang dilakukan orang untuk "mengurangi" segala kedosaan atau perbuatan jahat masa lalu. Sikap seperti ini tentu saja baik. Pada kisah Zakeus di atas bisa dipahami dalam arti ini juga.
Keempat, berbagi, memberi dan menyantuni adalah tindakan menyeimbangkan alam. Jane Goodall, antropolog dan ahli primata asal Inggris berpendapat bahwa bencana alam maupun bencana nonalam seperti pandemi merupakan akibat dari tindakan manusia yang merusak alam dan tidak mencintai binatang. Untuk menciptakan kehidupan yang bahagia tentu harmoni alam harus dikembalikan pada keseimbangan. Caranya dengan berbuat baik tanpa pamrih. Segala bentuk perbuatan baik merupakan tindakan untuk menyeimbangkan alam atau kosmos. Ajaran ini disampaikan oleh Master Cheng Yen, Pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi.
Bagaimana Membangun Jiwa Peduli?
Inilah pertanyaan praktis dan mendasar. Rayhana dan Moch. Hafid yang memberi tabungan mereka untuk membeli APD tentu bukan bakat alami. Saya yakin karakter itu hasil dari pebiasaan di dalam keluarga, dan sekolah. Â
Sebagai seorang guru sekaligus pengelola sekolah saya sangat memperhatikan pentingnya karakter peduli pada diri peserta didik. Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi mbangun sikap peduli melalui pelajaran Budi Pekerti dan Budaya Humanis. Selain inheren ada di setiap mata pelajaran juga kami berikan secara khusus sebagai mata pelajaran Pendidikan Budi Pekerti dan Budaya Humanis.
Di dalam mata pelajaran tersebut para siswa dididik, diajari dan dilatih tata krama, sopan santun, berbakti kepada orang tua dan sikap welas asih / kepedulian tanpa pamrih kepada orang lain. Bermacam-macam layanan kepada orang lain dilakukan untuk melatih kepedulian, antara lain:
1. Membiasakan penggalangan dana dengan cara mengisi celengan bambu setiap hari Jumat, yang disebut Zhu dong. Pembiasaan ini melatih siswa membangun jiwa solidaritas, hati yang welas asih untuk mengikis nafsu ketamakan dan kemelekatan. Para siswa memberikan dari uang jajan mereka seikhlasnya. Dana yang terkumpul digunakan untuk menyantuni siswa yang sakit atau keluarga yang berduka. Bukan besarnya sumbangan tetapi ketulusan dan keikhlasan yang terus dikembangkan dalam diri siswa.
Kegiatan ini bukan sekadar berkunjung atau visitasi. Para siswa menggalang dana untuk memberi donasi kepada anak panti. Selain itu mereka membuat acara hiburan dan games. Di sini mereka bukan hanya hadir untuk anak panti melainkan merefleksikan betapa hidup mereka (para siswa) adalah hidup yang layak disyukuri dan dibagikan kepada orang lain
Penutup
Filsuf eksitensialis Gabriel Marcel menegaskan keberadaan manusia hadir bagi orang lain. Itu menunjuk pada sebuah pengertian bahwa manusia itu benar-benar ada ketika ia terlibat (engagement) secara positif terhadap orang lain. Karena itulah, setiap tindakan manusia sesungguhnya terkait dengan orang lain.Â
Apalagi ketika kita bicara soal kebahagiaan. Tidak ada manusia yang bisa bahagia ketika dirinya memfokuskan kepada dirinya sendiri (soliter). Bahagia itu ketika manusia bisa membahagiakan orang lain (solider). Dalam konteks arti seperti inilah tagline JNE 3 Dekade Bahagia Bersama mendapatkan arti yang sesungguhnya, karena selama 3 dekade JNE telah berusaha membahagiakan masyarakat dengan jasa pengiriman yang memuaskan.Â
Dan tindakan seperti ini bukan sebuah bakat tetapi hasil dari pembiasaan dan latihan. Tindakan Rayhana dan Moch. Hafid berbagi dan memberi uang tabungan mereka merupakan hasil dari pembiasaan dan latihan, di rumah dan atau di sekolah. (Ag. Purwanto, M.Pd.  Principle & Writer. IG & Linkeldn: Masguspung. YouTube: Two Minutes For Hope)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H